Hari
ied telah tiba, iedul adha 1436 H kali ini jatuh bertepatan pada hari kamis
tanggal 24 September 2015. Meski tidak
semeriah dan seheboh iedul fitri namun tetap saja hari raya umat islam tersebut
disambut dengan gembira. Namanya juga hari raya, hari bergembira. Apalagi umat
islam hanya mengenal dua hari raya, iedul fithri dan iedul adha.
Kegembiraan
juga dirasakan oleh kami sekeluarga, terutama anak-anak, tak terkecuali putriku yang paling kecil, Hilyah (2,7 th). Usut
punya usut ternyata yang paling membuatnya bahagia adalah……balon. Rupanya
Hilyah masih mengingat bahwa saat kami shalat iedul fitri di jalanan depan
rumah banyak penjual balon yang melintas. Waktu itu aku sempat membeli dua buah
balon untuknya.
“Balon..balon,
mauka saya balon…” celotehnya tak putus-putus. Kedua kakaknya, Nunu dan Awa
juga terus memprovokasi adiknya agar minta dibelikan balon. Hm, jangan-jangan
kedua kakaknya yang sebenarnya mengingatkan Hilyah akan balon.
Dan
tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Dengan mengenakan busana muslim serba pink sebagaimana
yang dipakai saat iedul fitri kemarin, aku dan ketiga putriku berangkat menuju ruas
jalan Rappocini Raya yang dijadikan tempat penyelenggaraan shalat ied bagi kami
yang berada di kawasan seputar Masjid Dakwatul Khaer.
“Balon…balon.
Itu adami penjual balon” ups baru juga keluar dari lorong dan belum menggelar
tikar untuk tempat shalat tapi ketiga putriku sudah mulai kasak kusuk melihat
penjual balon.
“Sebentar
beli balonnya. Cariki dulu tempat shalat” ucapku menenangkan mereka.
Ketiganya
menurut. “Good girls” bisikku dalam hati melihat kepatuhan mereka. Lucu juga
melihat mereka kemudian memilih tempat duduk dan membantuku menghamparkan
karpet hijau untuk tempat shalat kami.
“Ok
semua beres, sekarang balon….”
Hahaha,
rupanya balon tak pernah dilupakan. Kebetulan dua shaf di depan kami ada
seorang ibu separuh baya yang berjualan balon. Si ibu itu mengenakan mukena dan
sarungnya. Sepertinya si ibu baru kali ini berjualan di sini karena selama aku
dan keluarga shalat ied di tempat ini baru kali ini aku melihatnya. Biasanya yang
berjualan adalah anak-anak muda laki-laki.
“10
ribu” ucap ibu itu dengan ramah pada beberapa anak yang mendekatinya. Tentu saja mereka hendak membeli
balon, hehehe
Surprise
mendengarnya. Pelaksanaan shalat ied masih lama, jamaah juga belum padat karena
masih banyak tempat yang kosong tapi si ibu telah menjualnya dengan harga
normal. Pengalaman iedul fitri yang lalu, para penjual balon menaikkan harga
balonnya menjadi 15 ribu di saat seperti ini. Dan harga kembali normal saat
khatib telah berkhutbah dan para jamaah bersiap-siap kembali ke rumah.
Dengan
harga normal tersebut, tentu saja dagangan si ibu cukup laris manis. Sementara telingaku
sempat menangkap kalau harga balon yang dijual para penjual balon lainnya untuk
sementara tetap bertahan di angka 15 ribu. Cara berdagang si ibu tadi membuatku
salut. Beliau tidak mempermainkan harga pasar meski permintaan sedang
banyak-banyaknya sebagaimana yang dilakukan para pedagang lain. Padahal bisa
saja ia ikut menaikkan harga jual demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
(Ups, kok malah jadi pengamat ekonomi sih. Hehehe, maklum si emak baik hati ini
dulu kan pedagang juga…)
Untuk
menenangkan si kecil Hilyah yang sudah tidak sabar ingin segera memiliki salah
satu balon jualan si ibu itu, iseng-iseng aku memintanya memilih kira-kira
balon mana yang disukainya. Berhasil, Hilyah mulai tenang namun yang rebut malah
kedua kakaknya. Keduanya saling mempengaruhi Hilyah agar memilih sesuai pilihan
mereka.
Mula-mula
Hilyah menurut. Pilihan pertamanya jatuh pada balon bermotif Puteri Aurora
sesuai pilihan Nusaibah. Tapi kemudian ia beralih pada balon bermotif Angry
Bird sesuai pilihan Khaulah. Namun akhirnya, Hilyah ngotot dengan pilihannya
sendiri. Balon berbentuk sapi. Tak dihirakaunnya bujuk dan rayu kedua kakaknya
agar mengubah pilihan. Hilyah tetap keukeuh memilih sapi. Mungkin biar matching
dengan iedul adha, hehehe.
Usai
melayani seluruh pembelinya, ibu kemudian berjalan ke belakang, ke arah kami. Dengan
raut wajah keletihan, si ibu berusaha untuk tetap tersenyum. Langkahnya terseok-seok,
ia seperti kepayahan membawa balon yang cukup banyak. Aku mendadak trenyuh. Diam-diam
sejumput doa terukir semoga jualan si ibu membawa berkah. Jualannya habis
sehingga si ibu bisa ikut merasakan kebahagiaan di hari raya ini.
“Iye
10 ribu ji, Nak. Yang mana kita mau? Sapi? Sebentar saya ambilkanki…” dengan
jelas kudengar si ibu melayani putriku Khaulah yang mewakili adiknya membeli
sebuah balon.
Si
ibu sempat melemparkan seulas senyum padaku saat melewati shafku menuju pembeli
lainnya yang ada di belakangku. Entahlah, mungkin si ibu itu tahu kalau
diam-diam aku memperhatikannya.
Tak
berapa lama kemudian si ibu yang telah berada dua shaf di belakangku terlihat
gelisah. Beberapa kali ia maju mundur cantik dan sepertinya hendak menuju ke
suatu tempat. Rupanya si ibu berniat mengambil tasnya yang berada di bagian
shaf depan karena sebentar lagi shalat ied akan dimulai. Untung ada salah seorang
ibu yang bersedia dititipi balon jualannya sementara si ibu mengambil
barangnya.
“Nakkepa
pa’baluna” ibu yang dititipi itu terkekeh sembari mendekatkan balon jualan si
ibu yang kini tersisa sedikit ke dekat tempat shalatnya.
Setelah
itu aku tak lagi memperhatikan si ibu penjual balon. Waktu shalat sudah tiba. Jadi
aku harus merapikan tempat shalatku dan berusaha menenangkan Hilyah yang
mendadak gelisah melihat orang-orang di sekitarnya satu persatu berdiri dan
mengambil posisi shalat.
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging