Sehari Bersama Nenek Tercinta

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Minggu, Desember 15, 2019


Baru saja saya menghentakkan tubuh di atas kasur empukku ketika ponsel yang kupegang berdering. Segera kulirik nomor yang tertera dan ketika melihat kalau yang muncul adalah nomor Indonesia, saya pun mengurungkan diri untuk mengangkatnya. Bukan apa-apa sih, ntar roaming, bakalan habis dong pulsaku. 

Bukannya berhenti, ponselku terus saja berdering. Saat itulah baru kusadari kalau si penelpon menelpon via Whatsapp, sesuatu yang tadi tidak kuperhatikan karena parno duluan lihat nomor Indonesia (udah beberapa kali saya kena roaming, jadinya saya lebih berhati-hati sebelum mengangkat telepon)

Nah, loh, saat itulah saya melihat foto profil si penelpon. Oalah, beliau kan...

"Kamu ini Ria? Ini nenek puang, adaka di Shah Alam sekarang. Datangko ke sini, lihat nenek puang. Sudah 3 minggu Puang Nenek di sini, hari Senin ini sudah mau pulang ..."

Yah, yang menelpon adalah Nenek Puang Subaedah, adik kakekku. Sejak menikah, beliau langsung menetap di Jakarta, bersama suaminya yang bekerja di ibu kota tersebut, sementara keluarga besar kami kebanyakan berada di Makassar dan Tanah Luwu. Qadarallah, salah seorang anaknya, tante Dee menikah dengan orang Malaysia dan menetap di salah satu bandar raya negeri tersebut. Dan, di sanalah Puang Beda, demikian kami memanggilnya, berada di rumah anaknya selama beberapa lama.

Mendengar ajakan itu, seketika badanku serasa rontok kembali. Bukan apa-apa, ini juga saya baru saja sampai rumah setelah menempuh perjalanan Bogor-Kuala Terengganu selama kurang lebih 21 jam. Baru beberapa jam sampai rumah, masa saya harus ngebolang lagi? Bisa rontok beneran dakuh...

"Tapi baruka dari Kuala Lumpur, empat hari saya di sana. Ini aja baru sampai..." keluhku.

Namun, apalah daya. Komunikasi lewat ponsel, ditambah dengan usia nenek yang sudah 72 tahun membuat pembicaraan kami mbulet, gak nyambung. Apa pun alasan yang kukemukakan, ujung-ujungnya nenek bilang, "Datang ya, saya tunggu ..."

"Hikzzzz"

Dan pembicaraan pun berakhir dengan satu keputusan, "Saya harus datang!". Terlebih, ketika saya menelpon mama dan memberitahukan keberadaan nenekku, mama malah mendorongku untuk segera menemui nenek. Kata mama, "Kapan lagi bisa ketemu beliau. Beliau udah tua, lho." Kalau sudah begini, no reason anymore.

Hikz, saya harus bagaimana???????

"Apa, kembali ke Kuala Lumpur?" jerit Khaulah yang rupanya mendengarkan pembicaraan di telepon. Maklum, saya pake speaker.

"Saya gak mau ikut. Penatlah..." celutuk Hilyah.

So?

Singkat cerita, saya dan Khaulah kemudian berangkat ke Kuala Lumpur di hari Jumat pagi (20/09/2019). Rencananya kami langsung pulang besok malam dan Insya Allah tiba kembali di Terengganu pukul 5 pagi.

"Ria, ya?" tegur seseorang begitu Grab yang kutumpangi dihadang di pintu gerbang  kompleks rumah Tante Dee. Saat itu Grab yang kutumpangi sejak dari TBS (Terminal Bersepadu Selatan) tertahan di pos satpam. Kami gak boleh masuk sebelum menyetor kartu pengenal di pos satpam tersebut.

Saya langsung mengiyakan. Rupanya si bapak itu adalah supir Tante Dee yang tadinya ditugaskan menjemputku di TBS. Berhubung, tadi dia ngelayap entah ke mana (dan katanya, nenekku "ngamuk" habis-habisan karena saya terpaksa nge-Grab ke rumah tante Dee), jadinya si supir, nenek dan kakek menungguku di pos satpam karena tahu peraturan yang cukup ketat di kompleks tersebut.

Supir itu kemudian membayar ongkos Grab dan memindahkanku dan Khaulah ke mobil Alphard hitam. Di sana menunggu nenek dan kakekku.

"Matumba tongko ma'bobong susite... (Ngapain kamu berpakaian begini?)" protes nenekku melihatku berkostum hitam-hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tak heran, terakhir kali kami bertemu, saya masih SD. Namun, saya yakin, beliau sudah tahu kok kalau penampilan saya berbeda dari saudara-saudara yang lain. Bagaimana tidak, dulu, keluarga besarku  sempat geger dengan keputusanku berhijrah. Malah, saya sempat akan dibawa ke "orang pintar" karena dikira kemasukan ilmu sesat.

Alhamdulillah, "badai" itu telah berlalu. Mereka telah terbiasa dengan penampilan seperti ini karena hakikatnya tak ada yang berubah. Saya tetaplah anak dan cucu yang menggemaskan. Lagipula, warna hitam itu kan mencermikan keanggunan dan kemandirian. #maksa, hehehe 

Saya hanya tersenyum sembari meringis mendengar kata pertama nenekku tersebut. Saya kemudian salim dan memeluknya. Gak perlu dalillah menghadapi reaksi ini. Cukup disenyumi dan tetap berlemah lembut serta hormat.  

Sesampainya di rumah Tante Dee, saya dan Khaulah cukup terkejut. Masya Allah, rumahnya besar dan bagus banget. Qadarallah, saat itu tuan rumah sedang tidak di rumah. Tante Dee, suami, serta anak bulenya sedang ke London. Kebetulan, Desire, nama anak sulung Tante Dee akan melanjutkan kuliahnya di sana. 

Setelah melepaskan lelah, kami diajak makan. Alhamdulillah, 3 orang ART Tante Dee selalu siap melayani kami. Agak jengah juga rasanya dilayani. Maklum,  gak pernah punya ART. Biasanya melayani diri sendiri dan orang lain, bukan dilayani, hehehe.

Setelah makan, Puang Beda kembali melanjutkan ceritanya. Saya maklum, di usia seperti itu, biasanya orang tua lebih suka didengar, apalagi kata kakek, Puang Beda memang sudah rewel kepengen pulang. Maklum, perbedaan kultur antara orang Indonesia yang suka nenangga dengan orang Malaysia yang sangat menghargai privacy membuat beliau tidak betah di sini. 

"Bagaimana mau betah, di sini tidak ada tetangga bisa diajak ngobrol. Mau coba-coba keluyuran di sekitar kompleks, nanti malah disangka maling karena jelalatan liatin rumah orang. Seandainya bukan tantemu yang panggil nenek puang buat ngawasin para asisten rumah tangga bekerja dan jagain anak, sudah lama nenek balik ke Jakarta. Untung nenek ingat ada kamu di Malaysia. Sayang, mamamu ditelpon gak langsung diangkat, jadinya kamu telat tahu kalau nenek ada di sini..."

Dan ketika menyinggung mamaku, langsung deh cerita nenek tentang pengalamannya berhaji bersama mamaku tahun kemarin mengalir lancar. Kebetulan, mamaku berangkat haji bersama travel milik Puang Beda dan beliau juga berkesempatan berhaji kembali sembari membawa jamaahnya. Tak lupa, mamaku bercerita tentang Keseruan jalan-jalan bersama keluarga saat puasa ketika berada di Malaysia, bulan Ramadhan kemarin. 

Energi Puang Beda untuk bercerita seolah tak ada habisnya. Tak lupa, beliau juga mengenalkanku dengan anak-anak Tante Dee, termasuk dengan si bule Nicholas yang baru pulang latihan boxing. Kata Khaulah, "Ternyata, ada tonji pale sepupuku bule, hehehe."

Untung saja, Kakek menyela dan menyuruhku beristirahat di kamar tamu yang ada di atas. 


Tangga yang dikelilingi oleh cermin. Jangan kaget begitu naik tangga, kita akan bertemu sosok yang tak lain adalah diri kita sendiri, hehehe

Keesokan harinya, Puang Beda bela-belain naik demi untuk memastikan saya dan Khaulah nyaman semalam. Padahal, selama ini beliau tidak pernah naik karena fisik beliau yang sudah tidak bisa memungkinkan berjalan normal tanpa bantuan tongkat atau kursi roda. 




Dan, kisah semalam pun disambung kembali. Saya juga menyempatkan diri melakukan video call dengan mama dan tanteku yang ada di Makassar serta tanteku yang ada di Surabaya. Semuanya terlihat sangat gembira bisa video call-an dengan Puang Beda, saudara kakek yang kini tinggal beliau dan seorang lagi yang ada di kampung. 

Namun, dari semua hal yang diutarakan nenekku, ada satu hal yang sangat menarik perhatianku, yakni kisah tentang keberhasilan Tante Dee. Terus terang, saya penasaran setelah mengetahui kalau ternyata Tante Dee memiliki properti yang begitu banyak serta sukses di banyak bidang usaha. Kesuksesan yang diperolehnya berkat kerja keras (tentu saja atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala), bukan warisan dari orang tua.




Ternyata, kesuksesan yang kini diraihnya bukanlah datang begitu saja.  Tante Dee telah merintis dan mengasah jiwa entrepreneurship-nya sejak muda. 

"Tantemu itu memang sudah kelihatan bakat usahawannya sejak kecil. Bayangkan, saat SMA, dia sudah bisa mencari uang sendiri. Modalnya sisir dan gunting. Jadi, setiap hari, tantemu ke sekolah membawa kedua benda tersebut. Dengan bermodalkan keahliannya, tantemu selalu bisa membujuk teman-temannya agar mau menggunting rambutnya. Hasilnya, lumayan untuk memenuhi keperluannya dan untuk ditabung."

Dari sanalah, kemampuan dan kejeliannya bermula. Hingga kini beliau sukses sebagai pengusaha minyak, pengusaha fashion, dan properti. 

Masya Allah, ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagiku. Man Jadda wa Jada, siapa yang bersungguh-sungguh, dia yang akan berhasil. Dan, Tante Dee telah membuktikan hal tersebut. Yang mengagumkan, keberhasilan beliau ditularkan kepada kerabatnya. Keluarga pun kecipratan berkah dari usaha yang dijalankan dan dirintisnya. Masya Allah. 

Satu hal yang juga menjadi kunci kesuksesan Tante Dee yang terus tengiang di kepalaku. Keberhasilan beliau tak lepas dari perlakuannya terhadap kedua orang tuanya. Di usia tuanya, Puang Beda dan kakek diperlakukan bak raja dan ratu oleh Tante Dee. Apapun kebutuhannya, Tante Dee selalu siap memberikan yang terbaik. Tante Dee telah memberikan mobil lengkap dengan supirnya di Jakarta, perawat khusus untuk Puang Beda yang memang sering sakit-sakitan, bahkan sebuah kamar besar lengkap dengan isinya dipersiapkan untuk orang tuanya di rumah besar Tante Dee di Malaysia. Bahkan, saat mau shopping bareng perawatnya, Tante Dee langsung menawarkan, "Mama mau belanja pakai uang tunai atau kartu?

Masya Allah.

Akhirnya, usai shalat Ashar, saya dan Khaulah pamit pada Tante Dee dan suaminya yang baru pulang siang tadi. Ini sekaligus untuk pertama kalinya saya bertemu dengan keduanya. Satu yang mengejutkanku adalah begitu sampai dapur, Tante Dee langsung minta disajikan nasi hangat, sambel, dan ikan peda. Rupanya, beliau kangen makanan kampung usai mondar mandir Eropa selama sebulan. Lidah memang gak bisa bohong, hehehe. 

Kami kemudian diantar sampai di TBS oleh kakek dan nenek yang dikawal supir dan salah seorang ART Tante Dee. Sebelumnya, Tante Dee  sempat menitipkan  uang transport lewat ART-nya padaku. Alhamdulillah.

Kami pun berpisah di TBS, terminal yang menjadi pusat semua bus jurusan berbagai negeri di Malaysia. Masya Allah, senang rasanya bisa merajut tali silaturrahim dengan Puang Beda serta keluarga Tante Dee.  Rasanya semua lelah terbayar dengan terjalinnya  ikatan silaturrahim, ikatan kekeluargaan kembali.   


*

  • Share:

You Might Also Like

0 Comments

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging