TAK ADA KASTA DALAM ISLAM

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Kamis, September 29, 2016

Suatu hari Fulan menemui suami saya. Fulan yang sehari-hari bekerja sebagai petani merupakan  salah seorang anggota jamaah organisasi dakwah tempat kami semua menimba ilmu agama secara lebih intensif. 


Alhamdulillah, si Fulan sudah siap untuk menikah. Bukan, Si Fulan bukan meminta izin menikah pada suami saya. (opini salah ini sering terdengar dan sepertinya memang dibesar-besarkan oleh orang yang tidak suka dakwah kami. Mereka mengatakan bahwa ikhwan/akhwan ngaji yang mau menikah harus minta izin ke ustadznya terlebih dahulu. Sebenarnya tugas seorang ustadz hanya memfasilitasi saja.)

Si Fulan sebelumnya telah mengutarakan maksudnya ke kedua orang tuanya. Setelah  orang tuanya setuju, saat itulah Fulan mendatangi ustadznya. Meminta bantuan dicarikan calon istri yang sekufu dan sefikrah. 

Bukannya Fulan tidak bisa mencari sendiri. Namun sebagaimana yang telah diatur oleh hukum pergaulan dalam islam, islam sangat membatasi hubungan antara pria dan wanita yang tidak mempunyai ikatan hubungan apapun. 

Alhamdulillah, Fulan termasuk salah satu 'lelaki langka' tersebut. Lelaki antimainstream. Lelaki yang sangat menjaga jarak dengan wanita lawan jenis. Lelaki yang lebih takut kepada Allah daripada memperturutkan hawa nafsunya. Lelaki yang mengharamkan tangannya menjamah perempuan hingga Allah menghalalkan baginya seorang perempuan sholihah.

Setelah pulang, suami pun menyampaikan maksud Fulan pada saya. Sebagai istri, saya yang senantiasa berinteraksi langsung dengan anggota jamaah perempuan. Sekadar info, selama memberikan pencerahan agama posisi jamaah laki-laki dan perempuan selalu dipisah. Dipisahnya benar-benar terpisah, bukan sekadar dibatasi kain sepundak bahkan sekadar tali rafia. Tak heran bila interaksi antara pria dan wanita sangat terbatas. Bahkan kami hanya saling mengetahui nama tanpa pernah tahu yang mana orangnya.

Saya pun mulai menyeleksi siapa kira-kira yang cocok sebagai pendamping Fulan. Kemudian tersebutlah satu nama. Nama itu kemudian saya rundingkan dengan suami. Klop.

Saya pun memanggil Nana (bukan nama sebenarnya). Mulanya semua berjalan lancar, secara umum Nana tidak mempermasalahkan apapun. Yang penting si Fulan sholih, bagus akhlaknya serta semangat menuntut ilmu. 

Permasalahan baru muncul ketika Nana mengetahui suku Fulan. Menurut Nana, suku Fulan dipandang sebagai "kasta" rendah dalam lingkungan masyarakat dan keluarganya. Kedua orang tua dan keluarga besarnya pasti tidak akan bisa menerimanya. 

Percuma kami kemudian menjelaskan betapa Islam tidak mengenal perbedaan kasta. Bukannya tidak ingin mendakwahkan keluarganya akan pandangan salah tersebut. Namun Nana merasa tidak sanggup bila kemudian orang tuanya dipandang rendah karena "salah" mengambil menantu. Nana pun memilih untuk mundur setelah memohon maaf yang sebesar-besarnya pada kami dan Fulan.

Alhamdulillah Fulan bisa menerima keputusan Nana dengan hati lapang. Fulan pun membenarkan kalau sukunya memang sering dipandang sebagai "kasta" rendahan. Fulan tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.

"Bukan jodoh saya, Ustadz"  ucap Fulan tenang. Pembawaan Fulan memang  tenang dan tidak banyak bicara. (sst, saya mengetahui semua ini dari suami bukan hasil investigasiku lho)

Kami pun tidak putus asa. Biografi Fulan kemudian kami sodorkan ke akhwat yang lain. Kali ini suami mengusulkan Fulanah. Fulanah adalah sarjana lulusan universitas negeri di ibukota propinsi. Secara ekonomi, keluarga Fulanan tergolong keluarga berada dan berpendidikan. Ayahnya seorang PNS serta ibunya seorang kepala sekolah.

"Kalau ustadz dan ummi merasa ikhwan itu pantas untuk saya, saya insya Allah siap..." jawab Fulanah lugas.

Masya Allah, saya yang semula ragu menjadi terharu. Suami yang sejak awal yakin dengan jawaban Fulanah semakin mantap. Sejak pertama kali bergabung dengan jamaah, suami sudah bisa menebak sifat dan kepribadian Fulanah, termasuk satu persatu "anak-anaknya" (para jamaah perempuan kebanyakan masih kuliah sehingga telah menganggap saya dan suami sebagai orang tua kedua mereka).   

Bagaimana tidak terharu, secara tingkat sosial serta pendidikan Fulan dan Fulanah cukup jauh berbeda. Namun Fulanah bisa menerima semua itu. Bagi Fulanah, keimanan seseorang lebih tinggi dan utama dari apapun.

Bagaimana dengan orang tua Fulanah? Alhamdulillah, mereka senantiasa mendukung apapun pilihan anaknya termasuk dalam urusan perjodohan ini. Bagi mereka, kebahagiaan anak-anak lebih utama. Yang penting anak-anaknya bisa dan bertanggung jawab dengan pilihannya masing-masing. 

Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Termasuk kami sukses menyelenggarakan pesta pernikahan, walimatul arsy yang benar-benar syar'i. Kedua pengantin serta para tetamu dipisah. Tak ada foto-foto, tak ada musik bahkan sekadar nasyid (sebenarnya nasyid dibolehkan untuk pesta pernikahan hanya saja saat itu entah mengapa sound system yang telah disiapkan tiba-tiba ngadat gak jelas)

Tentu saja, bisik-bisik tetangga masih terdengar sesekali. Dimaklumi saja, bukankah konsep pernikahan syar'i memang masih terasa asing (terutama saat itu). Ditambah lagi, biasanya pesta pernikahan full musik, setidaknya musik dangdut yang membisingkan alam sekitar. 

BAAAROKALLOOHU LAKA WA BAAROKA 'ALAIKA WA JAMA'A BAINAKUMAA FIII KHOIRIN

Mudah-mudahan Allah memberkahi engkau dalam segala hal (yang baik) dan mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan 


Alhamdulillah, kini dalam pernikahan mereka telah hadir  anak-anak yang sholih dan sholihah, insya Allah. 
Semoga bahagia dan berkah selamanya, dunia dan akhirat. Aamiin














  • Share:

You Might Also Like

3 Comments

  1. MasyaAllah seneng denger berita baiknya Mbak. Ikut bahagia dan ngucapin barakallah juga ya Mbak. :). Ah ya, Mbak Haeriah ini mukim di Malaysia ya Mbak ternyata?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, ternyata Allah menyimpan takdir yang lain untuk si Fulan. Iya mba, saya di Malaysia, di Terengganu tepatnya

      Hapus
  2. Semoga semakin banyak lelaki seperti Fulan :')

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging