Derita Kontraksi Palsu

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Senin, Oktober 31, 2022

Sumber gambar: Pixabay

Pada kehamilan keempat, saya sempat mengalami kontraksi yang sangat hebat. Di satu sisi, saya pikir mungkin sudah mau melahirkan. Namun, di sisi lain, saya juga ragu karena usia kandungan belum cukup untuk melahirkan. Baru sekitar 8 bulan. Namun, rasa sakitnya ... Masya Allah, benar-benar sakit meski berbeda dengan rasa sakit saat akan melahirkan.

 

Beda sakitnya gimana? Kalau kontraksi biasa, ada jeda sehingga saya bisa melakukan aktivitas lain. Kalau konstraksi yang ini, gak ada jeda sama sekali. Yang ada hanya sakit dan sakit. Masya Allah.

 

"Coba jalan dulu biar nantinya mudah melahirkan." Saran suami.


Saya pun mencoba berdiri. Namun, baru beberapa langkah menyusuri masjid (saat itu kami masih tinggal di rumah imam masjid yang berdempetan dengan  masjid) saya menyerah. Sakit sekali. Dengan dibantu seorang akhwat (saat itu sudah ada beberapa akhwat yang  berjaga di rumah. Mereka datang ketika mengetahui kalau saya sudah kesakitan), berdua kami kembali duduk di tempat semula.


 Baca Juga: Ibu Bahagia, Kunci Melahirkan Anak-Anak Hebat


Akhirnya, suami memanggil ibu bidan yang cukup akrab dengan kami, Bidan Yayuk. Selama ini, sakit apa pun, kami selalu konsultasi dan memeriksakan diri ke beliau.

 

"Masih jauh. Sepertinya, belum saatnya melahirkan ..." Ucap Bidan Yayuk usai memeriksa kondisiku.

 

Bidan Yayuk kemudian berkomunikasi dengan temannya yang saat itu datang bersamanya.

 

"Tapi, sakit sekali Bu Bidan," keluhku menahan sakit.

 

"Coba nanti saya cek kembali, ya. Kebetulan, saya ada urusan. Jadi, saya tinggal dulu."

Beliau memang super sibuk. Sebagai bidan berdedikasi tinggi, beliau memang pemurah dan ramah sehingga disukai banyak orang.

 

Tinggallah saya ditemani teman-teman akhwat. Masya Allah, mereka benar-benar sangat membantu. Ada yang menemaniku menahan sakit, ada yang membersihkan rumah, ada yang memasak, dan ada yang menjaga tiga anakku yang lain. Alhamdulillah, saya bisa fokus dengan rasa sakit yang datang tiba-tiba sejak pagi.

 

Menjelang malam, rasa sakitnya tak kunjung berhenti. Bidan Yayuk yang datang memeriksa kembali, akhirnya menyerah. Menurutnya, belum saatnya bagiku untuk melahirkan. Lalu, rasa sakit itu dari mana?


 Baca Juga: Jaga Kesehatan Ibu Rumah Tangga dengan Memperhatikan Hal-Hal Ini


Akhirnya, saya dibawa ke dokter spesialis kandungan, satu-satunya dokter SPog yang ada di kota kecil itu saat itu (entah sekarang). Lagi-lagi teman-teman akhwat yang menyiapkan barang-barang keperluan untuk melahirkan. 

 

Setelah diperiksa, dokter tersebut menyatakan kalau saya sudah pembukaan dua. Namun, katanya ada masalah (entah apa, saya tidak bertanya kala itu atau sudah lupa). Kami pun disuruh pulang dan dokter pun menyuruh suami menyiapkan uang sekitar 1 juta rupiah untuk biaya operasi cesar.

 

Sumber Gambar: Pixabay

Kami pun pulang. Bukan pulang ke rumah, melainkan ke rumah tante yang memang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat praktik dokter. 

 

Melihat kondisiku, om dan tante segera menyiapkan kamar dan menyuruhku beristirahat. Suami pun menceritakan kondisiku, sementara saya masih terus kesakitan di kamar.

 

Saat itu kebetulan di rumah tante juga ada Tante Zul, sepupu tante sekaligus sepupu mamaku (tante dan mamaku bersaudara). Usai melihat kondisiku, Tante Zul memberitahukan tante kalau beliau melihat sesuatu yang ganjil.

 

"Kamu percaya gak dengan pengobatan kampung?" Dengan ditemani tanteku, Tante Zul kemudian berkata kepadaku.

 

Saya hanya bisa mengiyakan. Sepanjang itu bisa meredakan sakit ini dan tidak melanggar syariat, saya percaya.

 

"Kalau begitu, kamu mau saya obati?"

 

Lagi-lagi, saya kembali mengiyakan.

 

"Baik, nanti kamu akan saya injak-injak. Insya Allah, ini tidak berbahaya."

 

Saya hanya pasrah. Sakit yang tak terhingga membuatku tidak bisa berpikir lain.

 

Mulailah Tante Zul berdiri, sementara saya diminta terlentang. Pelan-pelan beliau menginjakkan sebelah kakinya ke bagian bawah perutku. Hal ini dilakukan berulang-ulang. Sungguh, meski diinjak-injak, tak sedikit pun saya merasa sakit.

 

Tiba-tiba ....

 

"Tante, sakitnya hilang!" pekikku kegirangan. 

Ya, rasa sakit yang menderaku sejak pagi tiba-tiba hilang. Masya Allah, perutku terasa adem banget, kembali kepada keadaan semula.

 

"Enak kita rasa, Nak?" Tanya tante yang juga sudah menyudahi pengobatannya. "Kita" dalam bahasa di SulSel artinya 'kamu' tapi lebih sopan. 

 

"Iye, Alhamdulillah." Jawabku penuh rasa syukur. 

 

Buru-buru tanteku mengabarkan kepada suami yang tengah bersiap di ruang tamu tante. Suami sedang berembuk dengan teman-teman kami yang kebetulan ikut mengantar malam itu. 

 

Saat itu kami memang hidup pas-pasan. Jangankan menyiapkan 1 juta rupiah sebagaimana yang diminta dokter untuk mengoperasiku, untuk mengumpulkan 100 ribu rupiah saja, kami harus nabung dulu. Suami kala itu bekerja sebagai penjual majalah keliling, jadi tentu bisa dibayangkan bagaimana ekonomi kami saat itu.

 

Seperti dugaanku, suami tengah mencari pinjaman kepada teman-temannya. Kebetulan, ada salah seorang teman yang ekonomi keluarganya lumayan baik. Dia bersedia meminjamkan uang kepada kami. 

 

Tentu saja, suami sangat lega melihat kondisiku sekarang. Suami juga tak henti-hentinya mengucap syukur. Selain karena kondisiku yang kembali pulih, kami pun terhindar dari berutang. Satu hal yang paling kami hindari. 

 

Malam itu teman-teman yang menemani kami akhirnya kembali ke rumah masing-masing. Saya, suami, dan anak-anak masih tinggal beberapa hari lagi di rumah tante. 

 

Setelah keadaan tenang, Tante Zul pun bertanya, apa yang saya lakukan sebelumnya. Saya pun teringat bahwa beberapa hari yang lalu saya minta diurut oleh Mbah Tukang Urut, tetangga kami. Dengar-dengar, beliau bisa membantu melancarkan persalinan dengan urutannya tersebut. 

 

Tante Zul pun menduga kalau itulah penyebabnya. Menurut Tante Zul, kesakitan yang saya alami akibat janin yang ada di perutku berada dalam posisi terjepit. Mungkin, akibat salah urut, posisi janin pun bergeser dari tempatnya semula. 

 

Tante Zul pun bercerita kalau selama ini ia terkadang dimintai membantu orang melahirkan di kampung. Istilahnya, beliau dukun beranak. Malahan, proses kelahiran ketujuh anaknya, semuanya dilakukannya seorang diri. Terkadang, Tante Zul dibantu oleh Nenek Dajeng, mama Tante Zul. Adapun suaminya, hanya bisa ikut membantu sedikit karena takut melihat darah. 

 

Karena keahliannya itulah, Tante Zul mampu menganalisis  kondisi ibu hamil yang dilihatnya. Maka, begitu pulalah dengan kondisiku saat datang. 

 

"Bukan kondisi orang yang mau melahirkan ..."

 

Bidan Yayuk yang datang keesokan paginya juga ikut bersyukur dengan kondisiku yang sudah sembuh dan tidak jadi dioperasi. Saat itu, saya dan suami pun bersyukur karena malam itu tak punya uang sehingga tidak serta merta mengiyakan permintaan dokter untuk mengoperasiku. 

 

"Ada untungnya juga jadi orang miskin ..." ucapku lirih. 

 

Alhamdulillah, sebulan kemudian, saya pun melahirkan di Makassar. Meski suami tak bisa menemani (sama seperti proses kelahiran si nomor 2 dan nomor 3), saya diantar ke rumah sakit yang tak jauh dari rumah oleh ibu mertua dan adik ipar. Sebenarnya, saya sudah menetapkan akan melahirkan di Klinik Wihdatul Ummah, tetapi karena letaknya yang lumayan jauh sementara air ketubanku sudah pecah saat masih di rumah, keluarga memutuskan untuk pergi ke tempat terdekat saja.  

 

Sumber Gambar:
https://www.alodokter.com/cari-rumah-sakit/rumah-sakit-islam-faisal-makassar

Maka, bertempat di Rumah Sakit Islam Faisal, tepat usai mengedan untuk kedua kalinya dan bersamaan dengan azan Subuh, lahirnya si nomor 4. Di subuh hari itu, tepat pada 7 April 2007. Alhamdulillah, kini putriku berumur 15 tahun. 

 

Sebuah nama kami berikan untuknya, Khaulah Qoniah Possumah. Nama yang kami ambil dari nama salah seorang sahabiyah yang mulia. Banyak doa yang kami berikan untuk putri kami tercinta itu. Sesuai namanya, semoga ia menjadi anak yang salehah serta menjadi penyejuk mata dan kebanggaan bagi kedua orang tuanya, keluarga, serta agamanya. Aamiin ya Rabbal Alamin. 


  • Share:

You Might Also Like

19 Comments

  1. Subhanallah. Ternyata salah urut, ya. Alhamdulillah sudah tertangani dan enggak meninggalkan bahaya

    BalasHapus
  2. subhanallah.. ikut tegang bacanya kak... alhamdulillah, atas ijin Allah berikan kesembuhan melalui tante Zul... bagaimana kabar beliau sekarang kak.. semoga sehat-sehat selalu, pasti banyak yang sudah dibantu beliau ya.. barakallah tante Zul

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Tante Zul dalam keadaan baik dan sehat

      Hapus
  3. MasyaAllah, bacanya saja mules Bun.
    kayaknya Bidannya lebih senior dari Dokternya ya, dia yakin bahwa belum saatnya lahiran dan memang betul meski si dokter juga yakin kalau sudah pembukaan dua, hihih
    Alhamdulillah ya, syukurnya saat itu ada Tante Zul di rumah Tante juga, dan Tante Zul bisa bantu memperbaiki posisi janin ya dengan diinjak-injak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak ngerti juga kok bidannya lebih tahu kondisi ibu dan janinnya daripada dokter. Alhamdulillah, ada bantuan dari Tante Zul.

      Hapus
  4. Salah urut bisa fatal akibatnya ya, Bun. Tapi, di kampung memang biasa ada yang suka ngurut buat orang hamil apalagi ketika ada 7 bulanan. Makannya sejak kehamilan pertama gara-gara ada kebiasaan itu sy jadi takut mau pulang kampung terutama saat hamil besar...hihi. Alhamdulillah, barakallah ya Khaulah sudah besar. Kita seumuran...kwkwk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Neng Muyas seumuran Khaulah? Baiklah, saya panggil anak aja, ya. hehehe

      Hapus
  5. Sehat selalu untuk Bunda dan si kecil yaa

    BalasHapus
  6. Waspada juga ya dengan tukang urut, bisa menyebabkan kram hingga sangat kesakitan. Syukurlah Neng Khaulah, sehat selalu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ternyata tidak boleh sembarang mengurut. Padahal, tukang urut ini selalu dipakai jasanya oleh ibu-ibu hamil di sekitar situ, lho.

      Hapus
  7. Kadang ya, dokter suka gitu. Dulu kehamilan pertama saat saya cek dg test pack masih samar, dokter kandungan bilang. "Positif samar belum tentu hamil ya, Bu."
    Terus saya diminta untuk bersihkan, tp gak mau saya pergi ke dokter lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang kalau ada yang meragukan, sebaiknya pindah dokter saja alias nyari second opinion. Namanya juga dokternya manusia biasa, jadi kadang bisa salah juga.

      Hapus
  8. Masya Allah, alhamdulillah gak jadi operasi. Saya pernah diurut di usia kandungan 7 bulan karena jatuh dari motor. Alhamdulillah jadi enak dan tenang perutnya. Memang harus hati2 juga ya Bun pilih tukang urut ibu hamil.

    Barakallah Khaulah salihah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Allah, kebayang gimana hamil kemudian jatuh dari motor. Alhamdulillah, si Dedek (Lubna, ya?) gak kenapa-kenapa.

      Hapus
  9. cerita 15 tahun yang lalu tapi masih jelas teringat ya Mbak Haeriah. Rasanya kontraksi palsu ternyata dari salah urut, semoga ada hikmah yang bisa dipetik dari kejadian lalu itu. Eh malah bisa jadi blogpost, cuma ga kebayang diinjek gmn...baru pertama kali denger heeh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih, Bun. Apalagi kalau Tante Zul datang ke rumah, pasti nyari Khaulah. Sengaja saya share kisahnya, siapa tahu bisa diambil pelajaran.

      Hapus
  10. wah mbak perutnya beneran diinjak gitu? saya waktu hamil juga beberapa kali ke tukang urut gara-garanya pantat saya sakit banget selama kehamilan ke dua. untung sih nggak apa-apa kehamilannya waktu itu

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging