Saudariku muslimah yang dirahmati Allah, sesungguhnya
Allah ta‘ala berfirman
“Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid. Makan dan
minumlah, tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS.
Al-A‘raaf, 7: 31).
Dari ayat di atas, tampaklah bahwa kebolehan untuk
berhias ada pada laki-laki dan wanita. Namun ketahuilah saudariku, ada sisi
perbedaan pada hukum sesuatu yang digunakan untuk berhias dan keadaan berhias
antara kedua kaum tersebut. Dalam bahasan ini, kita hanya mendiskusikan tentang
kaidah berhias bagi wanita.
Larangan Tabarruj
Adapun kaidah pertama yang harus diperhatikan bagi
wanita yang hendak berhias adalah hendaknya ia menghindari perbuatan tabarruj. Tabarruj secara bahasa diambil dari kata al-burj (bintang,
sesuatu yang terang, dan tampak). Di antara maknanya adalah berlebihan dalam
menampakkan perhiasan dan kecantikan, seperti: kepala, wajah, leher, dada,
lengan, betis, dan anggota tubuh lainnya, atau menampakkan perhiasan tambahan.
Imam asy-Syaukani berkata, “At-Tabarruj adalah
dengan seorang wanita menampakkan sebagian dari perhiasan dan kecantikannya
yang (seharusnya) wajib untuk ditutupinya, yang mana dapat memancing syahwat
(hasrat) laki-laki” (Fathul Qadiir karya
asy- Syaukani).
Allah ta‘ala berfirman (yang
artinya),
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa‘di ketika menafsirkan ayat
di atas, beliau berkata, “Arti ayat ini: janganlah kalian (wahai para wanita)
sering keluar rumah dengan berhias atau memakai wewangian, sebagaimana
kebiasaan wanita-wanita jahiliyah yang dahulu, mereka tidak memiliki
pengetahuan (agama) dan iman. Semua ini dalam rangka mencegah keburukan (bagi
kaum wanita) dan sebab-sebabnya” (Taisiirul Kariimir Rahmaan karya Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa‘di).
Memperhatikan Masalah Aurat
Kaidah kedua yang hendaknya engkau perhatikan wahai
saudariku, seorang wanita yang berhias hendaknya ia paham mana anggota tubuhnya
yang termasuk aurat dan mana yang bukan. Aurat sendiri adalah celah dan cela
pada sesuatu, atau setiap hal yang butuh ditutup, atau setiap apa yang dirasa
memalukan apabila nampak, atau apa yang ditutupi oleh manusia karena malu, atau
ia juga berarti kemaluan itu sendiri (al-Mu‘jamul Wasith).
Lalu, mana saja anggota tubuh wanita yang termasuk
aurat? Pada asalnya secara umum wanita itu adalah aurat, sebagaimana disebutkan
dalam sebuah hadits yang artinya,
“Wanita
itu aurat, apabila ia keluar (dari rumahnya) setan senantiasa mengintainya” (HR Tirmidzi, dinilai shahih oleh
al-Albani).
Namun terdapat perincian terkait aurat wanita ketika ia
di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, di hadapan wanita lain, atau di
hadapan mahramnya.
Adapun aurat wanita di hadapan laki-laki yang bukan
mahram adalah seluruh tubuhnya. Hal ini sudah merupakan ijma‘ (kesepakatan)
para ulama. Hanya saja terdapat perbedaan pendapat diantara ulama terkait
apakah wajah dan kedua telapak tangan termasuk aurat jika di hadapan laki-laki
non mahram.
Sedangkan aurat wanita di hadapan wanita lain adalah
anggota-anggota tubuh yang biasa diberi perhiasan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya
“Tidak
boleh seorang pria melihat aurat pria lainnya, dan tidak boleh seorang wanita
melihat aurat wanita lainnya” (Hadits
shahih Riwayat Muslim, dari Abu Sa‘id al-Khudriy radhiyallaahu ‘anhu).
Syaikh al-Albani mengatakan, “Sedangkan perempuan
muslimah di hadapan sesama perempuan muslimah maka perempuan adalah aurat
kecuali bagian tubuhnya yang biasa diberi perhiasan. Yaitu kepala, telinga,
leher, bagian atas dada yang biasa diberi kalung, hasta dengan sedikit lengan
atas yang biasa diberi hiasan lengan, telapak kaki, dan bagian bawah betis yang
biasa diberi gelang kaki. Sedangkan bagian tubuh yang lain adalah aurat, tidak
boleh bagi seorang muslimah demikian pula mahram dari seorang perempuan untuk
melihat bagian-bagian tubuh di atas dan tidak boleh bagi perempuan tersebut
untuk menampakkannya.”
Adapun tentang batasan aurat seorang wanita di hadapan
mahramnya, secara garis besar ada dua pendapat ulama yang masyhur (populer)
tentang batasan ini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa aurat wanita di
hadapan laki-laki mahramnya adalah antara pusar hingga lutut. Sedangkan
pendapat kedua mengatakan, bahwa aurat wanita di hadapan laki-laki mahramnya
adalah sama dengan aurat wanita di hadapan wanita lain, yakni semua bagian
tubuh kecuali yang biasa diberi perhiasan.
Penulis mencukupkan diri dengan pendapat yang lebih rajih (kuat)
dari Syaikh al-Albani bahwa aurat wanita di hadapan laki-laki mahramnya adalah
sama sebagaimana aurat wanita di hadapan wanita lain, yakni seluruh tubuhnya
kecuali bagian-bagian yang biasa diberi perhiasan.
Dalilnya adalah firman Allah ta‘ala yang
artinya
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang biasa nampak padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dadanya, dan janganlah mereka menampakka perhiasannya, kecuali
kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra
mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara lelaki mereka atau
putra-putra saudara perempuan mereka,atau wanita-wanita mereka, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita.’” (QS.
An-Nuur, 24: 31).
Allahu a‘lam.
Adapun untuk aurat wanita (istri) di hadapan suaminya,
maka ulama sepakat bahwa tidak ada aurat antara seorang istri dan suami. Dalilnya
adalah firman Allah ta‘ala
“Dan
orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka
atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tidak tercela.” (QS.
Al-Ma‘aarij, 70: 29-30)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang suami
dihalalkan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar memandangi perhiasan
istrinya, yaitu menyentuh dan mendatangi istrinya. Jika seorang suami
dihalalkan untuk menikmati perhiasan dan keindahan istrinya, maka apalagi hanya
sekedar melihat dan menyentuh tubuh istrinya.
Memperhatikan Cara Berhias yang Dilarang
Maka jika sudah tak ada lagi aurat antara suami dan
istri, hendaknya seorang wanita (istri) berhias semenarik mungkin di hadapan
suaminya. Seorang istri hendaknya berhias untuk suaminya dalam batasan-batasan
yang disyari‘atkan. Karena setiap kali si istri berhias untuk tampil indah di hadapan
suaminya, jelas hal itu akan lebih mengundang kecintaan suaminya kepadanya dan
akan lebih merekatkan hubungan antara keduanya.
Hal ini termasuk diantara tujuan syari‘at. Bukankah
salah satu ciri istri yang baik adalah yang menyenangkan ketika dipandang,
wahai saudariku? Adapun bentuk-bentuk berhiasnya bisa dengan bermacam-macam.
Mulai dari menjaga kebersihan badan, menyisir rambut, mengenakan wewangian,
mengenakan baju yang menarik, mencukur bulu kemaluan, dll.
Namun yang hendaknya dicamkan seorang istri adalah
hendaknya ia berhias dengan sesuatu yang hukumnya mubah (bukan dari bahan yang
haram) dan tidak memudharatkan. Tidak diperbolehkan pula untuk berhias dengan
cara yang dilarang oleh Islam, yaitu:
Menyambung rambut (al-washl)Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah
melaknat penyambung rambut dan orang yang minta disambung rambutnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Menato tubuh (al-wasim), mencukur alis (an-namsh), dan mengikir
gigi (at-taflij)Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah
melaknat orang yang menato dan wanita yang minta ditato, wanita yang
menyambung rambutnya (dengan rambut palsu), yang mencukur alis dan yang
minta dicukur, serta wanita yang meregangkan (mengikir) giginya untuk
kecantikan, yang merubah ciptaan Allah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Mengenakan wewangian bukan untuk suaminya
(ketika keluar rumah)Baginda nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap
wanita yang menggunakan wewangian, kemudian ia keluar dan melewati
sekelompok manusia agar mereka dapat mencium bau harumnya, maka ia adalah
seorang pezina, dan setiap mata itu adalah pezina.” (Riwayat Ahmad, an-Nasa’i, dan
al-Hakim dari jalan Abu Musa al-Asy‘ari radhiyallahu ‘anhu)
Memanjangkan kukuNabi
kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang
termasuk fitrah manusia itu ada lima (yaitu): khitan, mencukur bulu
kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
Berhias menyerupai kaum lelaki“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupakan diri
seperti wanita dan melaknat wanita yang menyerupakan diri seperti
laki-laki.” (Riwayat
Bukhari). Hadits ini dinilai shahih oleh at-Tirmidzi.
Wahai Saudariku, sungguh Allah ta‘ala yang
mensyari‘atkan hukum-hukum dalam Islam lebih mengetahui segala sesuatu yang
mendatangkan kebaikan bagi para hamba-Nya dan Dia-lah yang mensyari‘atkan bagi
mereka hukum-hukum agama yang sangat sesuai dengan kondisi mereka di setiap
zaman dan tempat. Maka, sudah sepantasnya bagi kita wanita muslimah untuk taat
lagi tunduk kepada syari‘at Allah, termasuk di dalamnya aturan untuk berhias.
***
Artikel Buletin Zuhairah
Penulis: Nurul Dwi Sabtia S.IP
Murajaah: Ustadz Adika Minaoki
Penulis: Nurul Dwi Sabtia S.IP
Murajaah: Ustadz Adika Minaoki
Maraji’:
- Al-Albani, Syaikh Muhammad
Nashiruddin. Adaab
az-Zifaaf [Terj]. Media
Hidayah.
- Majmu‘ah Minal ‘Ulama. Fatwa-Fatwa
Tentang Wanita. Darul
Haq.
- Syabir,Dr. Muhammad Utsman. Fiqh
Kecantikan. Pustaka
at-Tibyan.
- Razzaq, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir. Panduan
Lengkap Nikah dari “A” Sampai “Z”. Pustaka Ibnu Katsir.
- Al-‘Utsaimin,Syaikh Muhammad. Shahih Fikih Wanita. Akbar Media.
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging