Kupandangi wajah tirus yang ada di hadapanku. Sedetik, ada rasa kasihan merayapiku. Namun, kuteguhkan kembali hatiku. Tidak, aku harus bisa bersikap tegas pada perempuan yang usianya hanya terpaut beberapa bulan lebih muda dariku.
"Mengapa memilih berpisah? Kasihan Sydney, dia akan kehilangan sosok ayahnya. Terlebih, Sydney makin besar dan sebentar lagi akan tumbuh menjadi gadis remaja." Untuk kesekian kalinya aku mencoba memberikan alasan agar Arumi, perempuan berwajah tirus itu, tidak nekad dengan keputusannya.
Ya, Arumi nekad mengajukan gugatan cerai kepada suaminya, Endra. Keputusan yang sangat mengejutkanku karena yang kutahu selama ini rumah tangga mereka baik-baik saja. Yah, meski sesekali terlihat riak yang muncul di permukaan. Namun, menurutku, itu bukan alasan untuk menghentikan bahtera rumah tangga mereka.
"Saya sudah bicara dengan Sydney. Anak itu menyerahkan keputusan sepenuhnya kepadaku. Bagaimanapun, dia lebih memilih kedua orang tuanya berpisah baik-baik daripada kami terus-menerus bertengkar setiap kali Kang Endra pulang ke rumah." Jelas Arumi menjawab tanyaku tadi.
Arumi dan Endra memang menjalani pernikahan mereka dengan MDR, Marriage Distance Relation. Sebenarnya, sudah beberapa kali Endra meminta Arumi agar ikut ke Jambi, kampung halamannya. Di sana ada keluarga besar Endra sehingga mereka tidak harus menyendiri di tanah rantau, tempat tinggal Arumi saat ini.
Namun, Arumi menolak permintaan itu. Bukan hanya karena di kota ini Arumi memiliki pekerjaan yang sangat menjanjikan. Namun, selama ini Endra tak sedikit pun menunjukkan sikapnya sebagai seorang kepala keluarga yang baik. Kehidupan keluarga kecil mereka ditopang oleh usaha rumah makan Arumi yang makin hari makin pesat kemajuannya.
Karenanya, boleh dibilang kebutuhan keluarga kecil itu sepenuhnya ditanggung Arumi. Yah, Endra tak punya pekerjaan tetap. Saat berada di tanah rantau, Endra akan mengerahkan tenaganya untuk membantu Arumi mengelola rumah makan mereka. Dari sanalah, Arumi akan mengupahnya layaknya upah yang diberikan kepada karyawan Arumi lainnya.
Jika upah sudah dirasa cukup, Endra akan kembali ke Jambi. Membantu perekonomian keluarganya di sana yang hidup pas-pasan. Tentu saja, sesekali Arumi menitipkan bantuan untuk keluarga suaminya.
Lalu, dengan kondisi demikian, bagaimana Arumi bisa hidup di sana? Kata Endra, keluarganya bersedia membantu mereka sekiranya mereka kembali ke Jambi. Tentu saja, Arumi menolak mentah-mentah hal tersebut. Meninggalkan tanah rantau dengan usaha yang menjanjikan, lalu menetap di kampung bersama keluarga dan menjadi beban mereka? Hohoho, tentu Arumi tidak bisa dan tidak mau.
"Saya masih bisa bekerja, Kedua tanganku masih bisa menghasilkan uang yang cukup demi menghidupi kami sekeluarga. Syaratnya hanya satu, jangan minta saya meninggalkan kota ini. Di sini hidupku, di sini mata pencaharianku, dan di sini masa depan yang cerah untuk anakku, Sydney." Demikian alasan yang selalu diulang-ulang Arumi setiap kali Endra mengajaknya pulang. Alasan yang juga diutarakannya kepadaku setiap kali aku bertanya mengapa ia enggan meninggalkan kota ini.
"Mengapa tidak memperbaiki hubungan kalian saja, bukankah itu lebih baik daripada harus berpisah? Toh, selama tujuh tahun kamu bisa menerima keadaan ini. Lalu, mengapa tidak bisa bersabar untuk selanjutnya. Setidaknya, hingga Sydney lebih besar lagi ... " aku berusaha membujuk. Setidaknya, aku masih mempunyai waktu untuk menyelamatkan rumah tangga Arumi, teman SMA-ku meski kami tak pernah satu kelas. Namun, kami saling mengenal.
"Bulik Tinem sudah tahu hal ini?" aku menyebut nama ibu Arumi di kampung.
"Keluarga di kampung semuanya sudah tahu. Mereka menyerahkan keputusan kepadaku. Apa pun itu, saya sudah bukan anak kecil lagi ...."
Kami kemudian diam. Kulihat Arumi meremas kedua tangannya silih berganti. Suasana mendadak kaku. Untungnya, kebekuan kami dicairkan dengan suara salam. Arumi bergegas keluar, menyambut Sydney yang baru pulang sekolah.
"Sydney, mana?" tanyaku ketika Arumi kembali mendatangiku di kamar.
"Ke rumah Mba Faridah, tetangga sebelah. Sydney memang lebih senang berada di sana. Apalagi Audrey, anak Mba Faridah baru saja membeli mainan baru. Sejak kemarin, Sydney berada di sana." jelas Arumi.
Mba Faridah adalah tetangga Arumi yang sudah seperti keluarga sendiri. Arumi bukanlah penduduk asli kota ini. Ia adalah pendatang dan keluarga Mba Faridah lah menjadi penolongnya di kota ini.
Sejak itu, hubungan Arumi dengan keluarga Mba Faridah makin dekat. Apalagi, Arumi sempat menjadi pengasuh anak-anak Mba Faridah sebelum menikah dengan Endra dan membuka usaha kulinernya yang dahulu dirintis dengan berjualan di pinggir jalan.
"Novel apa, ini?' tanyaku usai Arumi mengangsurkan dua novel dewasa kepadaku. Aku Cinta Padamu dan Asmara Dinda.
"Wow ... abegeh bangets. Bacaan anak muda zaman now ... " seruku tanpa sadar. Terus terang, di usia seperti ini, rasanya novel-novel picisan ini tidak lagi sesuai untuk kami. Kami bukan abegeh yang lagi jatuh cinta. Ups, jangan-jangan.
"Hadiah ulang tahunku, sebulan yang lalu." Tanpa diminta Arumi menjelaskan asal muasal novel tersebut. Tiba-tiba, aku merasa ada yang aneh dengan Arumi. Wajahnya tak lagi lelah, malah ia terlihat bersemangat. Dan, hei ... wajahnya bersemu merah.
"Hadiah dari siapa? Endra?"
Arumi terlihat kesal ketika aku menyebut nama itu.
"Bukan, dari teman!"
"Wuih, teman apa teman ... " lagi-lagi aku keceplosan. Tanpa sadar aku melontarkan godaan yang entah mengapa tiba-tiba saja tercetus dari mulutku. Dua buah novel roman picisan hadiah ulang tahun dari seorang teman, bukan hadiah dari Endra.
"Temanmu, perempuan?"
"Bukan, laki-laki ... "
Lalu, meluncurlah sebuah kisah yang menurut penciumanku ada aura asmara di sana.
Namanya Bahtiar. Arumi berkenalan dengannya lewat media sosial setahun yang lalu. Hubungan keduanya makin akrab ketika Bahtiar sengaja datang ke kota ini dan bertemu langsung dengan Rahmi. Kopdar, ceritanya.
Kepada Bahtiar, Rahmi telah menceritakan semuanya. Tentang siapa dirinya, pekerjaannya, keluarganya, termasuk tentang keretakan hubungannya dengan Endra.
Kepada Arumi, Bahtiar juga telah menceritakan semuanya. Tentang siapa dirinya, pekerjaannya, keluarganya, termasuk perceraiannya sepuluh tahun yang lalu dan kedua anaknya yang telah dewasa.
"Kamu menyukainya? Kamu .... selingkuh?" kupaksa mengeluarkan suara yang rasanya mencekik leherku.
"Tentu tidak. Aku tidak segila itu. Kami hanya bersahabat, tidak lebih ... " Arumi menjawab dengan cepat.
"Tapi ..."
"Oke, saya tidak akan menyalahkanmu karena berpikir demikian. Terserah, kamu percaya atau tidak. Namun, kehadiran Bahtiar tidak ada hubungannya dengan keputusanku untuk bercerai dari Endra. Saya perempuan normal. Saya juga butuh diperhatikan, butuh kasih sayang, butuh ... cinta."
Tanpa diminta, Arumi kemudian mengungkapkan apa selama ini tak pernah aku pikirkan. Rupanya, sudah lebih dari lima tahun Rahmi tak mendapatkan nafkah batin dari suaminya. Satu penyakit yang bersarang di tubuhnya sehingga membuat Endra tak bisa menunaikan tugasnya sebagai seorang suami.
Lengkaplah sudah, tak ada nafkah lahir dan batin. Mungkin, inilah yang membuat Arumi begitu ngotot untuk meminta berpisah. Apalagi, kehadiran sosok baru, mau tidak mau telah menghadirkan rasa berbunga-bunga di hatinya. Mengusik kedahagaannya akan kasih sayang seorang suami yang telah lama tak dirasakannya.
Aku pun kelu mendengar semuanya.
*
Pagi itu aku pulang dengan hati yang basah setelah diberi kesempatan menginap selama dua hari di rumah Arumi oleh suamiku. Kueratkan pelukan terakhirku sebelum memaksa tubuhku memasuki mobil. Buru-buru kuhapus setitik air yang telanjur jatuh agar tak terlihat Bang Arkan yang berada di sebelahku.
"Kami pamit ya, Arumi. Terima kasih sudah memberi tumpangan untuk istriku yang cantik ini. Jangan kapok, ya, karena besok-besok dia bakalan datang lagi. Kasihan, temannya di kota ini hanya kamu." Seperti biasa, Bang Arkan senantiasa hadir dengan candaannya. Selama dua hari Bang Arkan mengikuti pelatihan di kota tempat Arumi berada. Dan, aku lebih memilih berada di rumah Arumi daripada di hotel.
"Gak kapok, lha. Saya senang, malah. Ada teman curhat dan sharing ... " balas Arumi yang kemudian mengerling kepadaku.
Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya. Dan, ketika mobil mulai melaju pelan, aku pun melambaikan tangan pada Arumi dan Sydney yang berdiri di depan pagar melepas kami.
*
Dan, kesibukan mengurus buah hati membuatku melupakan kisah Rahmi. Hingga, aku menemukan fotonya bersama laki-laki lain di akun media sosial miliknya.
"Selamat, ya, pengantin baru ... " demikian komen-komen yang kemudian bermunculan di status tersebut.
Saat itulah, aku baru tersadar kalau ternyata Rahmi sangat serius dengan ucapannya waktu itu.
"Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama'a baynakuma fii khayr." Mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik ketika senang maupun susah dan mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan.
Hanya itu yang bisa aku panjatkan untuk kebahagiaan sahabatku. Semoga bahtera kedua yang dibangunnya ini akan abadi hingga kelak di Jannah-Nya. Aamiin.
"Selamat, ya, pengantin baru ... " demikian komen-komen yang kemudian bermunculan di status tersebut.
Saat itulah, aku baru tersadar kalau ternyata Rahmi sangat serius dengan ucapannya waktu itu.
"Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama'a baynakuma fii khayr." Mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik ketika senang maupun susah dan mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan.
Hanya itu yang bisa aku panjatkan untuk kebahagiaan sahabatku. Semoga bahtera kedua yang dibangunnya ini akan abadi hingga kelak di Jannah-Nya. Aamiin.
***
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging