Sumber gambar: Pixabay |
Pada kehamilan keempat,
saya sempat mengalami kontraksi yang sangat hebat. Di satu sisi, saya pikir
mungkin sudah mau melahirkan. Namun, di sisi lain, saya juga ragu karena usia
kandungan belum cukup untuk melahirkan. Baru sekitar 8 bulan. Namun, rasa sakitnya
... Masya Allah, benar-benar sakit meski berbeda dengan rasa sakit saat akan
melahirkan.
Beda sakitnya gimana?
Kalau kontraksi biasa, ada jeda sehingga saya bisa melakukan aktivitas lain.
Kalau konstraksi yang ini, gak ada jeda sama sekali. Yang ada hanya sakit dan
sakit. Masya Allah.
"Coba jalan dulu
biar nantinya mudah melahirkan." Saran suami.
Saya pun mencoba
berdiri. Namun, baru beberapa langkah menyusuri masjid (saat itu kami masih
tinggal di rumah imam masjid yang berdempetan dengan masjid) saya
menyerah. Sakit sekali. Dengan dibantu seorang akhwat (saat itu sudah ada
beberapa akhwat yang berjaga di rumah. Mereka datang ketika mengetahui
kalau saya sudah kesakitan), berdua kami kembali duduk di tempat semula.
Baca Juga: Ibu Bahagia, Kunci Melahirkan Anak-Anak Hebat
Akhirnya, suami
memanggil ibu bidan yang cukup akrab dengan kami, Bidan Yayuk. Selama ini,
sakit apa pun, kami selalu konsultasi dan memeriksakan diri ke beliau.
"Masih jauh.
Sepertinya, belum saatnya melahirkan ..." Ucap Bidan Yayuk usai
memeriksa kondisiku.
Bidan Yayuk kemudian berkomunikasi
dengan temannya yang saat itu datang bersamanya.
"Tapi, sakit sekali
Bu Bidan," keluhku menahan sakit.
"Coba nanti saya
cek kembali, ya. Kebetulan, saya ada urusan. Jadi, saya tinggal dulu."
Beliau memang super
sibuk. Sebagai bidan berdedikasi tinggi, beliau memang pemurah dan ramah
sehingga disukai banyak orang.
Tinggallah saya ditemani
teman-teman akhwat. Masya Allah, mereka benar-benar sangat membantu. Ada yang
menemaniku menahan sakit, ada yang membersihkan rumah, ada yang memasak, dan
ada yang menjaga tiga anakku yang lain. Alhamdulillah, saya bisa fokus dengan
rasa sakit yang datang tiba-tiba sejak pagi.
Menjelang malam, rasa
sakitnya tak kunjung berhenti. Bidan Yayuk yang datang memeriksa kembali,
akhirnya menyerah. Menurutnya, belum saatnya bagiku untuk melahirkan. Lalu,
rasa sakit itu dari mana?
Baca Juga: Jaga Kesehatan Ibu Rumah Tangga dengan Memperhatikan Hal-Hal Ini
Akhirnya, saya dibawa ke
dokter spesialis kandungan, satu-satunya dokter SPog yang ada di kota kecil itu
saat itu (entah sekarang). Lagi-lagi teman-teman akhwat yang menyiapkan
barang-barang keperluan untuk melahirkan.
Setelah diperiksa,
dokter tersebut menyatakan kalau saya sudah pembukaan dua. Namun, katanya ada
masalah (entah apa, saya tidak bertanya kala itu atau sudah lupa). Kami pun
disuruh pulang dan dokter pun menyuruh suami menyiapkan uang sekitar 1 juta
rupiah untuk biaya operasi cesar.
Kami pun pulang. Bukan
pulang ke rumah, melainkan ke rumah tante yang memang jaraknya tidak terlalu
jauh dari tempat praktik dokter.
Melihat kondisiku, om
dan tante segera menyiapkan kamar dan menyuruhku beristirahat. Suami pun
menceritakan kondisiku, sementara saya masih terus kesakitan di kamar.
Saat itu kebetulan di
rumah tante juga ada Tante Zul, sepupu tante sekaligus sepupu mamaku (tante dan
mamaku bersaudara). Usai melihat kondisiku, Tante Zul memberitahukan tante
kalau beliau melihat sesuatu yang ganjil.
"Kamu percaya
gak dengan pengobatan kampung?" Dengan ditemani tanteku, Tante Zul
kemudian berkata kepadaku.
Saya hanya bisa mengiyakan.
Sepanjang itu bisa meredakan sakit ini dan tidak melanggar syariat, saya
percaya.
"Kalau begitu,
kamu mau saya obati?"
Lagi-lagi, saya kembali
mengiyakan.
"Baik, nanti
kamu akan saya injak-injak. Insya Allah, ini tidak berbahaya."
Saya hanya pasrah. Sakit
yang tak terhingga membuatku tidak bisa berpikir lain.
Mulailah Tante Zul
berdiri, sementara saya diminta terlentang. Pelan-pelan beliau menginjakkan
sebelah kakinya ke bagian bawah perutku. Hal ini dilakukan berulang-ulang. Sungguh,
meski diinjak-injak, tak sedikit pun saya merasa sakit.
Tiba-tiba ....
"Tante, sakitnya
hilang!" pekikku kegirangan.
Ya, rasa sakit yang
menderaku sejak pagi tiba-tiba hilang. Masya Allah, perutku terasa adem banget,
kembali kepada keadaan semula.
"Enak kita rasa,
Nak?" Tanya tante yang juga sudah menyudahi pengobatannya.
"Kita" dalam bahasa di SulSel artinya 'kamu' tapi lebih sopan.
"Iye,
Alhamdulillah." Jawabku penuh rasa syukur.
Buru-buru tanteku
mengabarkan kepada suami yang tengah bersiap di ruang tamu tante. Suami sedang
berembuk dengan teman-teman kami yang kebetulan ikut mengantar malam itu.
Saat itu kami memang
hidup pas-pasan. Jangankan menyiapkan 1 juta rupiah sebagaimana yang diminta
dokter untuk mengoperasiku, untuk mengumpulkan 100 ribu rupiah saja, kami harus
nabung dulu. Suami kala itu bekerja sebagai penjual majalah keliling, jadi
tentu bisa dibayangkan bagaimana ekonomi kami saat itu.
Seperti dugaanku, suami
tengah mencari pinjaman kepada teman-temannya. Kebetulan, ada salah seorang
teman yang ekonomi keluarganya lumayan baik. Dia bersedia meminjamkan uang
kepada kami.
Tentu saja, suami sangat
lega melihat kondisiku sekarang. Suami juga tak henti-hentinya mengucap syukur.
Selain karena kondisiku yang kembali pulih, kami pun terhindar dari berutang.
Satu hal yang paling kami hindari.
Malam itu teman-teman
yang menemani kami akhirnya kembali ke rumah masing-masing. Saya, suami, dan
anak-anak masih tinggal beberapa hari lagi di rumah tante.
Setelah keadaan tenang, Tante
Zul pun bertanya, apa yang saya lakukan sebelumnya. Saya pun teringat bahwa
beberapa hari yang lalu saya minta diurut oleh Mbah Tukang Urut, tetangga kami.
Dengar-dengar, beliau bisa membantu melancarkan persalinan dengan urutannya
tersebut.
Tante Zul pun menduga
kalau itulah penyebabnya. Menurut Tante Zul, kesakitan yang saya alami akibat
janin yang ada di perutku berada dalam posisi terjepit. Mungkin, akibat salah
urut, posisi janin pun bergeser dari tempatnya semula.
Tante Zul pun bercerita
kalau selama ini ia terkadang dimintai membantu orang melahirkan di kampung.
Istilahnya, beliau dukun beranak. Malahan, proses kelahiran ketujuh anaknya,
semuanya dilakukannya seorang diri. Terkadang, Tante Zul dibantu oleh Nenek
Dajeng, mama Tante Zul. Adapun suaminya, hanya bisa ikut membantu sedikit
karena takut melihat darah.
Karena keahliannya
itulah, Tante Zul mampu menganalisis kondisi ibu hamil yang dilihatnya.
Maka, begitu pulalah dengan kondisiku saat datang.
"Bukan kondisi
orang yang mau melahirkan ..."
Bidan Yayuk yang datang
keesokan paginya juga ikut bersyukur dengan kondisiku yang sudah sembuh dan
tidak jadi dioperasi. Saat itu, saya dan suami pun bersyukur karena malam itu
tak punya uang sehingga tidak serta merta mengiyakan permintaan dokter untuk mengoperasiku.
"Ada untungnya juga
jadi orang miskin ..." ucapku lirih.
Alhamdulillah, sebulan
kemudian, saya pun melahirkan di Makassar. Meski suami tak bisa menemani (sama
seperti proses kelahiran si nomor 2 dan nomor 3), saya diantar ke rumah sakit
yang tak jauh dari rumah oleh ibu mertua dan adik ipar. Sebenarnya, saya sudah
menetapkan akan melahirkan di Klinik Wihdatul Ummah, tetapi karena letaknya
yang lumayan jauh sementara air ketubanku sudah pecah saat masih di rumah,
keluarga memutuskan untuk pergi ke tempat terdekat saja.
Sumber Gambar:
https://www.alodokter.com/cari-rumah-sakit/rumah-sakit-islam-faisal-makassar
Maka, bertempat di Rumah
Sakit Islam Faisal, tepat usai mengedan untuk kedua kalinya dan bersamaan
dengan azan Subuh, lahirnya si nomor 4. Di subuh hari itu, tepat pada 7 April
2007. Alhamdulillah, kini putriku berumur 15 tahun.
Sebuah nama kami berikan
untuknya, Khaulah Qoniah Possumah. Nama yang kami ambil dari nama salah seorang
sahabiyah yang mulia. Banyak doa yang kami berikan untuk putri kami tercinta
itu. Sesuai namanya, semoga ia menjadi anak yang salehah serta menjadi penyejuk
mata dan kebanggaan bagi kedua orang tuanya, keluarga, serta agamanya. Aamiin ya Rabbal Alamin.