KARENA TANGAN DI ATAS LEBIH BAIK DARI TANGAN DI BAWAH

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Selasa, Februari 07, 2017


Alhamdulillah sejak dulu saya selalu berusaha untuk tidak pernah menyepelekan orang lain. Siapapun dia. Apa pangkatnya. Apa pekerjaannya. Berapa penghasilannya. Dan sebagainya.


Sejak kecil bapakku, rahimahullah, senantiasa menekankan hal tersebut. Tak heran bila bapak sangat menyayangi orang-orang yang tidak seberuntung kami. Ya, meski bukan horang kayah namun kehidupan kami kala itu cukup buat makan tiga kali sehari, aku bisa memakai baju-baju bagus dan mahal serta bisa memiliki koleksi mainan yang jarang dimiliki anak-anak seusiaku di masa itu.

Saya ingat bapak menjadi "donatur tetap" bagi beberapa mantan penyandang kusta yang sering datang ke rumah. Bila mereka datang saya yang paling sering ditugaskan membagi recehan ke mereka.

Terus terang ini tugas yang paling tidak kusukai. Bagaimana tidak, Ria kecil waktu itu harus meletakkan uang logam ke atas tangan mereka yang tersisa separuh. Antara ngeri dan jijik saya melakukan semua itu. Tak heran bila aku sangat tidak menyukai kehadiran mereka.

"Bapak lagi mandi....." ujarku ketus ketika sedang bertugas menjaga toko dan salah seorang "langganan" bapak datang. Saya berharap dia kemudian pergi

"Saya tunggu ya..." ucapnya

"Kok menunggu? Pergi aja sana minta-minta di tempat lain...." tentu saja omelan ini hanya berlangsung dalam hatiku.

Sambil menahan kesal, saya bergegas ke dalam rumah. Mengetuk pintu kamar mandi dan memberitahukan bapak kalau "langganannya" datang.

"Kasih uang seperti biasa dan bilang bapak minta maaf tidak bisa menemuinya karena ritual mandi ini masih lama"

Tuh kan.....yang ini nih episode yang paling kubenci. Memberikan uang logam langsung ke bapak-bapak itu. Seandainya ada yang bisa menggantikanku mengerjakan tugas ini. Aku melirik adik-adikku. Huhuhu, jangan harap mereka mau. Yang ada mereka akan berteriak memberitahu Bapak kalau aku malah menyuruh mereka. Hm, malah bisa runyam urusannya....

"Terima kasih, Nak "

Setelah bapak itu pergi, aku bergegas ke dapur. Mencuci tangan bersih-bersih dan menghilangkan mual yang kurasakan. Terus terang aku takut terjangkit penyakit mereka. Bahkan konyolnya, sejak sering berinteraksi dengan mereka, aku berulang kali menusuk kulitku dengan ujung jarum. Jika terasa sakit maka aku akan merasa baik-baik saja. Semua ini aku lakukan karena aku pernah membaca literatur yang mengatakan kalau salah satu ciri-ciri orang terjangkit kusta adalah kulitnya tidak lagi merasakan sakit ketika ditusuk benda tajam. 



"Bapak kok mau-maunya sih berteman dengan orang-orang miskin seperti mereka. Bukannya lebih baik kita berteman dengan orang-orang kaya supaya kita bisa ikutan kaya dan tidak diremehkan orang lain….” di suatu kesempatan aku akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk mempertanyakan apa yang selama ini menganggu pikiranku.

Bapak tersenyum. Mungkin beliau sebenarnya tahu kalau selama ini aku berat mengerjakan tugas yang diberikannya. 

"Mereka orang-orang lemah, mereka lebih membutuhkan kehadiran kita daripada orang-orang kaya yang kamu maksudkan tadi. Terus terang, Bapak lebih suka bergaul bersama mereka, tertawa bersama mereka karena dengan demikian Bapak merasa bisa senantiasa bersyukur dengan kehidupan yang telah Bapak rasakan. Dan yang paling penting yang harus Kamu ingat. Sebenarnya bukan mereka yang butuh kita tapi kita lah yang butuh mereka. Kita butuh mereka karena mereka adalah tabungan amal kebaikan yang akan dibawa di akhirat kelak..."

Dalam... dalam sekali nasehat yang diberikan Bapak, Rahimahullah. Nasehat yang mampu menggugahku, membuatku segera melenyapkan keengganan dan rasa jijik yang selama ini menggelayutiku. Aku pun bersemangat dan berusaha merasakan kebahagiaan Bapak ketika harus meletakkan sekeping koin di atas telapak tanga mereka yang tersisa separuh. Bapak benar..... ada kebahagiaan yang tak terkirakan ketika melakukan semua itu. Melihat senyum terukir di wajah mereka. 

Bapak masih terus melakukan hal baik itu. Meski kemudian Bapak sakit-sakitan dan satu persatu harta benda kami ludes terjual untuk biaya pengobatan Bapak. Hingga kemudian di penghujung tahun 1991 sang Malaikat Maut datang menjemput. Sejak saat itu aku pun  dibebastugaskan dari tugas rutin yang justru mulai kusukai. Entah mengapa mereka tak pernah lagi datang menjambangi rumah kami. Atau mungkin mereka tahu kalau Sang Dermawan, sahabat mereka telah pergi untuk selamanya.



Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan mak Nur Islah  dalam  Collaborative Blogging Kumpulan Emak-emakBlogger.  











  • Share:

You Might Also Like

6 Comments

  1. MasyaAllah... semoga ALlah melapangkan kubur Bapak. aamiin...

    *mewek

    BalasHapus
  2. Semoga semua kebaikan itu menjadi penolong Bapak menuju surga Allah ya, Mba. Luar biasa pendidikan yang Bapak wariskan untuk anak2nya.

    BalasHapus
  3. Exactly! It’s great to be able to publish it NOW while the topic is hot. Timeliness is key for sequels, too, and it sounds like you’re keeping on top of that. Best of luck!
    Self Publishing in India

    BalasHapus
  4. MasyaaAllah. Bapak yang keren. Semoga menjadi amal jariyah beliau, ya Mba. Inspirasi kebaikan ini juga, semoga Allah jadikan wasilah limpahan rahmatNya. Allahumma aamiin.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging