Beberapa waktu lalu, kami terpaksa memulangkan dua anak yang berada di perantauan, si sulung kuliah di Bogor dan si nomor empat yang mondok di Depok. Langkah ini terpaksa diambil karena kami khawatir nasib kedua anak tersebut di tengah semakin merebaknya wabah COVID 19 ini. Apalagi, di kedua kota tersebut, kami tidak punya keluarga sehingga anak-anak akan benar-benar sendiri sekiranya nanti kebijakan pemerintah memberlakukan kebijakan lockdown atau karantina.
Akhirnya, kami membelikan tiket kepulangan untuk kedua anak tersebut. Kami memilih maskapai Citilink setelah membaca status medsos salah seorang teman di dunia maya. Kata teman, maskapai tersebut menerapkan aturan pembatasan jarak antar penumpang sehingga menurut kami cara ini akan lebih aman bagi anak-anak daripada mereka menggunakan pesawat yang semua kursinya terisi penuh. (Kami kurang tahu, apakah hanya maskapai ini yang menerapkan aturan ini atau semua maskapai telah menerapkannya saat itu.)
Agar lebih aman, kami juga membelikan kursi prioritas yang berada di bagian paling depan sehingga anak-anak tidak perlu melewati banyak orang. Kami juga berpesan agar anak naik belakangan saja karena toh tempatnya tidak akan berubah. Semuanya kami lakukan demi menjaga keamanan dan keselamatan anak-anak.
Agar lebih aman, kami juga membelikan kursi prioritas yang berada di bagian paling depan sehingga anak-anak tidak perlu melewati banyak orang. Kami juga berpesan agar anak naik belakangan saja karena toh tempatnya tidak akan berubah. Semuanya kami lakukan demi menjaga keamanan dan keselamatan anak-anak.
Keduanya dijadwalkan pulang ke Makassar pada tanggal 28 Maret 2020. Waktu tersebut kami pilih karena bertepatan dengan selesainya masa observasi selama 40 hari si nomor 4. Kebetulan juga, santri baru diberi kesempatan libur selama 3 hari, jadi sekalian anaknya kami jemput pulang saja.
Sebenarnya, saya pinginnya anak-anak ngumpul di Malaysia aja, tempat saya, suami, dan si bungsu berada saat ini. Qadarallah, Malaysia telah memberlakukan lockdown sehingga tidak memungkinkan bagi anak-anak untuk pulang ke sini. Jalan terbaik adalah pulang ke Makassar, setidaknya di sana masih ada keluarga besar yang bisa mengawasi mereka. Selain itu, anakku yang nomor dua dan nomor tiga juga sudah berada di sana.
Baca Juga: Menularkan Kebiasaan Membaca dan Menulis Pada Anak
Baca Juga: Menularkan Kebiasaan Membaca dan Menulis Pada Anak
Sabtu, 28 Maret 2020
Pagi-pagi sekali, saya sudah menghubungi si sulung. Sekali lagi, saya memastikan kalau ia sudah siap untuk menjemput adiknya di Depok. Beberapa hari sebelumnya, kami sudah memintanya untuk sekalian mengepak semua barang yang ada di kost-annya. Kebetulan juga, kami sempat menitipkan beberapa barang di kostannya karena ada rencana kami sekeluarga akan pindah ke kota hujan tersebut.
Jadi, sekiranya wabah ini terus berlanjut dan si sulung tidak mungkin untuk kembali ke kostan sementara kost-annya habis di bulan Juni, barang-barang dan motor si sulung akan diambil mahasiswa suami yang memang tingga di kota tersebut.
Kalaupun terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, suami juga udah pasrah. Katanya,
"Harta bisa dicari, yang penting anak-anak bisa berada di tempat yang aman terlebih dahulu."
"Harta bisa dicari, yang penting anak-anak bisa berada di tempat yang aman terlebih dahulu."
Duh, mendadak mewek....
Kembali ke si sulung ...
Si sulung meninggalkan kost-annya sekitar jam 8.00 pagi. Jalanan yang tidak seramai biasanya membuat perjalanannya lebih singkat. Sekitar pukul 9.00 pagi, si sulung tiba di pesantren si nomor empat. Saya pun segera menghubungi ustadzah si nomor empat dan memberitahukan kalau abangnya sudah tiba dan menunggu di luar.
Si nomor empat pun keluar. Qadarallah, mobil teman suami yang rencananya akan menjemput dan mengantar mereka ke bandara belum tiba di pondok. Usut punya usut, ternyata mereka pakai acara nyasar dulu sebelum tiba di tempat ini.
Sekitar pukul 10 pagi, keduanya berangkat setelah sebelumnya melewati dan memastikan mereka menaati prosedur yang kami tetapkan. Lagi-lagi jalanan yang sepi membuat perjalanan berlangsung lebih singkat dari biasanya. Sementara kami yang jauh, tak henti-hentinya menelepon dan mengirimkan SMS untuk memantau keduanya.
Alhamdulillah, sekitar jam 18 sore, keduanya tiba di Makassar. Di rumah, keluarga juga sudah menyiapkan "prosesi penyambutan". Sebelum masuk rumah, mereka diminta melepaskan pakaian luar dan membersihkan koper serta tasnya dengan cairan disinfektan. Setelah itu, mereka langsung menuju kamar mandi dan mandi bersih di sana.
Kami sudah menyiapkan lantai dua sebagai ruangan isolasi mandiri selama 14 hari. Kebetulan ada dua kamar kosong yang bisa ditempati masing-masing anak. Adapun untuk urusan makan dan minum, anakku yang nomor dua dan nomor tiga yang akan menanganinya. Mereka akan meletakkan makanan dan minuman di ujung tangga sehingga tak ada yang bersentuhan fisik dengan kedua anak yang akan diisolasi tersebut.
Si Nomor Tiga Demam
"Khaulah demam!" lapor si sulung mengenai kondisi terbaru adiknya. Saat itu sudah memasuki hari kedua kedatangan mereka.
Deg, mendadak dadaku terasa sesak, kepalaku pun terasa migren. "Ya Allah, apakah Khaulah terkena ...?"
"Hush, jangan berpikir yang tidak-tidak. Insya Allah, anak-anak baik-baik saja. Kita doakan mereka dari jauh" ujar suami yang melihatku mulai limbung.
Si sulung mulai memainkan perannya. Dengan penuh perhatian, dia merawat adiknya. Memberikan obat, menggosok punggung, betis, dan kening adiknya dengan minyak kayu putih, membuatkan teh hangat, dan memastikan adiknya merasa nyaman.
Tantenya juga mengabarkan kalau petugas puskesmas akan datang memantau demam Khaulah. Namun, yang ditunggu tidak juga datang. Mungkin sibuk di tengah wabah yang semakin hari semakin banyak memakan korban.
Tantenya juga mengabarkan kalau petugas puskesmas akan datang memantau demam Khaulah. Namun, yang ditunggu tidak juga datang. Mungkin sibuk di tengah wabah yang semakin hari semakin banyak memakan korban.
Ketika keesokan harinya, demam Khaulah tidak juga turun, terpaksa tantenya memberanikan diri naik dan memastikan kondisi keponakannya. Sebenarnya, saya sudah melarang karena takut terjadi apa-apa. Namun, katanya dia hanya sebentar di atas dan juga mengenakan masker serta memakai hand sanitizer.
Alhamdulillah, siang menjelang sore, panas Khaulah mulai turun. Dia juga sudah merasa enakan. Sebagai emak yang berada jauh darinya, mendadak lega banget.
Qadarallah, setelah demam mereda, terbitlah diare. Ya, Khaulah kembali kena diare. Oalah, saya pun kembali dilanda kecemasan. Apalagi, saya sempat membaca artikel yang mengatakan kalau diare termasuk salah satu tanda-tanda terkena COVID 19. Rasa khawatir, cemas, dan panik membuatku ikut-ikutan lemas di sini.
Alhamdulillah, setelah tiga hari diare, Khaulah pun sehat kembali. Lega banget rasanya.
Masa Isolasi Mandiri pun Usai
Setiap hari, saya dan suami selalu menghubungi anak-anak. Meminta dua anak untuk bersabar menjalani masa isolasi mandirinya dan meminta dua anak yang lain untuk bersabar memenuhi kebutuhan dua saudaranya yang katanya bak raja dan ratu karena semuanya serba dilayani.
Sementara saya di Malaysia, sangat rajin menghitung hari. Berharap hari segera berlalu dan masa 14 hari itu segera tiba. Masa-masa yang sangat menentukan apakah virus yang tak kasat mata itu ada atau tidak di tubuh anak-anakku.
Sementara saya di Malaysia, sangat rajin menghitung hari. Berharap hari segera berlalu dan masa 14 hari itu segera tiba. Masa-masa yang sangat menentukan apakah virus yang tak kasat mata itu ada atau tidak di tubuh anak-anakku.
Setelah masa 14 hari lewat, anak-anak berada dalam kondisi yang baik-baik saja. Alhamdulillah, puji syukur atas kesehatan yang diberikan-Nya kepada anak-anakku. Setelah itu, barulah saya bisa bernapas lega, bisa tersenyum lebar, dan bisa tidur nyenyak. Anak-anak juga senang karena sudah bisa berkumpul kembali bersama keluarga yang ada di sana.
Namun, wabah ini belumlah berakhir dan entah sampai kapan semua ini akan berakhir. Kita hanya bisa berdoa semoga wabah virus ini segera berlalu dan kita selalu diberi kesehatan dan kesabaran menjalani masa-masa karantina di rumah aja.
Aamiin Ya Rabbal 'Alamin.
Namun, wabah ini belumlah berakhir dan entah sampai kapan semua ini akan berakhir. Kita hanya bisa berdoa semoga wabah virus ini segera berlalu dan kita selalu diberi kesehatan dan kesabaran menjalani masa-masa karantina di rumah aja.
Aamiin Ya Rabbal 'Alamin.
*