Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, senang rasanya program Collaborative Blogging KEB hadir kembali. Meski saya telat karena satu dan lain hal, tapi yakinlah...... program ini sangat menyenangkan buat saya pribadi yang notabene masih bergelar blogger moody. Ngisi blognya tergantung mood. Duh...
Sebagai pembuka program, hadir tulisan dari Mak Irly dengan judul Tidak Bisa Tepat Waktu? Lakukan Hal Ini Jika Terlambat Datang Saat Janjian. Sebuah judul yang mestinya menjadi tamparan karena kali ini saya pelaku telat itu. Maafkan ya teman-teman Gank Retno Lestari.
Biar gak semakin telat, langsung aja yuk baca-baca tulisan curcol-ku berikut....
Dulu
saya termasuk orang yang paling benci dengan jam karet. Saking bencinya, saya
sanggup dan tega meninggalkan orang yang telah membuat janji denganku gara-gara tidak menepati janji. Saya tak peduli, meski beberapa kali temanku complain karena kutinggalkan saat kami
janjian akan berangkat bersama menuju sebuah acara. Salah sendiri sih, siapa
suruh pakai jam karet.
Baca juga : Timbangan dan Keluargaku
Didikan
Bapak Rahimahullah yang selalu menerapkan on time membuatku sangat
menghargai waktu. Saking disiplinnya dengan waktu, waktu kecil saya sempat
berpikir kalau-kalau Bapak sebenarnya pernah bercita-cita menjadi militer namun
gak kesampain. Semuanya karena ke’galak’an Bapak, hehehe.
Pernah
loh, satu ketika, tangan Bapak mendarat di kepalaku alias saya kena tabok.
Gara-garanya, saya lupa menyalakan lampu depan di sore hari. Jadi, salah satu
tugasku di rumah adalah menyalakan lampu depan setiap jam 5 sore. Namun karena
keasyikan main, saya melupakan tugas tersebut. Nah, kena deh...
Salah
satu ke on time-an Bapak yang lain yang juga sangat kurasakan sewaktu
kecil adalah urusan tagih menagih utang. Jadi begini, Bapak yang berprofesi
sebagai pemilik toko kelontong mempunyai beberapa pelanggan yang rutin berutang
dengan kesepakatan akan membayar sehabis gajian setiap bulannya.
Karena
pengertian sehabis gajian yang sangat absurd, maka Bapak membuat
kesepakatan sebelumnya, kapan waktu yang tepat para pelanggannya itu akan
membayar utang. Lewat dari batas waktu tersebut, Bapak akan mengirim debt
collector yang akan menjambangi rumah mereka masing-masing.
Meski
debt collector Bapak sangat imut dan manis tapi jangan ditanya soal
keteguhan hatinya saat menagih. Ia akan rela berlama-lama mengetuk pintu bahkan
sampai menunggu di depan rumah sampai si empunya utang keluar. Ia juga rela
dimarahi, diomeli bahkan diancam demi mendapatkan hak bapaknya. Pokoknya, she
was the best collector in the world, hehehe.
Dari
pengalaman kena tabok dan menjadi debt collector itulah, saya belajar bagaimana
pentingnya menghargai waktu. Saya pernah menjadi korban jam karet. Karenanya,
saya tidak mau orang lain mengalami hal yang sama. Bukan apa-apa, banyak sekali
kerugian yang ditimbulkan akibat ngaret.
Kalau
dari pengalaman masa kecil, setidaknya jatah bermainku menjadi berkurang
gara-gara harus mendatangi satu persatu rumah-rumah pelanggan Bapakku yang
ngaret bayar utang. Belum lagi urusan hati, si pengutang meminta keringanan
bayaran sementara Bapakku ngotot harus dibayar sesuai kesepakatan.
Bukan,
bukan Bapakku gak punya hati. Namun, sama dengan Bapakku, saya tahu kalau si
pengutang itu sebenarnya mampu membayar utangnya namun sepertinya sudah menjadi
penyakit bagi sebagian orang untuk senang menunda-nunda pembayaran utangnya. Nyebelin
bangets.
Baca juga : Membunuh Bosan Ala Saya
Namun,
seiring waktu, saat ini saya merasa kalau saya pun termasuk pelaku jam karet. Mungkin,
akibat ‘terkontaminasi’ para pelaku jam karet lainnya. Bagaimana tidak, sering
kali saat menghadiri sebuah acara, baik itu acara resmi apalagi nonresmi, namun
jadwalnya melar bahkan sampai berjam-jam dari jadwal semula.
Akibatnya,
selain bete harus menunggu, saya pun merasa rugi waktu. Waktu yang mestinya
dapat efektif digunakan untuk keperluan lain menjadi nonefektif karena
digunakan untuk menunggu.
Iya
sih, terkadang saya masih dapat memproduktifkan waktu menunggu tersebut. Saya masih
bisa menulis, menggali ide atau menyelesaikan tugas-tugas kepenulisan lainnya. Namun
tetap saja, jadwal yang sudah kususun sebelumnya harus ‘terbongkar’.
Belum
lagi kalau terpaksa saya harus meninggalkan acara yang baru saja dimulai atau
sedang memasuki topik hangat di saat semestinya acara tersebut sudah
berakhir karena penjemput sudah menunggu di luar ruangan. Hufh..
Karenanya, saya pun kadang ikut-ikutan ngaret apalagi kalau tahu bakal berhadapan dengan si tukang ngaret. Atau misalkan dalam sebuah acara, saya tahu kalau acaranya bakalan ngaret gara-gara harus menunggu si A, si B dan si si lainnya yang menjadi pembuka acara atau pemberi kata sambutan. Kalau kayak gini mah, percuma datang on time. Bakalan jadi pemanis ruangan aja kita. Hehehe.
Tapi bagaimanapun, seyogyanya budaya ngaret ini dihilangkan dari negeri ini. Teman dekat saya pernah punya pengalaman buruk tentang jam karet saat berhubungan dengan orang luar. Jadi ceritanya, teman saya ini ngaret beberapa menit (ingat, cuma beberapa menit loh...) dari jadwal yang telah disepakati. Begitu wajahnya nongol, ia langsung didamprat dan tahu apa kata orang tersebut......
"Kalian orang Indonesia suka sekali ngaret, untung saya masih mau menunggu karena saya tahu budaya kalian. Coba saja kalian berbuat seperti ini dengan orang Jepang. Telat sedetik saja, kalian ditinggal....."
Duh, malu-maluin banget kan. Sampai-sampai bawa-bawa nama negara pula. Padahal gak ada hubungannya karena gak semua orang Indonesia suka ngaret. Saya salah satunya, hahaha.
Tulisan ini diikutkan dalam Program Collaborative Blogging #KEBBloggingCollab Kumpulan Emak Blogger Kelompok Retno Lestari.
6 Comments
Ngaret itu emang bisa nular ya Mbak, heheheh. Moga kita gak ngaret2 lg yah, saya jg sekarang ini terus berusaha sebisanya gak ngaret, krna menunggu itu membosankan deh ihh.
BalasHapusiya nih ngaretnya menular padaku, abis kalau on time, planning yang lain sering terbongkar gara-gara waktunya habis buat menunggu.
HapusAmpooonnn, ternyata Mak Haeriah imut2 mantan debt collector xixixi ^_^V
BalasHapusAku pun msh berusaha tdk ngaret, soalnya gak enak kalau sampai merigikan org lain ya maaakkk TFS
Iya nih, mantan debt collector kesayangan Bapak Rahimahullah, hehehe.
HapusAh.. Baca tulisan tentang debt collector itu jadi ingat tulisan tentang utang, tulisan untuk Collaborative writing sebelumnya juga kan Mak, cuma lupa-lupa ingat itu tulisan siapa. Kayaknya sih Mak Haeriah, semoga saya tidak salah.. Hehe
BalasHapusBener kan nular, duh.. Bener-bener harus diubah kebiasaan ngaret gitu.. Orang luar saja sampai ngomong itu budaya kita, menyedihkan. :(
Alhamdulillah, rupanya masih diingat juga cerita tentang debt collector itu di CW batch 1. Iya nih, budaya ngaret jangan sampai jadi ikon bangsa kita. Menyedihkan sekaligus memalukan.
HapusTerima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging