Satu Kisah Tentang Verni

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Rabu, Desember 06, 2023

 

Alhamdulillah, sampai di titik ini saya masih tetap bergelut di dunia tulis-menulis. Meski kini lebih banyak bermain di dunia sunting-menyunting, menulis tetap kulakukan. Bagaimanapun, saya telanjur bucin banget dengan aktivitas tersebut.

 

Berbicara tentang dunia kepenulisan, saya tak pernah bisa melupakan sosok yang telah mengenalkanku dengan dunia ini. Dialah Verni Sindara, satu nama dan rupa ini takkan pernah bisa saya lupakan seumur hidupku. Gadis kecil berwajah cantik, berkulit putih, berambut lurus sebahu dengan karakter yang senantiasa hangat dan memotivasi.

 

Kami dahulu sekelas selama bersekolah di SD Mattoanging 1, sekolahku dulu. Sayangnya, sejak menyelesaikan sekolah di SD yang jaraknya cukup dekat dari rumahku itu, saya tak pernah lagi mendengar atau mengetahui kabar Verni.

 

Oh ya, kata adikku, beberapa tahun yang lalu ada seseorang yang mengaku bernama Verni dan mengaku sebagai teman SD-ku yang datang ke rumah dan mencariku. Sayangnya, saat itu saya  tidak menetap di Makassar dan adikku tidak meminta nomor ponsel Verni sehingga saya bisa menghubunginya nanti.

 

Zaman sjekolah dahulu, Verni suka dan pandai membuat puisi.  Sudah beberapa kali puisinya dimuat di Harian Pedoman Rakyat (PR), koran lokal kotaku yang sayangnya saat ini sudah tidak lagi terbit.

 Baca Juga: 

Kecintaan Verni pada puisi kemudian coba ditularkannya kepada kami, kawan sekelasnya. Banyak yang antusias, terlebih ketika mengetahui kalau satu puisi yang dimuat dihargai lima ratus rupiah.

*Duit segitu cukup banyak loh untuk anak SD dengan rata-rata uang jajan seratus rupiah per hari.

 

Maka jadilah kami mempunyai kesibukan sendiri. Setiap hari kami berusaha membuat puisi dengan bimbingan seadanya dari Verni. Bukan hanya itu, Verni juga selalu mengajak kami mendatangi kantor redaksi koran PR untuk membawa langsung hasil tulisan kami.

 

Pekan pertama, jumlah kami cukup banyak. Dengan berjalan kaki sepulang sekolah, saya, Verni serta beberapa orang teman menapaki sepanjang jalan Cendrawasih (sekarang diganti Namanya menjadi Jalan Opu Dg Risaju). Jarak antara sekolah kami dengan kantor redaksi koran tersebut sekitar 1,5 km.

 

Jauh?

Capek?

Semuanya itu tertutupi dengan keriangan kami. Sepanjang jalan kami bercanda sehingga tak terasa langkah-langkah mungil kami akhirnya sampai juga di kantor bercat putih tersebut.

 Baca Juga: 

Selepas menitipkan hasil karya kami lewat Pak Satpam yang berjaga, biasanya kami tidak langsung pulang. Kami mampir terlebih dahulu di toko buku yang berada di lantai bawah dan masih satu areal dengan kantor redaksi. Sayangnya, kami jarang membeli buku (gak ada duit, he-he-he). Kami hanya  melihat-lihat koleksi buku sembari mencuri-curi baca sebelum ditegur pegawai toko buku.

 

Kegiatan tersebut rutin kami jalani.  Setiap hari Kamis, saya dan teman-teman menyiapkan puisi-puisi terbaik kami. Suasana kelas mendadak bak ruangan workshop pelatihan puisi. Setiap puisi yang selesai kami buat, diseleksi oleh Verni sebelum dimasukkan ke amplop. Verni senantiasa memeriksa apakah di karya tersebut sudah tercantum nama, sekolah, serta kelas penulisnya.

 

Setelah semua beres, amplop-amplop tersebut disatukan untuk dibawa langsung ke kantor redaksi PR. Biasanya Verni membawa amplop-amplop tersebut sepulang sekolah atau paling lambat hari Jumat, keesokan harinya.  

 

Dan, kerja keras tersebut terbayar di hari Senin. Setiap hari Senin, Verni akan membawa koran hari Ahad (rubrik puisi anak hanya terbit di hari Ahad) dan membagikan kabar gembira tentang puisi siapa saja yang berhasil dimuat.

 

Tentu saja, puisi Verni yang paling sering dimuat. Puisi teman-teman yang lain hanya sesekali dimuat. Lalu, bagaimana denganku? Meski saya paling sering membuat puisi dan  paling sering menemani Verni ke kantor redaksi koran tersebut (terkadang malah kami hanya berdua karena teman-teman yang lain lebih sering menitipkan karyanya karena tidak mau ke kantor tersebut dengan berbagai alasan), tetapi tak satu pun puisiku dimuat.

 

"Sabar, kita bikin yang lebih bagus lagi ya. Suatu hari nanti pasti dimuat kok ...." Verni terus menyemangati di tengah-tengah kegembiraannya maupun kegembiraan teman yang puisinya berhasil dimuat di koran.

 

Namun, semangat itu akhirnya pupus juga. Setelah setahun lebih berjuang demi menghasilkan puisi-puisi terbaik, saya pun menyerah. Saya tak mau membuat puisi lagi. Sudahlah, saya tidak berbakat membuat puisi.

 

Verni pun kehilangan satu-satunya teman yang selama ini masih setia menemaninya menapaki sepanjang Jalan Cendrawasih.

 

Namun, saya tidak peduli. Sama tidak pedulinya dengan semua bujukan Verni agar saya mau membuat puisi lagi. Saya pun mencoba melupakan semuanya. Melupakan keinginanku melihat karyaku dimuat di koran, melupakan keinginan merasakan nikmatnya honor pemuatan, dan melupakan diberi ucapan selamat dari teman-teman.

 

Namun, apakah benar saya melupakan semuanya? Ternyata tidak. Dan saya harus mengucapkan beribu-ribu terima kasih pada Verni setelah beberapa tahun kemudian.

 

Saat saya kembali mulai menulis, merapikan karyaku, melipatnya ke dalam amplop, memberi sebaris kata di depan amplop serta mengantarkan amplop tersebut. Semuanya, saya pelajari dari Verni.

 

Dan, ketika karya pertamaku dimuat maka orang pertama yang kuingat adalah Verni. Lihatlah teman, akhirnya mimpi-mimpiku saat SD dahulu kini dapat kuwujudkan. Benar katamu, suatu hari nanti karyaku juga akan dimuat. Dan hari itu telah tiba.

 

Hari itu adalah hari ini. Hari ketika saya telah berstatus sebagai mahasiswi. Masya Allah, lumayan jauh juga jaraknya sejak kamu mengajariku banyak hal tentang dunia kepenulisan. Teringat saat kita masih bocah dan membawa amplop berisi karya kita. Kini, saya seorang diri yang mampir ke kantor redaksi koran untuk mengantarkan karyaku. Tidak hanya di Koran Pedoman Rakyat, saya juga mengirim ke Harian Fajar, bahkan tembus hingga ke penerbitan nasional, seperti Anita Cemerlang dan Annida.

 

Terima kasih teman, terima kasih sahabatku Verni Sindara di mana pun engkau berada. Ah, rindunya hati ini ingin bertemu denganmu, Pahlawan Literasiku.

  • Share:

You Might Also Like

0 Comments

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging