Entah sejak kapan persisnya saya
kecanduan buku atau lebih tepatnya bacaan. Kecanduan bukan sekadar suka, lho. Sedetik saja tanpa kehadiran bacaan maka
serasa hidupku tidak berwarna (monochrome dong). Apapun aku baca. Buku,
majalah, koran bahkan koran bekas pembungkus kacang tidak langsung aku buang
begitu menghabiskan isinya. Koran itu aku baca dulu bahkan sekiranya isinya menarik
maka aku simpan sebagai arsip.
Sayangnya, kecanduanku ini tidak terlalu
diapresiasi oleh orang tuaku terutama Bapak. Untuk menuntaskan kehausanku akan
bacaan, Bapak senantiasa membelikanku buku-buku cetak untuk keperluan sekolah.
“Cukup baca buku sekolah saja itu akan membuatmu pandai. Selain
buku sekolah tidak perlu dibaca, hanya bikin bodoh saja” demikian doktrin
Bapak.
|
As a good girl, saya menurut. Aku pun hanya membaca
buku-buku cetak yang diwajibkan di sekolah. Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PMP,
PSPB, kesenian serta matematika. (Itu semua pelajaranku waktu zaman SD lho).
Dari kesemuanya, saya paling suka membaca
buku sejarah. Tak heran, saya sampai hapal nama-nama pahlawan,
peristiwa-peristiwa penting, kebudayaan maupun keunikan suatu daerah, dan
sebagainya. Buku kesayanganku saat itu adalah buku pintar yang tebalnya
melebihi tebalnya bantal tipisku.
Nyatanya semua itu tak bisa menuntaskan
hasrat membacaku. Apalagi ketika di
sekolah beberapa teman “meracuniku” dengan majalah anak, buku cerita maupun
komik. Aku yang mulanya “lurus” hanya membaca bacaan “bermutu” pelan-pelan ikut
terkontaminasi. Girang sekali rasanya saat dipinjamkan bacaan-bacaan tersebut. Namun
sayangnya, si empunya buku lebih banyak pelitnya daripada baiknya. Buku atau
majalah miliknya hanya dipamerkan kepada kami tanpa boleh dipinjamkan. Huhuhu
rasanya sangat menyebalkan.
Rasa kesal sekaligus penasaran itu
membuatku kemudian “melenceng” saat ke toko buku untuk membeli buku-buku
keperluan sekolah. Kebetulan di dekat rumahku ada beberapa toko buku dengan
koleksi buku yang lumayan lengkap.
Usai membeli buku keperluan sekolah, aku
kemudian memberanikan diri melongok
bagian buku cerita dan majalah anak. Tentu
saja aku perginya seorang diri atau bersama teman. Meski masih SD tapi saya kemana-mana sudah
berani seorang diri baik itu untuk membeli kebutuhan sekolah maupun ke rumah
teman dengan naik pete-pete (angkot). Alhamdulillah, situasi saat itu masih aman terkendali tentu saja berbeda
dengan sekarang.
Satu dua kali saya hanya berani melongok
dan membuka-buka halaman demi halaman majalah anak tersebut. Bukannya puas,
saya justru semakin penasaran. Rasanya tidak puas hanya melihat. Ingin rasanya bisa
memiliki bacaan-bacaan tersebut. Hingga kemudian, entah keberanian dari mana
aku kemudian nekad membeli majalah anak pertamaku.
“Aih, abis beli majalah ya? Saya lapor
Bapak lo….” Saat tengah
asyik membaca majalah secara sembunyi-sembunyi rupanya salah seorang adikku
memergokiku.
“Bukan beli. Ini minjam, kok….” Elakku. Aku terpaksa berbohong. Aku tahu
konsekuensi apa yang akan aku dapatkan kalau sampai Bapak melihatku membaca
majalah apalagi sampai tahu aku membeli majalah.
Adikku bersiap menjerit kembali ketika
seketika aku menutup mulutnya erat-erat. Adikku sempat menjerit kesakitan.
“Ada apa itu?” teriak Mama yang rupanya mendengar
suaranya.
“Tidak ada apa-apa kok, Ma. Ini si Adek
digigit semut..” sahutku
segera. Tentu saja adikku tidak berani menjawab. Sebuah ancaman telah kuhadirkan
dengan mengepalkan tangan kananku jika ia berani buka mulut. Maaf ya, Dik.
Puas….puas rasanya usai menamatkan
membaca majalah yang baru saja kubeli. Tapi kemudian…..
majalah ini mau disembunyikan di mana seusai aku membacanya? Aku tahu, jika
bapak yang menemukannya pasti akan dirobek dan saya kena marah. Bahkan tidak
menutup kemungkinan sepotong kayu multi guna bakalan mampir mengelus betis dan *a*ta*ku.
Akalku pun berjalan. Majalah tersebut aku
titipkan di rumah salah seorang temanku. Temanku tidak keberatan. Ia malah senang
karena dapat membaca majalah tersebut.
Demikianlah caraku mengatasi kecanduanku
akan bacaan tanpa diketahui orang tuaku. Uang jajanku kupakai untuk membeli
majalah anak terbaru. Namun kehadiran majalah anak yang berkala itu tetap saja
tidak mampu menuntaskan kecanduanku. Aku butuh bacaan setiap hari, setiap saat.
Aku kemudian mulai melirik keberadaan
taman bacaan yang menyewakan buku-buku cerita. Kebetulan letaknya dekat dengan
rumah temanku yang kutitipi majalah serta dekat dari Pasar Senggol, pasar
tempatku sering membeli keperluan toko kelontong kami di rumah. Jadi, aku bisa ke
tempat itu saat ke rumah teman atau saat membeli keperluan toko.
Aman…..Semuanya berlangsung aman dan aku
puas membaca semua koleksi buku taman bacaan tersebut hingga kemudian taman
bacaan tersebut tutup. Alhamdulillah, saat itu saya sudah semakin besar
sehingga berani mendatangi tempat yang lebih jauh. Aku pun mulai berkenalan
dengan perpustakaan daerah dan perpustakaan wilayah. Meski tidak banyak namun
koleksi bukunya lumayan bisa mengurangi dahagaku akan bacaan. Apalagi kini
bacaanku tidak terbatas bacaan anak meski bacaan genre tersebut masih menjadi
prioritas utama bacaanku.
Baca juga kisahku .... http://www.haeriahsyam.com/2016/10/perjalanan-buku-nabi-muhammad-real.html
Baca juga kisahku .... http://www.haeriahsyam.com/2016/10/perjalanan-buku-nabi-muhammad-real.html
Kebiasaan menitip majalah yang kubeli
juga tetap berlanjut. Tentu saja dengan teman yang berbeda. Namun titip menitip
hanya sampai SMA. Qadarallah, Bapakku meninggal dunia saat aku SMA. Sejak itu tak
ada lagi yang menghalangiku membaca apa saja yang kumau. Alhamdulillah, Allah
senantiasa menjagaku. Meski beberapa kali ditawarkan atau menemukan
bacaan-bacaan merusak (you know lah what I mean) tapi aku tidak menyukainya. Sempat
sih beberapa kali membacanya, terutama yang horor-horor. Namun saat tiba dibagian
itu tuh (tau lah) bagian itu saya skip. Jijik rasanya. Aku pun akhirnya hanya
senang membaca buku dan majalah terhormat, hehehe.
Alhamdulillah, kegilaanku membaca berbuah
ketika aku kuliah. Tanpa pernah belajar khusus bagaimana menulis, aku berhasil
menjadi seorang penulis secara otodidak. Bahkan saat masih kuliah aku sangat
produktif. Hampir setiap hari Ahad tulisanku menghiasi koran lokal Kota
Makassar. Bahkan tak jarang dua sampai tiga tulisan sekaligus.
Oh ya, hampir lupa. Sekadar info……ternyata
teman-teman yang kutitipi majalah-majalahku semuanya tidak amanah. Saat aku menangih majalahku, katanya sudah
tidak ada. Sudah hilang. Entah di mana. Duh……
8 Comments
Perjuangan ya Mba untuk bisa baca majalah aja..hehe.. Saya juga hobi baca sejak kecil, tapi ngga punya dana untuk beli majalah. :(
BalasHapusPerjuangan banget mba. Alhamdulillah saya memetik hasilnya sekarang. Waktu kecil saya beli majalah dari hasil mengumpulkan uang jajan. Prinsipku lebih baik tidak jajan daripada tidak membaca.
HapusJd inget dulu sejak TK sudah dilanggani majalah anak-anak, sampai akhirnya terkumpul satu lemari penuh dan kita jejer2in depan teras rumah, dijadikan penyewaan majalah, hehehehe ...
BalasHapusAlhamdulillah ya Neng Gya udah difasilitasi sejak kecil pantas sekarang jadi penulis hebat, keren euy....
Hapuswah asyik ya perjuangannya ,kalau aku sih didukung banget oleh ibuku malah ibuku bikin perpus juga bt anak2 tetangga
BalasHapusSenangnya kalau aktivitas kita didukung orang tua. Saat ini saya juga pengen punya perpustakaan buat teman anak-anak tapi karena saat ini masih nomaden jadi masih sebatas rencana aja. Kalau buku, alhamdulillah sudah banyak tapi di rumah mertua.
HapusEnak banget baca tulisannya, Mbak 😘
BalasHapusBuah rajin membaca nih yaa...
Terima kasih, alhamdulillah ternyata membaca banyak sekali manfaatnya.
HapusTerima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging