Salah satu hal yang paling menyenangkan bagi para perantau adalah bisa pulang kampung dan merayakan lebaran bareng keluarga besar di sana. Ini pulalah yang senantiasa ditanyakan keluarga besar kami setiap kali kami harus kembali ke perantauan....
"Lebaran nanti pulang kan......"
"Mau...mau bangets...tapi......"
Salah satu cerita mudikku pernah kutuliskan di sebuah buku antologi. Waktu itu kami adalah keluarga perantauan di sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 400 km dari pusat ibukota Propinsi Sulawesi Selatan.
Ini ceritanya.....
Senangnya bisa kembali mudik tahun ini. Mulanya kupikir hari raya
tahun ini akan kami rayakan di daerah tugas suami karena kesibukan suami yang
seperti tak ada habisnya. Ternyata kesibukan itu bisa diselesaikan sesaat
sebelum hari raya tiba. Suami kemudian
memutuskan untuk mudik tepat di hari raya. Meski tak mendapatkan hari
raya pertama bersama keluarga besar tapi setidaknya suasana lebaran masih
terasa, keluarga besar yang dari daerah lain juga masih berkumpul.
Keesokan harinya, usai shalat ied serta bersilaturrahmi ke beberapa
rumah orang yang kami tuakan, kami pun bergegas pulang untuk segera menyiapkan
keperluan mudik. Aku yang selalu kebagian tugas packing untungnya telah terbiasa bekerja secara mendadak. Tanpa
kesulitan berarti dua buah tas besar,sebuah tas berukuran sedang dan beberapa
kardus bekas mie instant berisi hasil bumi pemberian teman kami bawa sebagai
oleh-oleh telah siap untuk dibawa.
Malamnya kami sekeluarga telah bersiap untuk berangkat. Selama ini
kami selalu memilih perjalanan malam.
Dengan demikian, anak-anak bisa tidur
dengan tenang tanpa diganggu rasa panas dan bosan. Maklum, jarak yang akan kami tempuh sekitar
400 kilometer yang biasanya memakan waktu sekitar sembilan jam.
Setelah semua dirasa cukup, kami pun segera meninggalkan
rumah.Dengan ditemani beberapa orang kawan suami, kami diantar keluar menuju
jalan propinsi yang berjarak sekitar 500 meter dari tempat kediaman kami. Di
sanalah rencananya kami akan menunggu bis yang biasanya melewati jalan tersebut
menuju kota kelahiran kami.
Cukup lama kami menunggu bis yang lewat. Aku dan ketiga anakku
menunggu di depan sebuah gudang beras sementara suamiku menunggu di pinggir
jalan untuk mencegat bis yang lewat.
Beberapa orang kulihat juga melakukan hal yang sama. Menunggu bis di pinggir
jalan ketimbang mengambil di terminal.
Mungkin alasan mereka sama dengan kami. Memilih tak mengambil bis
di terminal selain karena jarak terminal
cukup jauh harganya pun standard.Sementara bila menunggu di pinggir
jalan maka kami tak perlu repot ke terminal terlebih dahulu dan juga dari segi
harga lebih murah karena bisa menego
dengan supir dan kernet.
Sayangnya setelah beberapa lama menunggu, bis yang kami harapkan
tak kunjung datang. Beberapa bis yang lewat ternyata telah penuh sehingga tak
ada yang berhenti untuk mengambil kami.
Ternyata kami salah perhitungan, jumlah penumpang mudik tetap membludak
meski kami telah memilih hari tepat di hari raya. Kami pikir, hari ini jumlah
penumpang berkurang karena hari raya telah lewat dan mereka belum saatnya
balik.
Entah berapa lama kami menunggu.Alhamdulillah anak-anakku tergolong
anak yang sangat mudah menyesuaikan diri. Mereka
bisa enjoy di mana saja termasuk saat
berada di pinggir jalan seperti saat ini. Kedua anakku yang salah satunya masih
balita itu malah terlihat menikmati suasana malam.Mereka tak henti-hentinya
becanda dan sesekali berkejar-kejaran.Tentu saja kami terus mengingatkan agar
mereka tak lari menuju ke jalan.
Sementara bayi kecilku justru pulas berada di balik kerudung
lebarku.Hembusan angin malam tak mengusiknya malah beberapa kali aku harus
mengusap keringat muncul di dahinya.Sesekali aku mengeluarkannya agar ia tak
sesak berada di tempat pengap.
Ternyata bukan anak-anak yang kemudian merasa jenuh menunggu
seperti ini justru aku yang merasa bosan.Suami yang berdiri di tepi jalan pun kulihat sudah gelisah dari
tadi.Sepertinya ia juga mulai bosan sepertiku. Beberapa kali ia menoleh ke arah
kami untuk meminta kesabaran kami.
![]() |
Sumber Gambar; Pixabay |
Saat itulah sebuah mobil angkutan pedesaan jenis MPV kulihat menghampiri suamiku.Sepertinya sang supir sedang menawarkan mobilnya untuk kami pakai mudik. Setelah berbicara beberapa lama, suami kemudian menghampiriku dan meminta pendapatku apa masih ingin menunggu bis yang belum tentu datangnya atau memutuskan untuk menggunakan kendaraan ini saja.
Kami berembuk sejenak.Rasanya kami tak punya pilihan lain saat itu.
Menunggu bis yang masih menyisakan kursi penumpang rasanya semakin mustahil
apalagi malam bertambah larut. Sementara
memilih mobil MPV ini juga bukan
pilihan menyenangkan, selain karena
kurang nyaman biasanya supirnya juga
ugal-ugalan.
Akhirnya kami memilih opsi yang kedua. Sepertinya pilihan itu yang
terbaik saat ini. Tak lama berselang kami telah berada di dalamnya bersama para
penumpang yang lain.
Sebelumnya suami telah membooking tempat duduk di “bagian kelas”, istilah
yang diberikan untuk tempat duduk memanjang yang berada di tengah, agar kami
bisa sedikit merasa nyaman.
Pelan-pelan mobil mulai meninggalkan tempat kami menunggu sedari
tadi.Kedua anakku seperti biasa berebut tempat duduk, mencari posisi yang mereka rasa nyaman.Semuanya ingin duduk dekat
jendela agar bisa menikmati angin yang berhembus kencang.Maklum, mobil yang
kami tumpangi tidak difasilitasi dengan AC sehingga hawa terasa cukup panas.
Tentu saja kami tak mengabulkan permintaan mereka.Untungnya
anak-anak mau mengerti,sebagai gantinya aku menawarkan bekal yang kubawa.
Keduanya pun kini tenang sambil menikmati snack kesukaan mereka.
Alhamdulillah setelah merasa kenyang dan ngantuk, kedua anakku
kemudian tertidur.Sementara si kecil sejak tadi anteng dalam
gendonganku,mungkin guncangan mobil dirasa seperti sedang diayun.
Setelah anak-anak nyaman dalam tidurnya, tinggallah aku dan suami
yang justru tidak bisa tidur. Seperti yang kami duga, mobil melaju dengan
kecepatan tinggi. Beberapa kali kami hampir terpental ke depan gara-gara supir
menginjak rem secara mendadak.Himbauan kami agar supir membawa mobil lebih
pelan hanya diikuti sesaat karena tak lama kemudian mobil kembali ngebut.
Untungnya anak-anakku tetap nyenyak dalam tidurnya. Untuk meredam
kecemasan, sepanjang jalan aku tak henti-hentinya berdzikir memohon
perlindungan agar kami bisa tiba dengan selamat.
Ternyata bukan hanya itu “kejutan” yang diberikan supir. Saat jarak
perjalanan tersisa sepertiga tiba-tiba
sang supir menghentikan mobil di pinggir hutan yang gelap dan sunyi. Mulanya
kupikir mobil mengalami kerusakan.Tapi ternyata aku keliru, rupanya sang supir
merasa sangat mengantuk sehingga memutuskan untuk tidur terlebih dahulu.
Entah apa yang ada dalam pikiran sang supir sehingga nekad berhenti
di tempat seperti ini. Bagaimana kalau tiba-tiba ada orang jahat yang kemudian
merampok kami?Apalagi saat ini sedang marak mobil maupun bis antar propinsi
yang dirampok ditengah jalan.Kalau mau tidur, kan bisa memilih tempat yang
ramai sehingga lebih aman.
Tapi semua protesku hanya bisa kusampaikan pada suamiku. Menurut
suamiku, biarlah dia beristirahat daripada membawa mobil dalam keadaan
mengantuk.Tentu akibatnya bisa lebih fatal.
Menyadari mobil tak lagi bergerak, satu persatu anakku mulai
bangun. Mereka mulai gelisah dan merasa tak nyaman karena hawa panas dan
sempitnya ruang gerak. Tiba-tiba bayi mungilku menangis kencang, segala upayaku
tak juga berhasil membuatnya diam. Suaranya yang melengking tentu saja sangat
menganggu.
Salah satu yang merasa terganggu adalah pak supir yang sedang tidur
dan tepat berada di bangku depanku. Akibatnya pak supir tidak bisa melanjutkan
tidurnya.Untungnya, karena dengan begitu mobil kembali melaju meski aku agak
ngeri karena sepertinya pak supir menjadi kesal karena tidurnya terganggu dan
melampiaskannya dengan melajukan mobil lebih kencang.
Seiring dengan lajunya mobil, ketiga anakku kembali melanjutkan
tidurnya.Termasuk bayi mungilku yang kembali anteng dalam pangkuanku. Semilir
angin yang berhembus dari jendela mobil yang tidak rapat serta guncangan mobil
membuat mereka nyenyak kembali.
Tentu saja, aku tegang banget sepanjang sisa perjalanan ini. Kembali doa dan dzikir dikencangin. Aduh Pak Supir, kayaknya dirimu enakan ikut balapan F1 aja deh. Kemungkinan menangnya besar lho......
Tentu saja, aku tegang banget sepanjang sisa perjalanan ini. Kembali doa dan dzikir dikencangin. Aduh Pak Supir, kayaknya dirimu enakan ikut balapan F1 aja deh. Kemungkinan menangnya besar lho......
Alhamdulillah, Sesuai perkiraan, kami tiba tepat waktu dengan selamat hingga di
depan rumah mertua.Usai membereskan barang dan membayar ongkos mobil kami pun
segera masuk ke rumah yang sudah ramai dipadati oleh saudara serta para
keponakan. Alhamdulillah, kami tetap bisa merasakan suasana lebaran meski harus
berjibaku terlebih dahulu.Alhamdulillah ala kulli hal.
Sst, mau tahu cerita-cerita seru lainnya seputar mudik. Dapatkan di sini, di buku ini....
Sst, mau tahu cerita-cerita seru lainnya seputar mudik. Dapatkan di sini, di buku ini....
8 Comments
ih ngeri sekali ya, aku mah pasti takut
BalasHapusSaya juga takut, Mba. Untung si kecil nangis kenceng jadi bapak supirnya terbangun.
HapusYa ampun, begitu sulitnya kisah mudikmu. Ke manakah kalian ini mudik? *sambil buka peta Sulawesi Selatan*
BalasHapusSoalnya salah perhitungan sih mba. Rencana mau naik bus tp ternyata full ya udah naik apa aja deh yg penting bisa mudik.
HapusDi buku itu ada kisah Mbah Haeriah juga? 😀
BalasHapusAda mba. Buku ini berisi kisah2 mudik dari beberapa penulis. Buku antologi.
HapusNgeri banget mbak ceritanya, alhamdulillah bisa sampai dengan selamat. Kalau aq mungkin uda jantungan
BalasHapusAlhamdulillah mba
HapusTerima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging