OPTIMIS MEMBANGUN MIMPI

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Kamis, Januari 26, 2017


"Tukang kompor" demikian julukan sahabat-sahabatku saat kuliah dulu. Julukan ini diberikan karena keahlianku ngomporin teman-teman yang sedang hopeless. Entah karena hasil ujian dapat E, tugas perkuliahan yang sulit, dosen killer maupun habis putus (baik karena diputuskan atau memutuskan). Repotnya...giliran saya yang hopeless, hikz gak ada yang semangatin. Huhuhu....


Salah satu yang paling sering saya berikan ke teman-teman yang konsultasi (disini kadang saya mikir harusnya saya kuliah di psikologi aja) adalah OPTIMIS. Ya, OPTIMIS menjalani hidup ini. Salah satu contoh optimisku adalah...ketika musim ujian tiba saya selalu optimis kalau nilai-nilaiku nantinya bagus. Alhamdulillah, ketika hasil ujian kami diumumkan, nilaiku berkisar A dan B.Kebanyakan A sih.... *songong, hihihi.

Namun suatu hari.......

"Saya sudah pakai caramu, tapi kok nilaiku tetap C" keluh salah seorang sahabatku. Rupanya selama ini ia menerapkan cara yang saya lakukan.

"Masa sih?" saya gak yakin dengan keluhannya. Metode ini berhasil untukku masa sih gak berhasil untuknya.

Usut punya usut, ternyata doi salah menerapkan 'ajaranku'. Selama ini ia menerapkan metode optimis-ku tanpa dibarengi usaha yang juga kuat. Doi optimis dapat A tapi gak belajar . 

"Jadi, tetap harus belajar biar bisa dapat A?" tanyanya serius 

"Ya iyalah.......Duh mba optimis dapat nilai bagus tapi gak belajar gimana caranya ..."

"Yaelah, kalau harus pakai belajar itu mah sama aja boong. Biar gak optimis juga pasti nilainya bagus..." kilahnya meninggalkanku seorang diri.

Ampun deh. Biar optimis juga tentu saja tetap kudu harus belajar. Sama ajakan dengan doa. Setiap doa pasti akan dikabulkan tapi supaya terkabul ya kudu berusaha juga. Aish.... 

Meski teoriku 'gagal' diterapkan tuk orang lain. Namun saya tetap menerapkannya untuk diriku sendiri.  Ketika kemudian saya berhijrah dengan memutuskan menutup seluruh tubuhku dari pandangan lelaki ajnabi, memutuskan menolak pekerjaan yang tidak sesuai dengan prinsipku usai menamatkan study. Termasuk dalam urusan menemukan tambahan hati dan calon imamku, uhuk uhuk.....  

Meski telah berhijab penuh, saya tetap optimis bisa nyari duit sendiri. Alhamdulillah, meski kemudian saya tidak bekerja di hotel berbintang lima dan sebuah bank milik pemerintahan (saat itu ada yang nawarin jadi saya tinggal masuk aja) namun saya bisa menghasilkan duit sendiri dari pekerjaan lain. Meski nyatanya  pekerjaanku tidak mendapatkan tempat yang layak di mata keluarga.

Begitu pula ketika memutuskan untuk mengakhiri masa lajang. Saya lebih memilih lelaki yang shalih dan sederhana.  Meski kemudian kami harus membangun bahtera rumah tangga dari nol namun saya percaya,  berbekal iman dan cinta karena Allah insya Allah kami akan mampu hidup lebih baik dan layak.

Membangun Optimis Dalam Rumah Tangga

Maka dimulailah episode terbaru dalam hidupku bersama sang imamku. Sebisa mungkin saya selalu mendukung setiap keputusannya. Termasuk kemudian keputusannya untuk keluar dari tempat kerjanya  dan mencoba mengais rezeki di tempat lain. Menjadi penghantar kue-kue untuk toko dan warung. Berbanding terbalik dengan kedudukan sebelumnya sebagai manajer di lembaga keuangan tersebut.

Maka berbekal sepeda tua, lelakiku keluar mengais rezeki. Setiap pagi ia ke tempat supplier kue kemudian membawa beberapa toples dan menawarkannya di toko dan warung yang mampu dijangkaunya. Keuntungan kami adalah 10% dari jumlah kue yang terjual habis. Atas kebaikan pemilik usaha, terkadang lelakiku pulang membawa kue-kue jualannya yang tidak habis terjual. 

Meski hidup sangat sederhana, aku selalu optimis suatu hari kami akan melewati episode ini. Demikian juga ketika suamiku ditawari untuk ikut pelatihan selama setahun dan setelahnya akan dikirim ke  daerah pelosok untuk mengembangkan dakwah islamiyah di sana.

Maka episode kedua kami jalani, sebagai pengembang dakwah di sebuah kota kecil. Sebut saja sebagai ustadz. Alhamdulillah, cara lelakiku mengembangkan dan menangani segala problematika umat di wilayah tugasnya membuatku semakin mengaguminya. Di mataku beliau sangat cerdas. Kecerdasan yang membuatku senantiasa mengomporinya...."Kita bisa hidup lebih layak daripada saat ini. Abang bisa lebih dari ini......"

Kompor kompor kompor dan optimis yang akhirnya membuat kami keluar dari kota kecil itu. Meski harus melewati satu episode luka terlebih dahulu. Lelakiku ditarik ke kantor pusat. Bagus juga sih, sekalian beliau menyelesaikan study S2 nya.

"Jangan terlalu tinggi mimpinya. Ntar jatuh, sakit lho...." begitu komentar yang mampir padaku ketika kuceritakan mimpi lelakiku sekaligus mimpiku. Usai menyelesaikan S2, lelakiku mencoba peluang untuk bisa lanjut S3 di luar negeri dengan beasiswa tentunya. 

Tapi karena dari dulu saya memang suka bermimpi (dan menjadikan mimpiku sebagai bentuk dari rasa optimis) saya tak peduli dengan ocehan tersebut. Suka-suka saya dong, mau mimpi apa saja. Lagian, bukannya sebaiknya mimpi itu didoakan semoga terkabul bukannya dinyinyirin, iya kan...

Alhamdulillah, doa itu terkabul. Lelakiku mendapatkan beasiswa yang diinginkannya. Sebenarnya saat itu, ia ragu memilih dua negara, Inggris atau Malaysia. Akhirnya dengan mempertimbangkan banyak faktor, beliau memilih yang dekat dan mudah dijangkau, Malaysia.


Alhamdulillah, setelah enam tahun berlalu, di sinilah keluarga kecil kami berada. Merantau di negeri orang. Menikmati berlalunya masa di negeri jiran yang tenang dan nyaman. Membesarkan kelima anak dengan tetap membangun optimis setiap kali usai berdoa....

"Rabbana hablana min azwajiina wa dzurriyatina qurrata a'yun waj-'alna lil muttaqina imama"

"Ya Rabb kami, karuniakanlah kepada kami istri dan keturunan yang menjadi cahaya mata dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang memelihara dirinya (dari kejahatan)" (QS Al Furqan:74) 




·    Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan mak April Hamsa dalam  Collaborative Blogging Kumpulan Emak-emak Blogger


   





  • Share:

You Might Also Like

14 Comments

  1. Wah, merantau tapi berhasil membangun keluarga kecil. Semoga selalu diberi kesehatan dan keberkahan, Mbak..

    Dan memang, kita mesti optimis, apapun mimpi kita, kita harus yakin, bahwa bisa terwujud. Jadi, kita semangat untuk mewujudkannya :)

    BalasHapus
  2. Alhamdulilah, ikut senang baca kisah perjuanganmu Mbak. Prinsipnya berani bermimpi dulu ya, ikhtiar terus optimis, inshaAllah Allah yang akan memudahkan jalan agar terbuka. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Optimis setelah berusaha sekuat tenaga. Bagaimanapun semua yang terjadi merupakan kehendak Allah yang tidak akan bisa terjadi tanpa kehendak-Nya.

      Hapus
  3. trims mba udah diingatkan kembali

    BalasHapus
  4. Swtuju mba.. Optimis ya hrs bareng ama usaha lah.. Aku jg mau kalo bisa dapet nilai bgs hnya dgn bekal optimis tok tanpa bljr :p.

    Aku jg punya mimpi.. Bisa kliling dunia.. Temen2 awalnya ragu.. Tp pelan2 aku buktiin kok.. Tiap thn aku bisa menambah koleksi chop di pasport k negara2 yg blm prnh aku dtgin.. Optimis tp pasti pake usaha.. Lembur, nabung yg rajin dan konsisten.. Akhirnya bisa kok terwujud :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, mimpinya pelan-pelan terwujud. Semoga ke depan semakin banyak negeri yang berhasil dijelajahi ya mba...

      Hapus
  5. Subhanlloh inspiratif sekali dan saya salut kuliah dengan beasiswa tentu suami mba cerdas, soalnya sulit sekali untuk mendapatkan hal tersebut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah saat ini saya lihat semakin banyak terbuka kesempatan tuk mendapatkan beasiswa. Gak harus cerdas sih yg penting semangat belajarnya tinggi dan tdk mudah putus asa. Dan teteup....OPTIMIS

      Hapus
  6. Aku selalu sukak, bangga, Dan sedikit envy sma orang merantau, mereka bisa lakukan Dan saya ingin sekali melakukannya... Dan baca artikel ini, Jadi ingin merantau. Hehehe.. nanti ke sana, kompori saya Dan pandu saya ya wkwkwkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Merantau memang memberi kita banyak pelajaran hidup. Jangan pernah takut merantau karena di tempat baru engkau akan menemukan keluarga yang lain, begitu kira-kira bunyi nasehat (kalau tidak salah) salah seorang ulama.

      Hapus
  7. Wah Mak, cita-cita saya tuh untuk bisa merasakan tinggal di negara orang lain. Walaupun terasa gak mungkin, tapi harus optimis ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kok gak mungkin, Mba. Dulu, saya pun gak kebayang sama sekali tapi alhamdulillah nyatanya bisa. Semangat. Mba.

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging