Tulisan ini terdapat dalam salah satu bab dalam buku antologi "The Miracle Of Hijab". Buku yang berisi kisah-kisah para muslimah yang akhirnya memutuskan untuk berhijab, menutup aurat sebagaimana perintah Allah dan Rasul-Nya.
Kisah selengkapnya adalah ......
LEBIH NYAMAN DENGAN BERJILBAB
“Serius
kamu mau berjilbab? Gak gampang,lho!”
ucap Nana,salah seorang sahabatku dengan nada tak percaya. Berdua dengan
Sari,sahabatku yang lain, mereka kini telah duduk tepat di hadapanku. Keduanya
menatapku lekat-lekat usai mendengar penuturanku barusan.
Pagi
itu aku baru saja tiba di kampus ketika keduanya langsung menggiringku ke
ruangan kelas yang masih kosong. Di sana mereka menginterogasiku, mempertanyakan
kembali keputusanku untuk berpakaian lebih syar’i. Suasana seakan di gedung
DPR, saat para wakil rakyat itu meminta pertanggungjawaban aparat negara yang
membuat satu keputusan yang menurut mereka tidak popular.
“Insya
Allah,doa’kan aku istiqomah, ya…”aku menjawab mantap. Kubalas tatapan
mereka. Kuingin mereka tahu kalau keputusan yang kuambil itu bukan main-main.
Kemudian
keduanya berbisik dengan serius. Aku tahu mereka tengah meragukanku. Aku tahu keputusanku memang
bukanlah hal yang mudah tapi aku pun sadar, aku harus berubah.
Aku
bisa memahami ketidakpercayaan mereka. Mengingat siapa diriku selama ini. Cewek
super tomboy yang senantiasa berpakaian seadanya. Aku lebih suka berpakaian ala
cowok. Cukup dengan kaos oblong,celana jeans dan bersandal jepit. Lebih praktis
menurutku ketimbang harus berpenampilan feminim seperti kawan-kawan perempuanku
yang lain.
Dari
segi penampilanpun seadanya. Aku paling malas berdandan. Paling aku hanya
memakai pelembab untuk melindungi wajahku karena kebanyakan aktivitasku
outdoor. Rambutpun senantiasa dipotong pendek.
Selain karena merasa lebih nyaman, mama dan tante senantiasa menjulukiku
mirip Indian bila rambutku mulai sedikit melewati bahu.
Akibatnya,
di kampus aku sering diledek bila musim ujian tiba. Kampus kami mewajibkan
mahasiswinya mengenakan rok di saat
ujian. Kalau sudah begitu aku terpaksa mengenakan simpanan rokku satu-satunya.
Rok hitam lipit yang sebelumnya milik adikku yang sudah tidak terpakai lagi.
“Lha,
ternyata kamu cewek, toh?” goda kawan-kawanku bila melihatku tampil dengan
rok tersebut.
Aku
hanya bisa tersenyum kecut diledek seperti itu. Mereka menggodaku seperti itu
karena kami memang telah terbiasa untuk saling meledek bila menemukan hal yang
sedikit lain dari biasanya.
Tapi
tentu saja keputusanku untuk berpakaian lebih syar’i tidak datang begitu saja.
Semuanya melalui proses dan pergulatan batin. Aku pun tahu dan sadar sepenuhnya
resiko apa yang akan aku hadapi sehubungan dengan perubahanku nantinya.
Semuanya
bermula dari semakin intensnya aku bergaul dengan para akhwaat, ikut
pengajian serta sharing berbagai hal
dengan mereka. Hal ini yang kemudian banyak mempengaruhiku. Aku mulai
memperhatikan agamaku, sesuatu yang selama ini tidak terlalu kupahami meski
agama ini telah kuanut sejak lahir. Aku pun sadar untuk lebih banyak lagi
belajar karena ternyata pengetahuan keagamaanku sangatlah sedikit.
Berbekal
ilmu yang telah kuketahui, tentu saja tak cukup hanya sekadar dipelajari tanpa
diamalkan. Maka mulailah aku mengaplikasikan ilmu yang kuperoleh itu terutama
untuk diriku sendiri.
Untuk
itu aku sudah mempersiapkan segalanya. Mulai dari fisik maupun mental. Dimulai
dari mempersiapkan pakaian yang berbeda dari biasanya. Yah, aku ingin total
berubah tidak setengah-setengah. Pakaian ala cowok akan kuganti dengan busana muslimah syar’i. Gamis panjang
yang dipadu dengan jilbab lebar dengan panjang menutupi dada.
Alhamdulillah,
semua faktor pendukung itu telah tersedia. Kini, tak ada lagi alasan untuk
tidak segera berubah menjadi lebih baik.
Tanpa mengeluarkan sepeser uangpun aku bisa mendapatkan busana syar’i
tersebut. Beberapa orang teman yang mendukung perubahanku kemudian menghadiahkan busana syar’i mereka.
Tentu saja aku sangat berterima kasih karena pemberian itu sangat bermanfaat.
Terlebih saat itu aku tak bisa membeli pakaian syar’i itu karena keterbatasan
dana.
Pertama
kali mengenakan busana syar’i itu aku merasa sangat canggung. Setiap kali angin
bertiup agak kencang aku akan langsung
memegang gamisku serta ujung jilbabku
erat-erat. Aku takut keduanya akan terangkat naik karenanya. Belum lagi,
beberapa kali aku hampir terjatuh karena menginjak bagian bawah gamisku.
Teman-teman
yang melihatku pun terbagi dua. Yang mendukung, memberikan ucapan selamat dan
berdo’a agar aku bisa tetap istiqomah dengan perubahanku. Sedang yang lainnya
malah mencibir. Mereka menudingku sok suci, sok alim dan berbagai tuduhan
lainnya.
Alhamdulillah,
semua telah kuantisipasi sebelumnya. Apalagi aku memiliki teman-teman yang
senantiasa mendukungku. Mereka menguatkanku, termasuk dua orang sahabatku,
meski mereka belum bisa berhijrah sepertiku.
Satu
lagi yang kusyukuri dengan perubahanku itu ialah timbulnya perasaan aman dan tenteram dengan
berbusana seperti ini. Dalam balutan busana syar’i aku tidak lagi menarik hati para cowok iseng yang
biasanya senang menggoda. Sesekali memang masih ada yang iseng tapi sudah
sebanyak dulu lagi. Itupun paling hanya iseng mengucapkan salam, tidak lebih.
Yang
paling sering adalah menjawab pertanyaan ibu-bu yang kebetulan satu angkot
denganku. Biasanya aku memang naik angkot kalau ke tempat kajian.
Kebanyakan mereka bertanya dengan nada
nyinyir meski ada juga yang bertanya karena penasaran.
“Duh,
panasnya. Kamu kok tahan sih pakai pakaian seperti itu saat panas begini”
kira-kira seperti itu pertanyaan mereka.
Biasanya
aku menjawab dengan santai. Aku katakan saja kalau neraka Allah lebih panas
ketimbang hawa siang hari di angkot. Atau kalau yang bertanya itu serius maka
aku jawab juga dengan serius. Aku katakan semua ini adalah perintah Allah dan
sebagai hamba-Nya kita hanya bisa taat dan patuh pada semua perintah
tersebut.
Ternyata
tanpa aku sadari, busana syar’i yang kukenakan adalah bagian dari dakwah islam
itu sendiri. Aku bisa berdakwah di jalan, di angkot, di kampus bahkan dimanapun
aku berada tanpa perlu banyak bicara.
Karenanya,
aku juga senantiasa berusaha memperbaiki sikapku. Sebisa mungkin aku
menyebarkan salam, menyapa para muslimah yang kutemui. Tak semuanya membalas
salamku memang tapi setidaknya aku ingin mereka tahu kalau stigma bahwa muslimah yang dalam
balutan busana syar’i adalah sombong dan menganggap hanya dirinya yang suci adalah
tidak benar sama sekali. Kalaupun ada yang seperti itu, biasanya kembali ke
pribadi masing-masing karena ajaran islam sendiri tidak mengajarkan yang
seperti itu.
Alhamdulillah,
tak terasa sudah hampir lima belas tahun aku mengenakan busana syar’i ini.
Semoga aku senantiasa istiqomah mengenakannya
hingga maut menjemput. Aamiin ya Rabbal Alamin.
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging