BERUBAH BERSAMA INSTITUTE IBU PROFESIONAL (IIP)
By HAERIAH SYAMSUDDIN - Rabu, Februari 01, 2017
“Menjadi seorang ibu itu gampang.Tinggal hamil
dan melahirkan, setelah itu jadi ibu deh”
Anggapan itu menghinggapiku ketika masih
gadis. Sebuah anggapan yang sepertinya lazim menghinggapi pikiran para wanita
lajang.
Selama ini aku memang tidak pernah melihat kesulitan
yang berarti dari ibuku yang harus membesarkan kesembilan anaknya, aku dan
adik-adikku.Ibu membesarkan kami tanpa dibantu oleh asisten padahal hampir tiap
tahun ibu mengandung yang menyebabkan perbedaan usia diantara kami rata-rata
hanya berselang dua tahun.
Padahal ibu hanyalah seorang perempuan
biasa.Beliau hanya berlatar belakang pendidikan SMP kelas dua. Ibu tak sempat
mengenyam pendidikan yang lebih tinggi seperti adik-adiknya karena telanjur
dijodohkan dengan bapak di usia lima belas tahun.
Berkaca dari ibu, maka aku merasa akan
mulus-mulus saja menjalani hidup berumah tangga nantinya.Tak heran ketika hari
pernikahan itu tiba aku tidak mempersiapkan banyak hal untuk mempelajari
bagaimana kehidupan berumahtangga yang sebenarnya.Aku terlalu menyepelekan hal
itu.Anggapanku bahwa semua akan aku tahu dengan sendirinya, semuanya akan
berjalan secara alami saja.
Apalagi melihat latar belakang pendidikan serta
pergaulanku yang lebih tinggi dan luwes ketimbang ibu. Usiaku pun ketika
menikah tak semuda ibu, usia yang menurutku cukup matang meski lebih muda
setahun dari rencanaku, usia 24 tahun.
Tapi aku salah besar.Menjadi ibu ternyata tak
semudah yang aku pikirkan selama ini.Terlebih hanya berselang sebulan, aku
kemudian dinyatakan positif hamil.
Rasanya belum puas menikmati indahnya masa berpacaran dengan lelaki asing yang
kini telah menjadi suamiku. Kesempatan
menikmati masa bulan madu terasa hanya berlangsung sesaat.
Terlebih aku menjalani masa kehamilan yang cukup
berat, mual dan muntah yang rasanya tak ada hentinya. Semua terasa tak
menyenangkan. Kata dokter, kandunganku lemah sehingga berjalan sedikit saja
maka tetesan darah akan membasahi pakaian dalamku. Akhirnya aku harus menjalani
masa bedrest yang cukup panjang hingga beberapa hari sebelum melahirkan. Sebuah
aturan yang terasa sangat sulit dan panjang
bagi orang selama ini sangat aktif sepertiku.
Perlahan-lahan aku mulai menyadari akan beratnya
tanggung jawab seorang ibu.Belum juga menjadi ibu tapi beratnya perjalanan yang
harus dilalui membuatku mulai
kelimpungan.Saat itulah kekagumanku pada ibuku mulai timbul. Aku yang baru saja
akan memiliki seorang anak sudah merasa seperti ini bagaimana dengan ibu yang
memiliki sembilan orang anak?
Alhamdulillah, setelah sembilan bulan mengandung
aku pun melahirkan putra pertamaku yang lahir normal dengan berat 3,5 kilogram
dan panjang 42 cm. Usai melahirkan,kesulitan menjadi ibu rasanya semakin
bertambah. Apalagi dihari-hari pertama kelahirannya bayi mungilku mengalami
permasalahan. Bayiku tidak mau menyusu dan lebih memilih untuk tidur sepanjang
hari.Akibatnya, sekujur tubuhnya berubah berwana kuning dan suhu tubuhnya
menjadi panas.
Untungnya kata dokter hal itu biasa dialami oleh
bayi baru lahir yang malas menyusu.Aku kemudian disarankan untuk rutin menjemurnya
setiap hari di bawah sinar matahari pagi.Biasanya sebelum hari keempat belas,
warna kuning itu akan hilang bila kami rutin menjemurnya. Selain itu, ia juga
harus dibangunkan agar mau menyusu kembali.
Alhamdulillah, bayiku kembali sehat. Semuanya tak
lepas dari bantuan mertuaku yang selama ini lebih intens merawatnya ketimbang
aku.Terus terang, aku masih sering takut memegang bayi mungil itu karena
khawatir menyakitinya.Otomatis, mertuaku yang turun tangan menangani urusan
mandi,mengurut maupun hal-hal lain yang belum bisa aku tangani sendiri.
Rupanya kesulitanku tak hanya sampai disitu. Di
usia delapan bulan, putra pertamaku itu
tiba-tiba kejang dan dari mulutnya keluar busa. Entah apa ini ada
hubungannya dengan jatuhnya ia dari ayunan yang cukup tinggi saat sedang tidur
beberapa hari yang lalu. Tentu saja setelahnya, aku dan suami segera membawanya
ke dokter spesialis anak. Oleh dokter, anakku kemudian divonis menderita epilepsy dini dan di
haruskan berobat rutin selama dua tahun.
Tahun-tahun pertama pernikahan kami memang penuh cobaan.Suami yang memilih untuk keluar
dari pekerjaannya yang telah mapan sebagai manajer di sebuah lembaga keuangan.
Sebagai gantinya, suami memilih menjadi
pengantar kue dengan penghasilan yang tidak tentu karena upahnya dihitung
berdasar jumlah kue yang berhasil
dijual. Ditambah dengan kondisi anak
yang sakit padahal harus rutin berobat yang tentu saja membutuhkan biaya yang
tidak sedikit untuk tiap kali berobat.
Disitulah perananku sebagai seorang ibu sangat
diharapkan.Ternyata ilmu yang selama ini kudapat di bangku kuliah maupun ilmu dalam pergaulan
tak terpakai disini. Aku tak pernah tahu bagaimana caranya mengurus anak,
merawat anak yang sakit, menyajikan makanan yang sehat untuk keluarga, melayani
suami dengan baik, mengelola keuangan keluarga dan masih banyak lagi.Aku merasa
seperti orang bodoh yang memasuki dunia asing, dunia yang sama sekali di luar
dugaanku.
Kebodohanku menjalani semua itu terus berlangsung
meski beberapa tahun kemudian aku kembali diamanahi anak ke dua maupun
ketiga.Aku menjalani rutinitas sebagai seorang ibu dengan bekal seadanya dan
hanya bercermin dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Alhamdulillah, di kehamilan keempat aku mulai
membuka diri dengan dunia luar. Kusadari selama ini hanya terkungkung dalam
rumah dan senantiasa tersibukkan mengasuh anak-anakku yang masih kecil.Tak
heran kalau pengetahuanku menjadi cetek karenanya.
Mulailah aku beradaptasi dengan kemajuan
tekhnologi, salah satunya dengan berkenalan dengan internet.Selama ini aku
hanya tahu internet dari sisi buruknya saja. Ternyata, internet itu ibarat dua
mata pisau. Di satu sisi bisa melukai tapi
di sisi lain kita dapat banyak
manfaat darinya. Sikapku yang selama ini menjauhi kemajuan tekhnologi itu
ternyata membuat pengetahuanku menjadi sangat terbatas.
Aku juga mulai banyak membaca berbagai artikel
tentang dunia kerumahtanggaan. Mulai dari tips dan trik mengurus suami, anak
maupun rumah. Ternyata semuanya lengkap tersaji di sana. Di sebuah dunia baru,
dunia maya.
Saat sedang browsing, mencari – cari artikel yang
bagus untuk dibaca aku pun menemukan berita tentang Institute Ibu professional
(IIP). Sebelumnya aku sudah tidak asing dengan nama pendirinya,ibu Septi Peni Wulandani, serta
sedikit banyak tahu tentang seabrek aktivitasnya. Setidaknya yang aku tahu,
beliau telah membuat buku jarimatika serta abaca. Dua buah buku yang menemani
anak-anakku tumbuh dan belajar.
Tanpa pikir panjang, aku yang sedang haus ilmu,
langsung mendaftar menjadi salah seorang anggota IIP. Meski belum sempat
membaca banyak tapi aku yakin takkan merugi apapun bila ikut bergabung di sana.
Setidaknya aku akan tahu bagaimana cara bu Septi mengasuh ketiga buah hatinya
sehingga menjadi anak-anak yang hebat, Mba Enes,Mba Ara dan Mas Elan.
Tanpa perlu menempuh persyaratan yang lama dan banyak, aku pun telah terdaftar
menjadi salah seorang anggota IIP (Institute Ibu Profesional).Senang sekali
rasanya bisa bergabung dengan para ibu lain yang juga ingin maju. Berada bersama dalam satu wadah yang akan
menjadi tempat belajarnya para ibu yang ingin menjadi profesional di bidang
pendidikan anak dan keluarga.
Bersama IIP mulailah aku mengubah cara pandang
akan tugas dan peranan seorang ibu. Lewat IIP, aku kemudian menyadari kalau
tugas seorang ibu tidaklah sesederhana yang aku kira. Pantaslah kiranya
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kalau al ummu madrasatu,
seorang ibu adalah sekolah, tempat pengajaran bagi anak-anaknya kelak. Seorang
ibu adalah sekolah yang paling utama bagi para anaknya.
Dengan bergabung di IIP, kita diajarkan untuk
menjadi seorang ibu yang professional bukan lagi sebatas ibu yang konvensional.
Aneka pelatihan maupun seminar diberikan untuk meningkatkan kapasitas kita
sebagai seorang ibu.
Dengan kemudahan tekhnologi seperti sekarang maka
tak ada lagi alasan untuk tidak ikut bergabung. Bagi anggota maupun siapa saja
yang tertarik untuk mengikuti program IIP yang berpusat di Salatiga,
dipersilahkan untuk datang bila ada kesempatan maupun waktu luang. Di sana
telah tersedia sarana maupun prasarana yang unik yang semakin membuka mata kita
untuk terus bergerak maju. Di sana juga diajarkan bagaimana memaksimalkan
segala potensi yang kita miliki tanpa selalu terpaku dengan berbagai macam
kendala.
Adapun
bagi yang tidak berkesempatan hadir ataupun berada jauh maka IIP menyediakan
fasilitas online sehingga bisa diikuti dimanapun berada. Selain itu IIP juga
telah membuka cabang yang tersebar di berbagai kota dan beberapa negara.
Semuanya diperuntukkan untuk
memudahkan siapa saja yang ingin menjadi
seorang ibu yang profesional.
Kini, di mataku profesi ibu rumah tangga bukanlah
profesi sampingan yang bisa dipandang sebelah mata. Semakin hari aku semakin
menyadari kalau profesi yang biasanya termarginalkan itu adalah sebuah profesi
dengan amanah serta tanggung jawab yang sangat besar.
Profesi ini juga
menuntut untuk dijalankan secara profesional. Ia tak ubahnya profesi di luar sana seperti.
Sama seperti ketika seorang perempuan
memilih untuk berkarier di luar
rumahnya. Entah itu sebagai guru, manajer, sekretaris atau apapun namanya.
Bahkan sebenarnya tugas seorang ibu lebih
kompleks dari apapun. Seorang ibu adalah pengendali dan penanggung jawab
utama atas apa yang terjadi di dalam
rumahnya. Seorang ibu adalah manajer keuangan keluarga yang merangkap koki,
dokter, psikiater, tukang bersih-bersih dan sebrek tugas lain.
Dengan amanah sebesar itu maka sudah selayaknya
kita mengubah pandangan tentang profesi ibu rumah tangga. Demi menjadikan
anak-anak kita menjadi generasi terbaik nantinya. Demi menjadikan rumah tangga
kita sakinah, mawaddah dan rahmah.
Dengan menjadi seorang ibu rumah tangga yang
professional maka kita akan bangga ketika menyebut apa profesi kita. Ya, aku
ibu rumah tangga dan aku bangga menjadi seorang ibu rumah tangga.
Mari, berubah bersama Institute Ibu Profesional
(IIP)
6 Comments
Sebenernya menjadi ibu perlu perjuangan besar ya.. bagaimana menjaga anak-anak, mengasuh dan lainnya.. semangat, Mbak.. semoga menjadi ibu dan istri yang baik :)
BalasHapusAamiin. Semoga doa yang sama untukmu, Mba....
Hapussyaratnya apa aja mb untuk jadi anggota IIP?
BalasHapusBuka web atau fb Institute Ibu Profesional, ada kok di sana persyaratannya.
HapusWah bukan lagi basa-basi artikel ini saya baca dari awal sampai akhir, memberikan inspirasi bagi yang masa transisi dari lajang menikah dan jadi ibu.
BalasHapusSemoga banyak yang baca
Alhamdulillah, sekiranya tulisan ini bermanfaat. Terima kasih
HapusTerima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging