Episode Duka Di Bulan Ramadan Yang Syahdu

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Selasa, Mei 21, 2019




Bulan Ramadhan adalah bulan keberkahan bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Setiap Ramadhan berlalu, selalu menyimpan kenangan dan cerita tersendiri, ada suka maupun duka. Apa pun itu, hendaknya kehadiran Ramadhan selalu membawa kebaikan bagi kita semua.

Hal yang sama juga terjadi pada saya. Beberapa tahun yang lalu, tepat di bulan Ramadhan terjadi satu peristiwa yang takkan pernah saya lupakan. Saat itu, saya menyambut Ramadhan di  tanah kelahiran, Makassar. Kebetulan adik bungsu saya juga tengah menanti masa kelahiran anak pertamanya. Jadilah, saya meminta izin suami untuk tinggal lebih lama di Makassar agar bisa menemani adikku melahirkan.

Dan, seperti yang sudah saya pesan ke adik bahwa kalau ada apa-apa, segera hubungi saya. Benar saja, saat tengah malam (sekitar jam 2), Mama mengabarkan kalau adikku sudah dirujuk ke rumah sakit. Mama pun memintaku menyusul ke rumah sakit dengan dibonceng  adikku yang lain sementara Mama menyusul belakangan karena menunggu tanteku.

Saya pun langsung mengiyakan perintah Mama. Di sana, adikku telah terbaring lemah ditemani suaminya. 

"Takutka (saya takut), sakit sekali...." keluh adikku berulang kali padaku. 

Saya pun berusaha menghibur dan menyemangatinya. Melihat kehadiranku, suami adikku kemudian minta izin keluar karena harus mengurus administrasi. Tinggallah saya hanya berdua dengan adikku dengan dokter yang sesekali datang memeriksa. 

Sekitar satu jam kemudian, Mama dan tanteku tiba. Namun, Mama tidak bisa berlama-lama. Beliau kemudian pulang diantar adikku. Kini, kami bertiga menjaga adikku, saya, tanteku, dan suami adikku. 

Malam itu tidak banyak perubahan yang berarti. Adikku hanya bisa mengedan kesakitan, menunggu masa pembukaan demi pembukaan yang berjalan sangat lambat. Dokter juga tidak berani mengambil tindakan apa-apa karena saat itu tekanan darah adikku sangat tinggi. 

"Kamu mau sahur, apa?" tanya tanteku di sela-sela menunggu pembukaan adikku. Waktu itu sudah waktunya makan sahur. 

"Gak usah, saya masih kenyang. Tadi udah makan banyak. Nanti sahurnya minum saja." jawabku memperlihatkan sebotol besar air minuman mineral. Saat itu, saya tidak mungkin menyebutkan nama-nama makanan. Kondisi tegang  saat itu membuat nafsu makanku menguap entah ke mana.

"Saya juga sudah makan tadi. Sebelum ke sini, saya sahur dulu." ucap tanteku. Tanteku kemudian bertanya ke suami adikku. Dia hanya menjawab gak mikirin sahur, cukup minum air putih aja karena fokusnya ke istrinya yang terus menerus mengerang kesakitan.

Sampai tiba waktu shalat Subuh, keadaan tidak mengalami perubahan yang berarti. Namun, dokter-dokter jaga yang bertugas di rumah sakit tetap berhubungan lewat telepon dengan dokter kandungan adikku. Dokter Fulanah tetap memantau lewat line telepon.

Baca juga : Pada Sebuah Bentor

Dirujuk Ke Rumah Bersalin Swasta

Para dokter masih intens berhubungan dengan dokter Fulanah. Hingga kemudian, salah seorang dokter menghampiri iparku dan menanyakan kalau adikku tidak bisa ditangani di rumah sakit ini karena peralatan kurang lengkap.  Kalau tidak salah, dokter itu mengatakan kalau rumah sakit kekurangan inkubator. Sementara jika melahirkan nanti, bayi adikku harus masuk inkubator karena belum cukup usia. 

Dokter tersebut kemudian menyarankan agar adikku dibawa ke klinik dokter Fulanah. Katanya,  di sana ada inkubator yang bisa digunakan. 

Kami berembuk sebentar sebelum mengiyakan. Setelah sepakat, dokter kemudian bertanya apakah kami punya mobil karena supir ambulance rumah sakit sedang tidak di tempat. Adikku yang nomor 8 segera mengiyakan, tetapi saya protes. Bagaimana mungkin adikku akan dibawa ke klinik dengan mobil kecil (brio). Terbayang kesakitan yang akan dialaminya sepanjang perjalanan.

Saat itu, sekonyong-konyong ada salah seorang petugas kesehatan menghampiri kami. Katanya, ambulance sudah bisa dipakai, tetapi dengan syarat kami harus memberi uang rokok kepada sang supir.

Setelah sepakat, adikku langsung dibawa dengan ambulance. Saya dan Mama (baru saja datang dan berganti posisi dengan tante yang harus masuk kerja) juga ikut dalam ambulance. Masya Allah, ini adalah untuk kedua kalinya saya naik ambulance. Pertama, ketika mengantar jenazah Bapak Rahimahullah ke liang lahat dan kini mengantar adikku menuju klinik bersalin yang kebetulan letaknya sangat dekat dengan rumahku. 

Alhamdulillah, hanya 5 menit waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tujuan. Jangan ditanya bagaimana lajunya ambulance membelah Jalan Urip Sumiharjo, salah satu jalan terpadat di Makassar. Saya dan Mama terguncang-guncang dan harus berpegangan erat-erat agar tidak jatuh.

Kedatangan kami rupanya telah ditunggu-tunggu. Begitu kami tiba,  adikku segera dibawa dua orang perawat ke ruang operasi diikuti iparku.  Saat itu saya menyerahkan uang 100 ribu rupiah sebagai pengganti uang rokok sebagaimana yang diminta supir tadi. Terus terang, hanya itu uang yang kupegang saat itu.

"Uangnya kurang, supirnya minta 250 ribu." lapor adikku yang kutugaskan menyerahkan uang rokok tersebut.

"Masa sih, memangnya 100 ribu gak cukup buat beli rokok....." tetapi saya tidak jadi berpanjang lebar karena Mama segera menutupi kekurangan uangku. Mama gak mau ribut karena adikku tengah bertarung nyawa di dalam.

Sekarang, format kami lebih lengkap di klinik bersalin ini. Adikku-adik, serta para keponakan lebih banyak yang datang, termasuk anak-anakku yang langsung menyusul dari rumah setelah kuberitahu kalau saya sekarang berada di klinik ini.

Kami menunggu dalam keadaan harap-harap cemas. Tak lupa lantunan doa kulangitkan agar adikku dan anaknya selamat dan sehat. Hingga kemudian, pintu dibuka dari dalam. Dan keluarlah adik iparku dengan wajah datar.

"Bayinya meninggal dunia...." ucapnya lirih sembari terus berjalan keluar.   Iparku ingin menelpon orang tuanya dan mengabarkan berita duka ini. 

Kami terhenyak, "Bayinya meninggal dunia?"
Seketika, saya merasa tubuhku gamang. Ya Allah, benarkah apa yang baru saja diucapkan iparku. 

Tak lama kemudian, perawat keluar dari ruang operasi dan memberitahukan hal yang sama. Saat itulah, kami segera masuk. Saya pikir adikku akan menangis atau meraung, tetapi tidak. Dia hanya diam dan terpaku dengan tatapan kosong. Hanya itu reaksinya.

Saya segera mencari keponakanku yang berada di kamar bayi. Untuk pertama kalinya, saya melihat bayi sekecil itu. Bayi  seberat 600 gram itu terbaring tanpa nyawa. Sedih sekali rasanya ketika jemari ini menyentuh kulitnya yang keriput serta  menggendongnya dengan hati-hati. 

Demikianlah satu episode sedih yang harus saya alami di bulan Ramadhan. Momen itu akan selalu saya ingat dan tentunya juga abadi dalam ingatan adikku dan suaminya.  Setiap kali Ramadhan tiba, kami segera teringat pada Ramadhani, demikian adikku dan suaminya menamakan putri pertama mereka.

Cerita sedih itu memang telah berlalu. Namun, nisan kecil yang berada di rumah mertua adikku dan mengubur jasad bayi Ramadhani akan selalu mengingatkan kami akan kehadirannya. Alhamdulillah, kini adikku telah dikarunia dua orang anak laki-laki. Anak yang menjadi penyejuk mata dan kesayangan serta harapan kedua orang tuanya. Aamiin.

  • Share:

You Might Also Like

6 Comments

  1. Belum rejeķinya Ramadhani buat Ayah Bundanya ya, Mbak
    Terbayang diri sendiri, anak pertama saya juga meninggal dunia.
    Alhamdulillah kini adiknya sudah dikarunia 2 permata penyejuk mata pengganti Ramadhani

    BalasHapus
  2. I feel your sister mbak.. Huhu
    Kehilangan anak duka nya dalam. Semoga menjadi tabungan untuk akhirat kelak ya.

    BalasHapus
  3. Ya Allah innalillahi. Aku pernah ngerasain banget. Saat kandungan baru 11minggu tiba-tiba detak jantung itu udah g ada dan janin ga menunjukkan perkembangan. Ga ada jalan selain dikuret. Itu momentnya pas ramadhan taun lalu bun. Jadi aku tau banget rasanya. Tapi yakin Allah pasti ngasih yanh terbaik untuk kita

    BalasHapus
  4. Ya Allah...sedih. Walaupun bukan anak sendiri, tapi tetep yah...hati rasanya tercabik. Kenangan tak terlupakan...

    BalasHapus
  5. Allah selalu memberikan yang terbaik kepada kita, selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian

    BalasHapus
  6. Innalillahi... Saya ikut sedih bacanya. Kehilangan buah hati di saat hampir memilikinya, di bulan mulia pula. Pantas saja yak terlupakan ya, Mbak.
    Insya Allah si kecil Ramadhani akan menyambut orang tuanya di surga nanti. Aamiin

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging