Dibanding keempat adiknya, Abdullah adalah
anakku yang paling banyak menyimpan kenangan di masa kecilnya. Banyak sekali
kejadian yang membuat kami bolak balik rumah sakit. Salah satunya kejadian
seperti ini.
Waktu itu kami sekelurga telah berpindah ke
sebuah kota kecil tempat suami ditugaskan. Kebetulan kota kecil itu merupakan
kampung halaman keluarga mamaku dan salah seorang tanteku tinggal di sana.
Karena belum ada tempat tinggal, maka kami pun menumpang sementara di rumah
tante.
Suatu hari, seperti biasanya saya menyiapkan
cemilan sore untuk suami. Cemilan kesukaan suami, pisang goreng. Kebetulan
persediaan pisang tante sedang banyak karena suaminya baru saja datang dari
kebun mereka. Tante pun menyuruhku menggoreng pisang agak banyak.
Saat sedang menggoreng itu, Abdullah
rewel. Ia yang tadinya bersama abahnya mendadak ingin bersamaku. Mulanya saya
menolak, soalnya saya harus bolak balik menengok gorengan. Tapi karena Abdullah
bersikeras, saya pun mengalah. Saya pun membawa Abdullah bersamaku di dapur.
Mulanya Abdullah tetap berada di gendonganku.
Namun saat akan membalik pisang, saya menurunkan Abdullah agar ia tidak terkena
percikan minyak dan juga saya bisa lebih leluasa membolak balik pisang.
Qadarallah, wajan penuh minyak yang
kupakai tiba-tiba miring sehingga minyaknya tumpah ke mana-mana. Sigap, saya
melompat mundur. Namun (Ya Allah, kalau ingat kejadian ini saya masih sering
bergidik) saya lupa, benar-benar lupa kalau ada sosok mungil tepat di bawahku. Abdullah yang saat itu kulepaskan dari
gendonganku berada tepat di bawahku sehingga minyak panas itu mengenainya.
Innalillah…
Seketika saya menjerit ketakutan diikuti
Abdullah yang menjerit kesakitan. Buru-buru dari ruang tamu berlarian suami,
tante dan om. Dalam kepanikan saya hanya bisa pasrah ketika tante dan om
berusaha menolong Abdullah. Suami pun hanya bisa mengikut saja apa kata mereka.
“Telpon Pak Usdi, cepatki….” Tiba-tiba
saya teringat sahabat suami yang seorang mantri kesehatan di tengah kencangnya
tangis Abdullah.
Tanpa membuang waktu suami segera
menelpon. Alhamdulillah beliau berada di rumah padahal biasanya beliau berada
di tempat tugasnya di daerah pelosok yang sangat terpencil.
Sekitar 15 menit kemudian, Pak Usdi telah
tiba. Berbekal pengetahuan dan keterampilannya sebagai mantri professional,
beliau pun menangani Abdullah. Ketenangannya membuat kami ikut-ikutan tenang
padahal sejak tadi paniknya luar biasa. Jika saja semua tenaga kesehatan
seperti beliau, insya Allah tingkat kesehatan di negeri ini akan meningkat
dengan cepat.
“Tidak apa-apa, Insya Allah cepat
sembuh. Abdullah anak kuat, kok” ucapnya pada Abdullah.
Abdullah memang sudah agak tenang.
Seperti yang dikatakan Pak Usdi, Abdullah memang hebat, anak yang kuat. Tangis
kejernya sudah berhenti, hanya sesekali sisa-sisa isaknya terdengar lirih.
Mungkin rasa sakit yang dirasakannya sudah berkurang seiring dengan bekerjanya
obat yang diberikan Pak Usdi.
Dalam ketenangannya, mata mungil Abdullah
tak pernah lepas dari memandangi punggung tangannya yang melepuh, menggelembung
penuh air. Saya pun sesekali memandang tangan itu dengan pandangan perih. Selaksa
rasa bersalah akan keteledoranku yang berakibat melukai buah hatiku sendiri.
“Jangan dipecahkan gelembung itu, biar
nanti saya yang tangani. Sekarang saya harus pergi, insya Allah nanti datang
lagi” ucap Pak Usdi setelah merasa cukup memberikan perawatan pertama.
Pak Usdi menepati janji. Malamnya beliau
datang bersama istrinya. Kedatangan keduanya betul-betul sangat berarti bagi
kami. Istri Pak Usdi pun berulang kali menenangkanku atas rasa bersalah yang
kurasakan. Beliau menyemangati dengan mengatakan bahwa kejadian seperti ini
bisa menimpa siapa saja bisa. Toh, saya pastinya tidak pernah menginginkan
kejadian ini terjadi.
Alhamdulillah, apa yang kami khawatirkan
tidak terjadi. Sebelumnya kami takut bila malam itu Abdullah tidak akan bisa
tidur karena rasa sakitnya. Namun nyatanya, Abdullah bisa tidur dengan nyenyak
seakan tidak terjadi apa-apa. Entah pengaruh obat tidur atau karena Abdullah
memang anaknya suka sekali tidur.
Alhamdulillah, perawatan yang diberikan
Pak Usdi membuat luka Abdullah terawat dengan baik sehingga cepat sembuh.
Ada satu kejadian tidak mengenakkan ketika
saya bersama Abdullah dan seorang teman berangkat bersama menuju tempat
pengajian. Saat di pete-pete (sebutan untuk angkot di wilayah Makassar dan
sekitarnya), beberapa orang penumpang terkejut melihat luka Abdullah yang sudah
mulai mengering.
“Kena minyak panas…” jawabku ketika ada
yang bertanya mengenai luka Abdullah tersebut.
“Bisanya seperti ini, di mana mamanya?”
“Pasti mamanya ceroboh, masak anak kecil
begini bisa kena minyak panas..”
“Iya, mama-mama zaman sekarang suka tidak
becus mengurus anak…”
Masih banyak lagi yang mereka bicarakan.
Pembicaraannya sambung menyambung. Tapi yang jelas mereka menyalahkan mama anak
itu, mamanya Abdullah, ya saya lah…
“Sabar ki, Kak” ucap temanku menenangkan.
Hikz.
Sampai sekarang kejadian itu masih sangat membekas dalam ingatanku meski kejadian itu telah berlangsung enam belas tahun yang lalu. Hingga kini bekas tumpahan minyak itu masih dapat dilihat di punggung tangan kiri Abdullah. Meski samar namun bekas itu akan selalu menjadi pengingat bagiku.
Sejak saat itu saya lebih baik tidak
memasak daripada harus memasak sambil mengeloni anak. Abahnya pun lebih bisa
bersabar bila pulang namun makanan tidak tersedia di rumah karena saya sibuk
mengurus empat anak kecil waktu itu (alhamdulillah sekarang sudah besar tinggal
di bungsu yang tiga tahun). Alhamdulillah, gak masak berarti membagi-bagi
rezeki buat penjual makanan jadi yang banyak di sekitar rumah kami. Insya Allah
makanan mereka halalan thayyiban karena mereka para tetangga kami sehingga kami
mengenal mereka lebih banyak.
Mengenang kejadian 16 tahun silam
4 Comments
duh Mba, ngebayangin ketumpahan air panas itu kok saya bergidik ngeri yah Mba, gak kebayang gimana perihnya, hiks :'(
BalasHapusMeski sudah 16 tahun berlalu tapi kalau ingat kejadian itu mendadak bergidik dan ngilu. Ya Allah, jangan sampai terulang .....
HapusYa alloh sedih bacanya, trus ibu ibu yg ngomongin pengen ikut mites aja rasanya
BalasHapusSebagian ibu-ibu memang ada yang gampang banget menghakimi. Padahal, setiap ibu pastinya akan memberikan semua yang terbaik yang ia punya untuk anak-anaknya. Saya sempat nyesek dingomongin kayak gitu...
HapusTerima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging