CABUT GIGI TANPA RASA SAKIT, BISA TERNYATA.....

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Kamis, Oktober 20, 2016


Welcome to Pusat Kesihatan Universiti

Sepertinya saya memang harus segera ke dokter gigi. Bayangkan, tiga gigi gerahamku bermasalah semua. Satu di sebelah kanan dua di kiri.  Satu geraham sebelah kanan sudah hampir habis terkikis bagian atasnya. Satu geraham sebelah kiri juga tak jauh berbeda kondisinya sementara yang satunya masih lebih baik dari kedua saudaranya, saya berharap sih kondisinya masih bisa diselamatkan dengan ditambal.

Setelah menyiapkan mental lahir dan batin (periksa gigi, bo…..), saya kemudian diantar suami ke klinik kesihatan kampus. Alhamdulillah, keluarga pensyarah (dosen) dapat tunjangan kesehatan gigi. Saat itu kebetulan mahasiswa sedang libur dan juga hari sudah siang sehingga pasien hanya satu, saya.

Cek kesehatan Mandiri

koridor klinik




ruang tunggu klinik
peraturan berpakaian bagi pasien

Wuih, klinik kampus ini ngebetahin banget. Bersih, sejuk, sepi pokoknya bikin adem banget. Saat itu kayaknya lebih banyak petugas klinik daripada pasien. Sambil menunggu suami mendaftar dan namaku dipanggil, kami mencoba kursi pijat yang disediakan gratis oleh klinik.  Jumlahnya ada empat. Tentu saja kesempatan duduk di kursi pijat gratis tidak disia-siakan. Gratisan gitu lho. Biasanya sih beginian ada di mall dan dibayar pake selembar uang ringgit.


Nyobain kursi pijat klinik. Gratis....

Tak lama kemudian namaku dipanggil. Setelah didiagnosa, dokter pun menyampaikan sarannya. Ternyata gigiku memang sudah tidak bisa diselamatkan lagi alias harus dicabut. Namun karena saya datang siang hari maka proses pencabutan gigi tidak dapat dilaksanakan. Terlebih saat gigiku diketuk, ada rasa sakit yang terasa seketika.


Dokter kemudian memberiku resep obat antibiotic dan penghilang rasa sakit yang harus saya ambil di pharmacy (apotek). Antibiotiknya harus habis dalam 5 hari sementara obat anti sakit hanya diminum seperlunya saja. Sementara untuk pencabutan, dokter memintaku datang pagi hari karena katanya kalau sudah siang tidak bagus untuk pencabutan gigi karena dikhawatirkan terjadi pendarahan. Tidak lupa, dokter memintaku makan terlebih dahulu.

Setelah keluar dari ruang praktik, kami pun bergegas ke ruang pharmacy yang berada dekat pintu masuk. Setelah menunggu sesaat, obat pun datang. Sebelum menyerahkan obat, sang apoteker menjelaskan satu persatu obat yang harus saya minum. Setelah itu meminta kepastianku, apakah saya paham dengan penjelasannya. Saya pun mengulang penjelasan tersebut sebagai kepastian kalau saya sudah mengerti.

Sampai di sini saya teringat sikap para petugas bagian pengambilan obat di rumah sakit di negeriku. Beberapa kali saya harus melihat raut wajah tidak senang ketika saya menanyakan apa-apa saja jenis serta khasiat obat yang  akan dikonsumsi.

Memang tadi dokternya bilang apa?” tanya balik si petugas di bagian pengambilan obat.
“Dokter bilang bla bla bla…..” jawabku
“Ya udah, memang seperti itu obatnya…..”
“Tapi kan saya tidak tahu, yang mana obat untuk ini yang mana obat untuk itu……” saya berusaha bertahan ditengah kejutekan si petugas. Saya merasa berhak tahu lho, obat apa yang akan saya konsumsi atau anak saya konsumsi jika yang sakit anak saya.
Dengan terpaksa si petugas pun menjelaskan. Mengapa saya katakan terpaksa, wajahnya itu lho…. Seperti hendak menelan orang. Beda banget dengan wajah petugas yang ada di hadapanku saat ini. Ramah dan sabar, terlebih ketika mengetahui kalau saya bukan orang tempatan. Mungkin mereka khawatir saya gak ngerti bahasa dan maksudnya.

Oke deh, kembali ke masalah pergigianku. Singkat cerita, lima hari kemudian, saya dan suami kembali mendatangi klinik. Sejak meninggalkan rumah, mulutku tak henti-hentinta berdzikir.  Terbayang pengalaman saat gigiku dicabut yang terakhir kali kulakukan saat masih di Makassar mungkin sekitar sepuluh tahun yang lalu. Saat itu dokter sampai harus  bersusah payah mencabut gigiku yang tinggal seujung kuku di permukaan. Dokternya kewalahan, saya pun kesakitan plus ketakutan. Klop lah tuk menyisakan trauma drama pencabutan gigi.

Qadarallah, gigiku masih belum boleh dicabut. Rasanya pengen nangis waktu petugasnya bilang, “Puan, kalau nak cabut gigi mesti datang pagi sebab siang tak boleh cabut….”
Saya pun ngeles. “ Lha, masih pagi pun….”
“Dah bukan pagi lagi sebab sudah dah pukul 11. Esok datanglah lagi pagi, pukul 8 atau 9. Jangan lupa makan dulu ya…”

Waduh….kok konsep pagi kita berbeda seeeeh…….Huhuhu

Besoknya, kami benar-benar datang pagi. Jam 8 lebih sedikit kami sudah berdiri di depan loket pendaftaran. Pas udah mendaftar ternyata si petugas bilang. “Boleh tunggu lama sikit sebab dokter tengah makan? Puan dah makan, kan?"
Saya pun jawab iya. begitu petugasnya pergi, saya baru menyesal mengapa tidak bilang saja belum makan, siapa tahu diajak makan. hahaha...

Ya udah saya dan Hilyah pun menunggu. Hanya ada kami berdua di ruang tunggu tersebut. Suami sudah kembali ke tempat kerja karena serentetan acara membuatnya tidak bisa menemani kami. Tak apalah, saya kan sudah biasa ditinggal, hikz….

Sekitar setengah jam lebih kami menunggu dokter. Setelah seorang perempuan berbaju kurung sederhana dengan wajah tertutup masker melintas di depan kami  masuk ke ruang pemeriksaan, tak lama kemudian namaku pun dipanggil.

“Puan Haeriah. Apa kabar, Puan,  Puan sehat?” tegur perempuan yang melintas tadi yang ternyata sang dokter.

Saya pun menjawab basa-basi dokter tersebut. Sehat? Tidak juga kali, buktinya saya ada di sini….

Sebelum acara utama dilaksanakan, salah seorang asisten dokter yang sedari tadi berdiri tak jauh dari dokter kemudian mengukur tekanan darahku. Setelah dirasa normal, dokter pun melanjutkan pemeriksaannya.

Mula-mula dokter bertanya kapan terakhir kali saya mencabut gigi. Setelah melihat kondisi gigiku, dokter kembali bertanya, gigi mana yang akan dieksekusi terlebih dahulu.

“Yang kanan aja dokter” jawabku. Dari ketiga gigiku, gigi ini yang paling parah. Terbayang kembali kejadian pahit saat gigiku yang tinggal seujung jari dicabut. Huah, akankah kejadian itu terulang kembali. Tiba-tiba ruangan yang tadinya dingin mendadak membuatku berkeringat.

“Dah rusak pun. Puan sabar ya, sakit dan susah sikit nanti mencabutnya…” tuh kan….dokternya aja bilang begitu. Saya pun mulai kembali berdzikir. Berusaha focus pada Sang Pencipta bukan pada masalah gigiku.

Dokter kemudian mengoleskan sesuatu di sekitar gigiku sebelum menyuntikkan obat kebas. Sebelum jarum suntik menyentuh gusiku, dokter meminta maaf terlebih dahulu karena prosesnya akan menyakitkan. Dan ketika saya terkejut dokter kembali menenangkanku.

“Kita tunggu obatnya bekerja ya…” ucap dokter ketika saya merasakan pelan-pelan area mulutku terasa kebas. Ini berarti efek obat sedang bekerja.

Setelah menunggu sekitar 5-10 menit, dokter pun mulai mengeksekusi gigiku. Bayangan-bayangan seram mulai menghampiriku. Akankah drama pencabutan gigiku terulang kembali. Tak ti tuk, waktu pun perlahan berjalan merambat.

“Alhamdulillah, dah selesai. Gigi Puan dah tercabut. Ini giginya….” Dokter itu kemudian menunjukkan sebentuk gigi yang tinggal sepotong dan masih diselimuti darah. Dokter pun beranjak ke belakang mungkin bersih-bersih.

Saya terpana. Hah, sudah selesai? Cepat banget. Ah, masa sih. Lha, dramanya mana?

“Dah selesai, Dokter?” tanyaku hampir tak percaya. Saya berusaha memastikan apa yang terjadi.

“Iya, nah tuh gigi Puan!” jawab dokter menunjuk benda di hadapanku

Masya Allah, jadi ini semua beneran. Gak ada rasa sakitnya sama sekali lho. Iya sih, sempat terasa ada yang dicabut dalam mulutku tapi beneran, tidak menimbulkan rasa sakit. Rasa sakit hanya saat disuntik saja.

Saya masih tidak percaya. Meski kemudian dokter memberikan wejangan apa-apa yang harus saya lakukan sehubungan dengan konsidi gusiku yang baru saja kehilangan gigi. Dokter melarangku makan yang keras-keras dan minum yang dingin-dingin. Saya pun dilarang berkumur-kumur dulu. Dilarang mengorek bekas cabutan dengan apapun termasuk dengan lidah. Dan terakhir, dokter membekaliku dengan kapas plus obat penahan sakit.

“Jadi dah selesai, Dokter?” lagi-lagi saya menanyakan hal yang sama.

Dokter tersenyum sambil mengangguk. Dengan rasa tak percaya saya pun pamit pada dokter dan asistennya.

Sampai di ruang tunggu, saya masih tetap tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ini juga rasa kebas di mulut udah hilang dari tadi. Padahal yang lalu, rasa kebas tuh bakal betah bahkan sampai sore hari. Ih, dokternya pakai obat apa sih kok bisa kayak gini. Atau jangan-jangan tubuhku yang sudah kebal dengan rasa sakit?

dibekali obat dan kapas sebelum pulang
Setelah eksekusi gigi ternyaman yang pernah saya rasakan itu selesai, saya tak langsung pulang. Sembari menunggu suami datang menjemput, saya dan Hilyah beli cemilan di kedai kampus. Cemilan buat Hilyah saja tentunya. Meski tidak sakit namun saya tidak berani mengkonsumsi apa-apa saat itu.

“Mungkin hanya kebetulan. Atau rasa sakitnya belum muncul. Mungkin sebentar baru terasa, dokter bagi obat kan?’” seperti biasa jawaban suami yang dingin terlontar ketika saya menceritakan hal yang excited. Gemes, kan…

Alhamdulillah, sampai sore, malam bahkan besok dan besoknya lagi rasa sakit itu tidak juga muncul. Excited banget kan. Saya sampai bingung sendiri. Kok bisa seperti ini. Saya pun berpikir mungkin hanya kebetulan. Coba di eksekusi berikutnya. Masih sama, gak?

Beberapa hari kemudian, geraham sebelah kiriku mulai rewel. Mungkin karena “iri” melihat saudaranya sudah dibebas tugaskan dari tugasnya mengabdi di mulutku maka keduanya pun berulah. Sakit banget.

Saya pun kembali ke klinik. Oleh dokter tentu saja tidak bisa langsung dicabut. Saya pun dibekali obat penahan sakit plus anti biotik dan diminta kembali setelah obat habis dalam lima hari. Jangan lupa, datangnya pagi dan makan sebelum datang.

Saya pun mengkonsumsi obat yang diberikan dokter. Saya lihat anti biotik yang diberikan berbeda dari sebelumnya. Tapi tentu saja saya tidak memedulikannya.

Subhanallah, gigiku sakit lagi. Kali terasa sangat sakit. Sakitnya sampai membuat kepalaku seakan dijejali berton-ton beban berat. Otomatis saya tidak bisa berbuat apa-apa saat rasa sakitnya datang. Alhamdulillah, sakitnya hanya datang sesekali dan tidak berterusan. Namun semakin lama semakin sering.

“Bagaimana mau dicabut kalau gigiku masih sakit begini…” keluhku. Sembari melihat persediaan obat yang hampir habis. Saat itu saya sudah gonta ganti minum obat penahan sakit sementara anti biotik tetap kuteruskan sampai habis.

Dan setelah persediaan obatku habis, saya tetap memberanikan diri kembali ke klinik. Meski yakin tidak gigiku tidak akan bisa dicabut karena masih sakit namun setidaknya mereka lebih tahu tindakan apa yang harus saya lakukan agar rasa sakit ini tidak datang dan datang lagi.

“Oh, berarti anti biotiknya tidak cocok. Saya ganti obatnya ya….” Jawab dokter ketika saya mengutarakan keluhanku.

Saat mengambil obat di pharmacy saya terkejut. Lho, ini kan anti biotik yang pertama.  Saya pun mulai mengurut kejadiannya. Pada saat pemeriksaan pertama, saya ditangani dokter A dan diberi obat ini. Nah, saat pemeriksaan sebelum ini saya ditangani dokter B dan diberi obat yang kemarin. Dan tadi, dokter A yang kembali menangani saya dan saya pun diberi kembali obat yang ini.

Alhamdulillah, saat mengkonsumsi obat tersebut, rasa sakit telah hilang. Masya Allah, kalau sudah begini baru terasa betapa besarnya nikmat kesehatan yang diberikan Allah. Ya Allah, semoga rasa sakit yang Engkau hadirkan kemarin menjadi penebus dosa-dosa hamba-Mu ini. Aamiin.

“Mungkin dokter baru….jadi ngasih obatnya tidak tepat….” Ucap suamiku menanggapi permasalahanku.

Mungkin juga sih. Diam-diam saya berharap, semoga saat eksekusi kedua nanti bukan dokter B yang menanganiku. Kebayang kan kalau dokter baru yang mengeksekusi. Jangan-jangan nanti berakhir drama sebagaimana kejadian sepuluh tahun yang lalu.

Dan…hari eksekusi kedua pun tiba. Qadarallah, doaku tidak terkabul. Yang akan menanganiku ternyata dokter B. Mau tidak mau, saya negative thinking duluan. Ngasih obat saja salah, jangan-jangan nanti cabut giginya juga salah. Huhuhu.

“Alhamdulillah, sudah selesai. Giginya sudah hancur Puan jadi lebih susah dan lama”
Di hadapanku tergeletak tiga keping gigi berbalut darah. Pantas saja, tadi terasa dokter mencabut tiga kali. Saya pikir, cabutan pertama gagal, cabutan kedua gagal dan baru berhasil di cabutan ketiga.  Saya sempat berpikir kok cara kerjanya kayak gini, gak kayak dokter A. Padahal ternyata, gigiku diesksekusi tiga kali karena ketiganya sudah bercerai berai. Jadi mencabutnya harus satu-satu.

“Jadi dah selesai?” meski gak terlalu excited kayak yang pertama tapi tetap aja terkejut. Kalau yang pertama, rasa sakit akibat suntikan sempat membuatku terkejut maka kali ini boleh dibilang hampir tak terasa sakit kecuali hanya sedikit. Padahal, ternyata eksekusi berjalan lebih sulit dari yang pertama.

Seketika saya dihujani rasa bersalah. Ya Allah, saya sudah berburuk sangka dengan dokter B. Seketika saya ingin meminta maaf namun apalah daya, kondisi mulut tidak memungkinkanku berbicara banyak. Bekas cabutan gigi harus terus ditekan kuat dengan kapas membuatku hanya bisa diam dengan pandangan mata mengabur. Ya Allah, ampunkan hamba-Mu ini….

Alhamdulillah…..dua gigiku telah berhasil dibebastugaskan. Sebagaimana sebelumnya, rasa kebas di mulut tidak berlangsung lama dan rasa sakit akibat pencabutan juga tidak terasa lagi setelahnya. Bahkan obat penahan sakit yang diberikan dokter masih utuh karena tidak kukonsumsi. Masya Allah.

Sekarang gerahamku tinggal satu tapi kayaknya nantilah dicabutnya. Alhamdulillah, sampai sekarang gigi yang tinggal sendiri itu tidak sakit lagi. Seperti yang telah kuceritakan, kondisinya memang tidak seburuk kedua gerahamku yang sudah dicabut.

Terus terang sampai sekarang, saya masih penasaran, kok bisa sih gigi dicabut tapi gak sakit. Ada yang pernah mengalami seperti saya? Sharing, yuk….







  • Share:

You Might Also Like

21 Comments

  1. Kalau gigi atas kykny ngeri kali di cabut mba,, hiks,, aku da geraham yg blong mikir2 mo k dokter hiks takut^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. dua gigi gerahamku yang dicabut sebelah atas lho, mba. Gak ada pilihan lain soalnya giginya udah hancur juga. Alhamdulillah, gak sakit

      Hapus
  2. hebat yaaaa dokternya bisa cabut tanpa sakit
    jujur saya paling takut dokter gigi. untunglah belum ada kejadian yang mengharuskan saya untuk ke dokter gigi lagi *ketok ketok meja*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, gak ngerti juga kok bisa gak sakit. Apa dokternya yang hebat atau saya nya yang kebal, hehehe. Alhamdulillah mba, semoga giginya sehat terus jadi gak perlu ke dokter gigi. Nyeremin, hehehe

      Hapus
    2. mungkin dua duanya mbak hihihi, amin amin mbak. yuk kita jaga kesehatan gigi biar ga perlu ketemu ibu/bapak dokter gigi lagi. ceyem huhuhuu.

      Hapus
    3. setuju. Eh tapi sepupuku dokter gigi gak ceyem kok, cantik malah. ish dibahas...

      Hapus
    4. mungkin karena beberapa hari sebelum cabut gigi sudah makan banyak obat penahan rasas jadi sudah kebal duluan terhadap rasa sakit hehe

      Hapus
  3. Kalau saya mah kapok mbak mbak kalau cabut gigi harus ke dokter karena wadaw alat alatnya ituloh yang membuat saya menjadi takut kalau harus cabut gigi kedokter walaupun terbilang aman dan sehat tapi tetap saja saya takut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sempat kapok lah, wong terakhir kali gigiku dicabut sempat drama banget. Tapi kemarin, alhamdulillah gak sakit. Saya sampai heran sendiri.....

      Hapus
  4. Wah malah nyari drama cabut giginya ya Kak :)
    Bener sih, Pengalaman saya, biasanya kalo ke dokter gigi pasti selalu ada drama. Apalagi anak saya. Ngebujuk biar mau ke dokter gigi susaaaah banget.

    Btw, salam kenal Kak Haeriah. Saya Ndy dari Makasar jg ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anak2 memang suka horror duluan liat alat2 dokter gigi. Eh jangankan anak2, orang dewasa juga masih suka berpikir 1000x tuk ke dokter gigi. Salam kenal juga.... Makassar di manaki?

      Hapus
    2. Anak2 memang suka horror duluan liat alat2 dokter gigi. Eh jangankan anak2, orang dewasa juga masih suka berpikir 1000x tuk ke dokter gigi. Salam kenal juga.... Makassar di manaki?

      Hapus
  5. Aku sekali2nya cabut gigi geraham mba yang uda bolong parah, cuman dibius terus tau2 gigi uda keluar aku yang uda kaku tegang sampe ga percaya kokcepat dan ga sakit hahahha..keren obat biusna

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin dokter kita pakai obat bius yang sama ya? Alhamdulillah, bisa gak sakit ya....

      Hapus
    2. Mungkin dokter kita pakai obat bius yang sama ya? Alhamdulillah, bisa gak sakit ya....

      Hapus
  6. eh eh beneran nggak sakit mba?
    aku aja masih ngeri kalau mau ke dokter gigi :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya benar lho mba gak sakit. Mungkin kedokteran gigi udah canggih jadi gak ekstrem dulu lagi....

      Hapus
  7. Ini masalah aku dari dulu mbak...gigi gerahamku yang kanan dan kiri duanya udah dicabut..sakitnya pake banget pas dicabut ...huaaaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dulu saya juga begitu, makanya excited juga karena beda banget dengan pengalaman cabut gigi terakhir.

      Hapus
  8. Wah mba tinggal di KL ya? Cabut gigi kalau dibius emang nggak rasa apa2. Btw saya senang baca sharing-nya ttg klinik gigi di luar negeri. Nambah wawasan :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya di Terengganu mba, 400 km dari KL. Waktu terakhir dicabut sih, terasa banget waktu dicabut meski sudah dibius sampai seluruh mulut terasa menebal beberapa senti. Alhamdulillah, kemarin semuanya berlangsung dengan cepat dan nyaman.

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging