Suamiku adalah penggemar berat pisang. Pisang apa saja.
Mau itu pisang raja, kepok, ambon, emas pokoknya apapun jenisnya. Tapi dari
semua jenis pisang yang paling digemarinya adalah pisang raja. Suamiku juga
suka sekali dengan semua olahan pisang. Mau itu dibuat gorengan, direbus maupun
dibuat cake, beliau suka semuanya. Tapi dari semua olahan itu yang paling
disukainya ialah pisang goreng.
Kegemaran inilah yang pertama kali yang diperkenalkan keluarga
suami ketika untuk pertama kalinya aku resmi menjadi bagian dari keluarga besar
mereka. Saat itu kami berbincang terkait dengan kegemaran dan kebiasaan suami,
maklum aku belum tahu banyak tentang suamiku kala itu.
Waktu itu aku hanya tersenyum memakluminya. Aku juga suka pisang meski sedikit berbeda
dari suamiku karena aku paling tidak suka pisang raja, pisang kesukaannya. Aku
lebih suka pisang ambon untuk dimakan langsung dan pisang kapok jika ingin
dibuat gorengan.
Menurut suamiku sejak kecil ia sudah suka dengan pisang. Uniknya, saat masih duduk di
TK, bekal hariannya adalah pisang rebus.
Padahal saat itu orang tuanya
mampu memberikan bekal yang lebih ‘wah’ dari sekadar pisang rebus. Ia
pun merasa cukup dengan pisang rebusnya itu meski saudaranya yang lain selalu
membawa aneka jajanan yang dibeli di toko kue ternama di kota kami.
Seiring bertambahnya waktu aku semakin tahu,
ternyata suamiku bukan hanya penyuka pisang sepertiku. Menurutku beliau sudah
masuk “stadium ekstrem”. Tak heran bila hampir di setiap pagi dan sore aku harus menyajikan sepiring pisang
goreng kesukaannya plus segelas teh
maupun kopi instant. Tanpa itu semua maka hari-harinya serasa tak lengkap.
Kalau sudah begitu. Beliau akan segera mencari penjual pisang mentah maupun
gorengan terdekat. Untungnya hal itu bukanlah hal yang sulit karena penjual
pisang bisa dengan mudah ditemui di kota kami.
Pernah karena bosan maka aku mengganti menu wajib
itu dengan singkong maupun ubi jalar goreng. Beliau tidak menolaknya dan tetap
memakannya dengan lahap. Tapi setelah itu beliau akan pergi dan kembali dengan
pisang mentah maupun pisang goreng ditangannya. Aduh....
Meski bukan pekerjaan berat namun terkadang ada
rasa kesal juga melayani hobi ngemilnya itu. Saat pagi atau sore terlewatkan
tanpa kehadiran pisang goreng kupikir mungkin suamiku sedang bosan atau lagi
malas makan pisang goreng. Eh tiba-tiba agak siang atau selepas maghrib beliau
muncul sambil menenteng kresek berisi pisang meski biasanya cuma setengah sisir
atau terkadang malah cuma dua atau tiga buah pisang.
“Biasa, dibuat gorengan ya istriku yang cantik”
dengan senyum manisnya ia menyerahkan buah itu ditanganku.
Aku hanya bisa tersenyum kecut menerimanya. Tanpa
berkata apa-apa dengan cekatan tanganku segera mengolah pisang tersebut. Mau
menolak juga rasanya tidak tega karena kutahu
suamiku yang akan berjibaku sendiri menggoreng pisang tersebut. Dan
hasilnya biasanya cuma ada dua kemungkinan, kalau tidak masih mentah biasanya
malah hangus.
“Sepiring pisang goreng cinta” demikian
puji suamiku bila hidangan itu telah tersaji
dihadapannya. Mungkin juga karena sebenarnya dia tahu kalau aku tadi
setengah hati menggorengnya.
Segera, suamiku mencomot potongan pisang goreng
yang biasanya ditemani dengan campuran gula pasir dan mentega. Gayanya seakan
tengah menikmati makanan terenak di dunia yang sudah lama tidak ditemuinya.
Kalau sudah begitu maka otomatis semua rasa kesalku hilang. Bukankah tak ada
yang lebih menyenangkan bagi seorang
istri bila melihat suaminya sangat menikmati hidangan yang dihasilkan dari
olahan tangannya sendiri.
Karenanya ketika kami kemudian dipisahkan oleh
jarak maka dua waktu itu menjadi saat yang paling menyiksaku. Pagi dan sore.
Waktu dimana biasanya aku sedang sibuk di dapur menyiapkan cemilan serta
segelas minuman hangat kesukaan suamiku.
Dua tahun yang lalu, beliau mendapat kesempatan
untuk melanjutkan studinya di negeri jiran. Tentu saja kesempatan itu tidak
disia-siakan meski sebagai konsekuensinya
harus meninggalkan kami, istri dan keempat anaknya.
Menjalani hari demi hari tanpa suami di
sampingku terasa sekali seperti ada yang
hilang. Selama ini kami tak pernah berpisah jauh dan lama. Paling lama hampir
dua pekan yaitu saat aku akan melahirkan
di kota kelahiranku sementara suami tidak bisa meninggalkan kota tempat
tugasnya yang berjarak sekitar 400 km.
Meminjam istilah Anang, rasanya separuh jiwaku
pergi. Tak ada lagi yang menemaniku menjaga anak-anak. Tak ada yang mengantarku
ke sana kemari. Dan yang selalu membuat mataku sembab bila mengingatnya ialah
tak ada lagi yang datang secara tiba-tiba sambil mengacungkan sesisir pisang
raja. “Digoreng, ya Beib.....”
Aku sangat merindukan momen itu. Momen menggoreng
pisang dan menyajikannya dengan segenap cinta. Terkadang aku masih menggoreng
pisang, terlebih bila mendapat kiriman dari tetangga atau keluarga. Tapi aku
tak pernah bisa memakannya dengan lahap. Hanya sepotong gigitan yang bisa
melewati kerongkonganku, itupun terasa pahit.
Selebihnya kuberikan semua pada
anak-anakku yang ternyata seperti abahnya juga sangat suka dengan pisang
goreng.
Saat itu kembali kusadari betapa momen kecil
seperti itu ternyata memberi bekas yang sangat mendalam. Aku kembali menyadari
betapa aku sangat mencintai ayah dari anak-anakku itu. Kesadaran yang sering baru kusadari bila beliau telah jauh
dariku.
Diam-diam aku bergumam dalam hati “Cepatlah
pulang sayang dan berkumpul kembali bersama kami. Di sini, aku akan selalu
menyediakan sepiring pisang goreng penuh cinta kesukaanmu”
.
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging