Keraton Jogja. (www.kratonjogja.id) |
Jogjakarta atau Yogyakarta merupakan salah satu destinasi impianku selama ini. Kota ini terkenal dengan keindahan alamnya, kearifan budaya lokalnya, serta kelezatan kuliner khasnya. Tak heran, bila Jogya sering dijadikan setting sebuah cerita atau lagu yang membuat orang-orang yang belum pernah menginjakkan kaki ke sana menjadi semakin penasaran untuk bisa segera ke sana. Salah satu orang itu adalah saya, hehehe.
Beberapa waktu yang lalu, kembali Joeragan Artikel mengadakan challenge dalam bentuk One Day One Article (ODOA). Jadi, selama satu bulan, yang dimulai dari tanggal 7 Januari hingga 5 Februari, para penulis ditantang untuk membuat artikel setiap harinya. Para penulis yang terlibat adalah mereka yang merupakan alumni Training Gampang Bikin Artikel (GBA), salah satu training yang diselenggarakan oleh Joeragan Artikel.
“Asyik,
beli emas lagi ... ” pekikku kegirangan di senja hari itu. Saat itu saya
dan suami tengah menikmati hidangan makan petang dengan segelas teh hangat dan biskuit
coklat berbalut choco chip.
Alhamdulillah,
suami baru saja mendapat rezeki tak terduga, rezeki nomplok.
Ternyata, honor pemateri yang tempo hari didapatkannya belum men-cover honor
keseluruhan. Masih ada honor lain yang memang telat dibayarkan panitia karena
adanya kendala administrasi.
“Emas
mulu. Tanja tommoko aji-aji bugis” jawab suamiku. Tanja tommoko
aji-aji bugis artinya kurang lebih “ Kamu sudah seperti haji-haji Bugis.”
“Yea,
memang saya orang Bugis” timpalku kegirangan. Kalau sudah ngomong kayak
gitu, hawa-hawanya suami menyetujui keinginanku untuk membeli emas.
Alhamdulillah.
Sebagai
seorang perempuan, adalah wajar dan
sudah sunnatullahnya bila menyukai perhiasan, termasuk emas. Bukankah perempuan
memang diciptakan senang berhias, senang berdandan, dan tentu saja senang bila
dipuji cantik. Nah, salah satu cara agar cantik adalah dengan menggunakan
perhiasan, khususnya yang terbuat dari emas.
Kalau
saya pribadi, sebenarnya tidak terlalu menyukai perhiasan. Sebagai perempuan
yang dulunya agak tomboy, saya justru lebih suka tampil apa adanya. Yang penting sudah pakai pelembab wajah dan bedak sebagai hiasan untuk wajah. Itu aja sih, alat perangku tuk melawan panasnya sengatan matahari. Maklum, dulu mah saya anaknya nekad. Biarpun mentari bersinar garang, tetapi kalau lagi pengen keluar rumah ya pergi aja. Gak peduli, biar gosong yang penting tetap keceh. *eh.
Tak heran, zaman masih single dulu dan sebelum ikutan ngaji, saya lebih suka tampil berkaos oblong plus bersandal jepit. Bahkan, saat ke kampus, saya lebih suka memakai kemeja plus sepatu kets kesayanganku. (Maksudnya, di-eman-eman karena sepatu cuma satu-satunya, hihihi)
Tak heran, zaman masih single dulu dan sebelum ikutan ngaji, saya lebih suka tampil berkaos oblong plus bersandal jepit. Bahkan, saat ke kampus, saya lebih suka memakai kemeja plus sepatu kets kesayanganku. (Maksudnya, di-eman-eman karena sepatu cuma satu-satunya, hihihi)
Iya
sih, sesekali saya juga berhias dan memakai emas perhiasan. Itupun kalau diajak kondangan sama Mama atau tante. Lumayan, bisa numpang makan enak. Hehehe. Namun, hanya bertahan beberapa saat karena
kemudian saya akan melepaskan atau menghapus hiasan itu lalu kembali menjadi
Haeriah yang segitu-gitu aja. Apa adanya tanpa tambahan pemanis buatan atau zat
pengawet lainnya. Hehehe.
Masih
teringat jelas godaan teman-teman cowokku kala itu ketika melihatku tampil
sedikit feminim, pakai rok panjang. Maklum, saat kuliah dulu, ketika waktu ujian tiba para
mahasiswi diwajibkan memakai rok, tak boleh bercelana panjang.
“Ups,
ternyata kamu perempuan, to?”
Waduhhhh.
Memilih Investasi Emas
Lha,
kalau begitu mengapa saya suka membeli perhiasan emas? Jadi gini, sebagai
seorang perempuan Bugis, saya juga mewarisi kebiasaan-kebiasaan yang dianut
turun temurun oleh keluarga besar kami. Nah, salah satunya adalah kebiasaan
mengoleksi emas.
Bagi sebagian orang Bugis (setidaknya, ini yang saya lihat dari keluarga
besarku yang merupakan Bugis dari Wajo), emas merupakan investasi yang paling
digemari. Selain karena lebih mudah dijual, harga jualnya juga lebih stabil.
Tak heran, bila seringkali
kita dapati perempuan-perempuan Bugis yang bersolek dengan koleksi emasnya. Keglamoran mereka terlihat, terutama saat menghadiri pesta, di antaranya pesta pernikahan. Berbaju khas dengan warna dan model yang bling-bling plus seperangkat emas yang
melingkar mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Saking banyaknya,
kerap mereka dijuluki sebagai toko emas berjalan. Alih-alih kagum, yang terbetik dalam benakku kala itu adalah alangkah ribetnya memakai perhiasan sebanyak itu. Belum lagi risiko yang harus dihadapi. Bagaimana kalau bertemu orang jahat. Ihhh, seram.
Wow, penampakan haji-haji Bugis di pesta pernikahan. Sumber gambar di sini |
Sebagai orang Bugis, kebiasaan
ini kemudian disalurkan Almarhum Bapak kepada Mamaku. Mama yang bukan orang
Bugis harus “merelakan” dirinya dihiasi dengan balutan emas. Kebetulan, saat
Bapak masih hidup, kehidupan kami boleh dibilang serba berkecukupan. Setiap kali ada rezeki
lebih, Bapak dan Mama selalu membeli emas.
Tak heran, bila Haeriah kecil juga
sering berdandan bak haji-haji bugis. Saya ingat sekali, saat itu memiliki
gelang, kalung, anting-anting, serta cincin dengan insial huruf R, yang berarti
nama kecilku, Ria. Belum lagi perhiasan mamaku yang juga lengkap dengan insial
huruf H, yang merupakan huruf awal nama mamaku. Bahkan, Bapak Rahimahullah juga
mempunyai cincin emas besar yang lumayan bisa bikin orang benjol kalau kena tonjok,
hehehe.
*Psst, saat itu kami belum tahu kalau laki-laki muslim dilarang mengenakan perhiasan emas.
*Psst, saat itu kami belum tahu kalau laki-laki muslim dilarang mengenakan perhiasan emas.
“Emas
itu ringan dibawa dan bisa dipergunakan sebagai perhiasan. Bukan hanya itu,
nilai jual kembalinya juga lebih stabil serta sangat mudah jika ingin dijual
kembali. Bandingkan dengan benda lain seperti tanah, rumah, atau lainnya. Butuh
waktu untuk menjualnya.” Demikian alasan Almarhum Bapak jika ada yang
bertanya mengenai investasi yang dipilihnya.
Kisah Tentang Bapak Rahimahullah
lainnya
|
Dan,
terbukti ..., ketika Bapak sakit dan
satu persatu harta benda kami harus dijual untuk biaya pengobatan beliau,
emaslah barang yang paling mudah dijual dibanding motor maupun tanah milik Bapak. Tak perlu susah payah diiklankan dan tak
perlu susah payah ditawarkan ke orang-orang. Cukup dibawa ke toko emas atau
tukang beli emas yang banyak berjejer di jalan. Praktis, gak pake lama dan
ribet.
Dengan alasan yang sama itulah mengapa saya juga lebih memilih
berinvestasi dengan emas. Daripada membeli handphone terbaru, baju-baju keren, atau sepatu dan tas lucu, saya lebih suka mampir ke toko emas dan membeli satu atau dua gram emas. Ibarat kata pepatah, "Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit". Meski hanya membeli satu gram, tetapi kalau banyak kan lumayan. Hehehe.
Kebiasaan ini sebenarnya telah saya lakukan sejak masih single. Alhamdulillah, saat kuliah saya sangat produktif menulis sehingga honor menulis sering saya tabung dan belikan emas. Tidak banyak sih, tetapi rasanya keren banget bisa membeli perhiasan dari hasil keringat sendiri.
Dan, kebiasaan ini terus terbawa setelah menikah. Meski akibatnya, saya sering diledek suami. Mungkin, karena beliau bukan orang Bugis jadinya jengah melihat istrinya minta beli emas melulu. Hehehe.
Kepraktisan emas pun kembali saya buktikan ketika harus merelakan koleksi emasku dijual demi memenuhi satu kebutuhan. Meski emas itu dalam keadaan patah, kusam, dan modelnya out of date, tetap saja harga jualnya sama dengan emas baru yang dijual kembali. Itulah hebatnya emas. Kebetulan, saya mengenal salah seorang penjual emas yang bersedia membeli kembali emas-emas bekas dengan harga yang sedikit lebih tinggi dari harga pasar.
Beliau adalah penjual emas yang jujur. Terbukti, saat menilai permata yang ada pada cincin yang kujual, penjual emas itu bilang kalau batu pertama yang menjadi hiasannya adalah batu permata asli. Dia pun bersedia membeli dengan harga yang pantas. Padahal, saya malah mengira kalau batu permata itu hanyalah batu-batu permata biasa.
Selain emas perhiasan, saya juga sempat memiliki logam mulia (LM) yang diproduksi oleh Antam. Qadarallah, semuanya juga sudah habis terjual. Saya masih ingat, dulu belinya langsung di kantor Antam Makassar. Maklum, saat itu sepertinya kehadiran LM belum marak seperti sekarang sehingga penjualannya pun terbatas.
Dan, bagi teman-teman yang ingin memiliki LM, ternyata kini tidak hanya dijual di Antam, lho. Benda berharga ini juga sudah bisa dibeli di market place, salah satunya ada di Tokopedia. Apalagi, saat ini Tokopedia tengah mengadakan program Promo Mantap Tokopedia dan Tokopedia Tap Tap Mantap. Jadinya, bisa dong beli di Tokopedia aja.
Meski menyukai emas, tetapi suami selalu menyempatkan diri untuk menyelipkan petuahnya. "Boleh saja membeli dan memiliki harta (maksudnya emas). Namun, hati tak boleh terpaut padanya karena sesungguhnya semua itu adalah titipan dari Allah. Jadi, ketika Sang Pemilik Titipan mengambilnya kembali, tak ada hati yang berduka terlalu dalam dan rasa tak terima akan semua yang terjadi."
Insya Allah, doakan Istrimu ini agar meski suka membeli emas, tetapi tidak sampai cinta mati pada benda mati tersebut. Lagian, enakan juga cinta pada Mas Suami daripada Mas Emas. Iya, kan?
Kebiasaan ini sebenarnya telah saya lakukan sejak masih single. Alhamdulillah, saat kuliah saya sangat produktif menulis sehingga honor menulis sering saya tabung dan belikan emas. Tidak banyak sih, tetapi rasanya keren banget bisa membeli perhiasan dari hasil keringat sendiri.
Dan, kebiasaan ini terus terbawa setelah menikah. Meski akibatnya, saya sering diledek suami. Mungkin, karena beliau bukan orang Bugis jadinya jengah melihat istrinya minta beli emas melulu. Hehehe.
Kepraktisan emas pun kembali saya buktikan ketika harus merelakan koleksi emasku dijual demi memenuhi satu kebutuhan. Meski emas itu dalam keadaan patah, kusam, dan modelnya out of date, tetap saja harga jualnya sama dengan emas baru yang dijual kembali. Itulah hebatnya emas. Kebetulan, saya mengenal salah seorang penjual emas yang bersedia membeli kembali emas-emas bekas dengan harga yang sedikit lebih tinggi dari harga pasar.
Beliau adalah penjual emas yang jujur. Terbukti, saat menilai permata yang ada pada cincin yang kujual, penjual emas itu bilang kalau batu pertama yang menjadi hiasannya adalah batu permata asli. Dia pun bersedia membeli dengan harga yang pantas. Padahal, saya malah mengira kalau batu permata itu hanyalah batu-batu permata biasa.
Selain emas perhiasan, saya juga sempat memiliki logam mulia (LM) yang diproduksi oleh Antam. Qadarallah, semuanya juga sudah habis terjual. Saya masih ingat, dulu belinya langsung di kantor Antam Makassar. Maklum, saat itu sepertinya kehadiran LM belum marak seperti sekarang sehingga penjualannya pun terbatas.
Dan, bagi teman-teman yang ingin memiliki LM, ternyata kini tidak hanya dijual di Antam, lho. Benda berharga ini juga sudah bisa dibeli di market place, salah satunya ada di Tokopedia. Apalagi, saat ini Tokopedia tengah mengadakan program Promo Mantap Tokopedia dan Tokopedia Tap Tap Mantap. Jadinya, bisa dong beli di Tokopedia aja.
Meski menyukai emas, tetapi suami selalu menyempatkan diri untuk menyelipkan petuahnya. "Boleh saja membeli dan memiliki harta (maksudnya emas). Namun, hati tak boleh terpaut padanya karena sesungguhnya semua itu adalah titipan dari Allah. Jadi, ketika Sang Pemilik Titipan mengambilnya kembali, tak ada hati yang berduka terlalu dalam dan rasa tak terima akan semua yang terjadi."
Insya Allah, doakan Istrimu ini agar meski suka membeli emas, tetapi tidak sampai cinta mati pada benda mati tersebut. Lagian, enakan juga cinta pada Mas Suami daripada Mas Emas. Iya, kan?
Beberapa
waktu yang lalu, saya kembali ber-chatting ria dengan salah seorang
sahabat lama. Dulu, kami bersahabat karena selalu bersama, bersatu padu dalam
satu lingkaran persahabatan dan persaudaraan. Bersaudara bukan karena adanya hubungan
darah, tetapi karena adanya ikatan iman. Ya, kami bersaudara karena Allah Ta’ala.
Insya Allah.