Pengalaman Kurang Menyenangkan Di Rumah Makan Yang Baru Dibuka. Nasinya Masih Mentah!

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Kamis, Januari 10, 2019


Pernahkah Kamu mengalami kejadian yang sangat berbeda antara espektasi dengan kenyataan? Dalam benakmu, telah tergambar sesuatu yang sangat menyenangkan dan membuatmu sangat bergairah. Namun, ketika dihadapkan pada kenyataan yang ada, semua harapan itu harus dilarutkan bersama air kobokan yang ada di hadapanmu. 

Nah, begitulah kira-kira yang saya rasakan ketika bersama suami dan si kecil Hilyah "numpang" makan siang di sebuah rumah makan yang baru saja launching. Lokasinya yang strategis, tempatnya yang lapang dan nyaman, serta interiornya yang cukup mewah membuat kami tak ragu melangkah masuk ke tempat baru tersebut. Apalagi, promo yang gencar dilancarkan selama ini menjadi salah satu yang membuat suami tertarik untuk mencoba makan di tempat ini. Sebenarnya sih saya tidak terlalu tertarik. Pengennya mampir di rumah makan yang ada di depannya, yang menyajikan menu andalan bebek goreng. Namun, demi manut pada Sang Imam, saya pun ikut aja. Hehehe.



Tiba di tempat tersebut, suasana lumayan sepi. Hanya ada beberapa orang pengunjung yang ternyata merupakan satu keluarga besar yang terdiri dari sepasang suami istri, orang tua serta anak-anak mereka.

"Kapan datang? Masih lamakah di Makassar?" tegur seorang laki-laki pada suamiku tepat ketika langkah kami menapaki lantai rumah makan tersebut.

Oh, rupanya salah seorang pengunjung itu adalah teman suami, toh. Tanpa ingin menganggu pembicaraan keduanya, saya dan Hilyah tetap melangkah masuk dan memilih tempat yang paling nyaman.

"Gimana, nih? Saya masih ingin ngobrol lebih lama dengan teman di luar. Kamu dan Hilyah, pesan makanan aja dulu, ya?" tanya suami yang menyusulku.

Tentu saja saya mengiyakannya. Maklum aja, jika sudah berada di kampung halaman seperti sekarang ini, suami banyak bertemu "fans". Ada-ada saja teman lama maupun teman baru yang ingin bertemu. Beda denganku yang gak punya teman di mana-mana, hikz.... 

"Kak Haeriah? Saya Fulanah...." tiba-tiba seorang perempuan yang tengah menggendong anak kecil mendatangi dan menyapaku. 

Kami pun langsung bersalaman dan cipika cipiki. Masya Allah, terakhir kali bertemu dengannya kira-kira setahun yang lalu. Beliau adalah seorang penulis sekaligus daiyah. Kami pertama kali berkenalan lewat salah satu komunitas menulis online. 

Tentu saja, saya sangat senang bisa bertemu dengan penulis yang satu ini. Qadarallah, dia harus segera pulang karena acara makan-makan mereka sudah selesai dan orang tuanya juga sudah tidak bisa menunggu lama. Padahal, banyak hal yang bisa dibicarakan. Kali aja kita bisa nulis bareng. Ngarep, hehehe.

Oke, kembali ke topik utama. 

Setelah itu, kami kemudian melihat-lihat menu yang tersedia di rumah makan tersebut. Menu yang disajikan belum terlalu banyak dan harga yang disajikan juga masih standar, gak jauh beda dengan harga di tempat lain.

Suami kemudian memesan konro kuah yang seporsi dibanderol Rp40000, sepiring nasi plus segelas air putih hangat. Sementara saya memesan coto makassar seharga Rp15000, dua buah ketupat @Rp2000, dan segelas es jeruk seharga Rp15000. Adapun Hilyah, ia hanya memesan segelas milo ice yang saya lupa berapa harganya segelas. 

 "Masih kenyang" tolak Hilyah ketika saya menawarkan beberapa jenis menu yang biasa dipesannya.
             
Tak lama kemudian datanglah pesanan kami. Kalau biasanya kami berdecak kagum dengan pesanan yang datang, kali ini terus terang saja dari penampakannya sedikit mengecewakan. Dengan tampilan interior dan eksterior gedung yang lumayan berkelas, rasanya wajar bila kami membayangkan menu yang disajikan akan berbeda dengan sajian menu kaki lima yang sering kami singgahi.  Apalagi ketika suami mencoba rasanya, beliau langsung berkomentar, "Rasa coto..."

Tak lama kemudian pesananku pun datang. Ternyata, tampilan cotoku pun tidak jauh berbeda dengan pesanan suami. Warna kuahnya juga kurang menarik dan kurang kental. Rasa dan jumlah isian dagingnya juga pas-pasan. Gak jauh beda dengan rasa coto makassar buatanku. (Harap maklum, saya kan gak jago masak, hehehe. Tapi, kalau coto makassar buatanku isinya segambreng, lho). 

"Nasinya masih mentah...." sekonyong-konyong suamiku berbisik usai sesendok nasi disuapkan ke mulutnya.

"Masa sih?"   

Buru-buru saya mengambil sesendok nasi dan memasukkannya ke mulut. Hikz, suamiku benar. Nasinya memang masih mentah. Dari penampakannya saja terlihat dengan jelas kalau nasi tersebut masih berwujud setengah beras. Duh...   


Buru-buru saya memanggil salah seorang pegawai perempuan yang tadi melayani pesanan kami. Saya berusaha menyampaikannya setenang dan sepelan mungkin, meski rasanya agak kesal. Saya menjaga jangan sampai suara saya terdengar oleh pengunjung lain. Apalagi, tepat di samping meja kami telah diisi oleh pengunjung yang lain. Jangan sampai komplain kami memengaruhi penilaian orang akan rumah makan baru ini.

Namun, ketika kusampaikan kalau nasi yang ada di hadapan kami masih mentah, reaksinya benar-benar di luar dugaan.

"Jadi bagaimana? Mau diganti dengan nasi baru?" tanyanya datar usai mendengar komplainku.

"Gak usah, biar kami makan ketupat saja..." jawabku segera. Kebetulan masih ada sisa ketupat di hadapanku. Saya hanya sempat memakan satu tadi. 

Terus terang, saya berharap ia akan "memaksa" atau "bersikeras" untuk mengganti nasi mentah tersebut meski hanya sekadar basa basi. Atau setidaknya berwajah menyesal dengan ketidaknyamanan kami. Menurutku, menyajikan nasi yang masih mentah kepada pelanggan  merupakan satu hal yang cukup memalukan. Karenanya, untuk menyampaikan hal ini, saya harus melakukannya dengan hati-hati.

Namun, harapanku sia-sia. Si pelayanan itu kemudian berlalu begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa barusan. Seolah urusan nasi masih mentah bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan.

"Itu je? Takde maaf atau penyesalan, gitu?" dengan setengah tak percaya saya mengeluh pada suamiku. Kalau pakai bahasa campur aduk macam ni, biasanya itu artinya saya lagi "takjub" dengan sesuatu. Serasa menemukan sesuatu yang aneh tapi nyata. Aneh banget rasanya melihat sikap pelayan tadi.

Suami hanya tersenyum melihat ketakjubanku. Dengan santai, suami mengambil ketupat di hadapannya yang tersisa satu dan membiarkan Hilyah melahap tulang konro dengan penuh semangat. Bahkan, suami masih mau memesan satu menu lagi. Katanya untuk menghilangkan enek usai menyantap konro. Beliau pun memesan sepiring pisang ijo. Sementara itu, saya sudah ilfill duluan.

"Ini juga rasanya aneh. Kuah kentalnya ini dari susu, kan? Biasanya kan dari tepung beras atau terigu....." kembali kami dikecewakan dengan rasa menu yang baru saja kami pesan.

Meski rasanya aneh, tetap saja saya berusaha menghabiskan sisa pisang ijo yang hanya dimakan sepotong oleh suamiku. Namanya juga emak-emak, daripada rugi percuma lebih baik diembat aja. Adapun soal rasa, dicoba kompromiin aja meski rasanya aneh.

Akhirnya acara makan kami pun selesai. Suami pun kemudian berlalu menuju kasir untuk membayar makanan yang telah kami santap.

"Kasirnya bilang apa soal nasi mentah tadi?" tanyaku kepo pada suami ketika kami tiba di tempat parkir. Sungguh, saya masih berharap adanya permintaan maaf atas kejadian yang kami alami tadi.

"Gak bilang apa-apa..." jawab suamiku

"Trus, nasinya dibayar?" kejarku lagi

"Iya"

Saya pun tidak bertanya apa-apa lagi. Sungguh, saya sangat kecewa dengan rumah makan ini. Masa sih, chef-nya gak bisa membedakan mana nasi yang udah matang dan mana yang belum. Udah gitu, gak ada kata maaf sama sekali, baik itu dari pelayan, chef,  maupun kasir. Hikz.


Terus terang, ini adalah pengalaman kami yang sangat tidak mengenakkan saat bersama makan di luar. Semoga menjadi yang pertama dan terakhir. Yang jelas, saya gak kapok kok makan di luar. Mau ajakin saya? Ayo.....

  • Share:

You Might Also Like

33 Comments

  1. waaaah bisa esmosi saya kalo ada resto kek gitu mbaaa
    yang ada bakal gak didatengin lagi
    tapi hobby kulineran tetep jalan terussss
    hahahha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar banget, hobi kulineran akan tetap jalan meski udah dihadapkan dengan kondisi kayak begini. Anggap aja, salah satu seni dalam berkuliner ria, hehehe

      Hapus
  2. apa nama rumah makannya? wkwkw, kok gitu sih, bikin gemes. yang jaga kasih bukan orang indonesia kali bun, kan kita mah ramah-ramah, enggak datar gitu. wwkwk. Kalo saya mah lgs pergi cari rumah makan baru, terus enggak saya bayar *jahat wkwkw :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ih, jahat banget dirimu, makan gak bayar. Ntar, tagihannya dipotong fee artikel, lho. Hohoho...

      Hapus
  3. Pernah juga sih Mbak pengalaman seperti ini. Bedanya, kami dapat kelapa muda yang dah basi. Kesal minta ampun. Saking kesalnya, saya minta suami yang bayar karena komplain saya ditanggapi ketus sebelumnya. Eh, bener deh. Suami katanya bayar yang basi itu juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heran banget ya, Mba dengan pelayanan kayak gitu. Padahal, kalau komplain pelanggan ditanggapi dengan baik toh kembalinya juga pada nama baik rumah makan tersebut. Orang jadi gak kapok dan mungkin dengan senang hati memberikan review terbaik untuk mereka.

      Hapus
  4. Saya dan suami juga pernah punya pengalaman kayak gitu mba. Ujungnya2 tetep dibayar juga. Bayar dengan catatan gak akan kesana lagi. Tapi hobby jajannya masih, hahaha.

    BalasHapus
  5. Waduh, Kayaknya bakalan kapok kalau saya dapat menu yang kurang sreg sama respon pelayan yang dingin gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi black list ya, Mba. Saya pun jadi akan berpikir dua kali untuk ke tempat itu lagi.

      Hapus
  6. Waduh, ngeriii euii untung gak ada kecoa yang ikutan nyemplung di coto wkwkwk

    Gak bakalan kesana lagi deh bunhae

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan sampai deh, Mba. Kalau kayak gitu, bakal ngamuk deh, kita.

      Hapus
  7. Mungkin pelayannya baru tuh bu, jadi dia bingung mau ngomong apa akhirnya berlalu begitu saja. Haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin juga, belum ikut training gimana menghadapi komplain pelanggan.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. Nah ini nih yg perlu diperhatikan oleh siapa saja yg mau bikin tempat makan. Perlunya training pegawai.

      Hapus
    4. Betul Banget, karena kepuasan pelanggan adalah kunci utama kesuksesan sebuah usaha. Tidak heran muncul ungkapan "Pembeli adalah raja"

      Hapus
  8. ikutan kesel Mbak. Saya pernah ngalami kecewa saat makan di restoran salah satu hotel, saya nemu rambut dan bangkai kecoa dibawah pembungkus makanan (nasi bakar). Saya complain dengan pelayannya. Untung respon mereka cepat dan bagus. Mereka menawarkan mengganti makanan dengan yang baru dan ingin menambah menu lain gratis. Belum cukup disitu, saya langsung diberi form kuesioner untuk menyampaikan saran ttg restoran mereka. Tapi,sama spt Mbak, saya pun sudah illfill duluan. Saya bergidik membayangkan, bagaimana sanitasi dapur dan tempat pengolahan makanan di sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau kayak gini, diganti dengan makanan rasanya udah gak bisa masuk ke perut, deh. Lha, dapurnya kan sama saja. Tapi salut dengan tanggapannya atas komplain yang dilayangkan.

      Hapus
  9. Wah, saya juga pernah merasmerasakannya, mbak. Makan di luar , terus enggak sesuai dengan ekspektasi, hehe

    BalasHapus
  10. wah iya kah bun. pasti bikin gak nafsu makan deh jadinya.

    BalasHapus
  11. Wah, itu mungkin pelayannya masih PMS, Mbak, *eh cowok apa cewek sih? hehe. Berarti cukup sekali dan cukup tahu saja kalau begitu ya, Mbak...

    BalasHapus
  12. Wah masa tidak ada permintaan maaf ya mbak. saya pernah punya pengalaman juga dikasih nasi mentah. Padahal it rumah makan langganan, kayaknya sih terburu-buru karena nasinya habis dan sudah banyak pelanggan datang. Pelayannya kayaknya juga tahu kalau nasinya belum masak dan diberi lebih dari yang biasanya. Heran aja pas beli, pas udah dimakan di rumah baru tahu kalau nasinya mentah, sampai berbulan-bulan saya nggak beli makan disitu trauma.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak ada maaf, Mba. Padahal, saya cuma pengen dengar kata itu, sekali aja. Saya juga gak tahu, apa masih akan ke tempat itu lagi atau udah kapok.

      Hapus
  13. Alhamdulillah saya belum pernah ngalamin yg aneh² selama makan di luar hihhiii.. Tapi klo jadi mba Hae saya pasti komplain & minta ganti nasi

    BalasHapus
  14. Waduh, padahal rasa dan service yg memuaskan adalah senjata bagi rumah makan. Insya Allah jadi sedekah ya, Mbak.
    Saya pun pernah, tapi bukan nasi. Kuahnya keasinan bangeeet. Lalu... Gak balik ke sana lagi, deh :)

    BalasHapus
  15. Enggak tahu mesti komen apaa mbaa
    Padahal tempat makannya bagus y, tapi enggak menjamin mutuny
    Zaman sekarang ni emang usaha kuliner harus benar2 enak krn konsumen menang milih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mba. Tempatnya lumayan mentereng, jadinya kita pikir semuanya pasti oke.
      Sekarang memang usaha kuliner merebak di mana-mana, jadi kejadian kayak gini seyogyanya jangan sampai terjadi. Bisa bikin pelanggan gak mau datang lagi untuk yang kedua kalinya.

      Hapus
  16. Ni restaurant mesti hired food taster ni..;)

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging