Untuk
yang kesekian kalinya hari-hariku harus
kembali mendung gara-gara utang. Utang yang
seharusnya menjadi salah satu solusi untuk mengatasi sebuah permasalahan. Utang
yang seharusnya menjadi sarana untuk mempererat ukhuwah Islamiyah antar sesama muslim.
Utang yang seharusnya menjadi penyambung tali silaturrahmi antar sesama muslim
yang mempunyai hubungan darah.
Namun
nyatanya....
Utang
menjadi sarana untuk menciptakan sebuah permasalahan. Utang menjadi perusak
ukhuwah. Utang menjadi pemutus hubungan silaturrahmi.
Dan
inilah yang kembali harus terjadi.
Si
X kembali datang meminta tolong. Untuk yang kesekian kalinya, si X mengalami
masalah dan solusinya adalah dengan mencari pinjaman untuk menyelesaikan
masalahnya tersebut.
Sebenarnya
saya sudah bertekad untuk tidak lagi memberi utangan kepada si X. Tekad ini
muncul karena selama ini si X senantiasa tidak menunjukkan itikad baiknya untuk
menunaikan janji yang diucapkannya saat berutang.
Manis
di depan pahit di belakang, demikian yang kurasakan setiap
kali harus berurusan dengan tagih menagih.
Wajah-wajah
manis, memelas beserta pandangan penuh harap dan tatapan yang membuatku laksana
Sang Malaikat Penyelamat seringkali membuat pertahanan untuk tidak memberi
utang menjadi bobol bak tendangan pinalti Thailand semalam yang akhirnya
menghentikan langkah-langkah Garuda menuju babak berikutnya. *yaelah, kok malah
lari ke urusan bola ya?
Pengen
tega sih, tapi bisakah?
“Kamu
manusia tak berperikemanusiaan...”
“Teganya
melihat kesusahan saudara sendiri...”
“Masa
segitu aja, Kamu gak bisa bantu?”
Duh
duh duh
Maka,
dengan menutup mata atas kebebalan si X yang dulu-dulu, beberapa lembaran pun
keluar dari dompet.
“Bismillah,
semoga kali ini ia menepati janji...”
Seuntai doa akhirnya terangkai juga.
Doa yang pemiliknya sendiri tidak yakin akan terkabul. Doa yang sepenuhnya
diserahkan kepada Sang Pemilik Hati. Karena hanya Dia yang Maha Membolak Balik
Hati makhluk-Nya.
Si
X pun pergi dengan puas. Keinginannya telah tertuntaskan. Sejumlah dana yang
dibutuhkannya akan segera menutupi kebutuhannya sebagaimana yang diinginkannya.
Bagaimana
dengan saya?
Setelah
si X pergi, saya pun terpekur. Benarkah apa yang telah saya lakukan? Benarkah dengan
kembali memberi utang padahal utang-utang si X yang lalu belum satupun
ditunaikan merupakan sebuah pertolongan yang tepat? Tidakkah tindakanku justru
membuat si X semakin senang berutang, semakin meremehkan utang dan semakin
menyepelekan membayar utang. Bagaimana jika si X kembali tidak menunjukkan
itikad baik untuk melunasi utang-utangnya.
Tahukah Kamu, Duhai Para Pengutang
Saya memberimu utang, bukan berarti saya tidak mempunyai kebutuhan tapi saya menunda memenuhi kebutuhanku demi untuk mendahulukan kepentinganmu yang (katanya) sangat mendesak.
Saya memberimu utang, bukan berarti saya kelebihan uang sehingga menjadi donatur gratisan yang siap setiap saat memberimu utang. Saya juga butuh uang, sama seperti dirimu.
Saya memberimu utang dengan harapan kamu segera menyelesaikannya sesuai dengan janji yang telah kau ucapkan. Bukan malah kabur-kaburan, mendadak bego, mendadak lupa ingatan, malah sampai mendadak memusuhiku.
Tahukah Kamu,
Utang itu wajib dibayar. Mungkin, di dunia ini kamu bisa menghindarinya. tapi ingatlah, utang itu tetap harus di bayar. Kalau tidak di dunia ini, di akhirat pasti.
Inga Inga. Ting...
2 Comments
Turut mendo'akan, semoga untuk kali ini si X amanah ya, Mbak. Aamiin
BalasHapusAamiin
HapusTerima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging