Pengalaman Melakukan Perjalanan Lintas Negara di Masa Pandemi COVID-19

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Senin, Juli 27, 2020



Pengalaman melakukan perjalanan lintas negara di masa pandemi COVID-19 "terpaksa" harus kami alami. Di 10 Juli 2020 lalu, saya, suami, dan si bungsu Hilyah melakukan perjalanan lumayan panjang dan melelahkan dari Kuala Terengganu menuju Makassar. Biasanya, setiap kali akan melakukan perjalanan, saya termasuk orang yang paling antusias. Bahkan, aura antusias itu sudah menguar dan membuatku sangat bersemangat packing barang. Tak lupa, menyiapkan oleh-oleh cemilan khas negeri jiran buat keluarga di tanah air.

Namun, di masa pandemi ini, melakukan perjalanan tentu saja bukan sesuatu yang menyenangkan. Selain rasa waswas di sepanjang perjalanan, adanya pembatasan dan penutupan beberapa fasilitas yang biasanya memudahkan dan membuat perjalanan nyaman tentu saja membuat perjalanan tak lagi seindah dulu. Pandemi ini memang membuat banyak perubahan di mana-mana.

Kami pun melakukan perjalanan ini karena urusan urgent. Qadarallah, bapak mertua meninggal dunia beberapa waktu yang lalu, sementara ibu mertua sakit-sakitan. Ketika beliau meninggal, ketujuh anaknya berkumpul, kecuali suami yang tertahan di negeri jiran. Itulah yang memaksa kami untuk pulang.

Kuala Terengganu-Kuala Lumpur


Biasanya, kami memilih perjalanan malam jika ingin ke Kuala Lumpur. Namun, kali ini, kami memilih perjalanan pagi. (Qadarallah, bus pagi full semua sehingga kami pun terpaksa mengambil bus siang yang berangkat pukul 12.30 waktu setempat).

Seperti biasa, kami memilih bus Darul Iman yang haltenya bisa diambil dari depan kampus Universitas Sultan Zainal Abidin (UNISZA) Kuala Terengganu, kampus yang berada tak jauh dari tempat tinggal kami. Bus tingkat dua itu lumayan legang. Maklum, bagaimanapun kita masih dalam masa pandemi sehingga anjuran #stayathome masih berlaku dan banyak dipatuhi. Kami pun, seandainya bukan karena urusan penting, rasanya lebih baik berdiam diri di rumah dulu dan tidak ke mana-mana. 

Saat bus berhenti untuk sholat dan makan di daerah Chendering (masih masuk wilayah Negeri Terengganu dan udah dekat ke Negeri Pahang), kami pun turun dari bus dengan hati-hati. Meski negeri tempat tinggal kami sudah masuk zona hijau karena sudah dua bulan tidak ada pertambahan pasien positif Corona, tetap saja kami memilih untuk mematuhi anjuran protokol kesehatan, di antaranya dengan tetap mengenakan masker dan kerap mencuci tangan serta menerapkan social distancing.  

Semua berlangsung aman di sepanjang perjalanan. Hanya saja, kami sempat melewati sebuah kecelakaan yang terjadi di daerah Gambang (Negeri Pahang). Seketika, saya ingin mendokumentasikan peristiwa itu dengan mengarahkan kamera ponselku.

Namun, ketika mataku menangkap sosok berbalut celana kain berwarna coklat yang terbaring di atas tandu di jalanan dan sekujur tubuhnya ditutupi kain putih, saya segera menghentikan keinginanku. Tubuhku juga bergidik melihat mobil sedan kecil yang telah berada dalam posisi terbalik, tak jauh dari sosok yang terbujur kaku tadi.

Saya pun mengirimkan doa untuk korban lalu lintas tersebut. Saya mengajak Hilyah untuk mengirimkan doa untuknya. Innalillahi wa inna ilaihi raajiun. 

Kuala Lumpur

Terminal Bersepadu Selatan (TBS)

Alhamdulillah, kami tiba di Terminal Bersepadu Selatan (TBS), stasiun bus utama yang ada di Kuala Lumpur sekitar pukul 21.00. Kami pun langsung naik ke lantai tiga dan memesan Grab yang akan membawa kami ke Orange Hotel, tempat kami menginap semalam sebelum terbang ke Jakarta besok siang.

Saat tiba di Orange Hotel, kami langsung suka dengan suasana hotel dan sekitarnya. Hotel ini berada di tempat yang sangat strategis. Berada sekitar 6 km dari KLIA dan di sekitarnya banyak terdapat tempat makan (2 restoran mamak), mart, bahkan klinik kesehatan. Komplit banget, kan. Cerita selengkapnya tentang hotel ini akan saya tuliskan dalam artikel tersendiri nantinya.

 
Kuala Lumpur-Jakarta




Tepat pukul 12.00 tengah hari, kami pun check out dari hotel. Dengan diantar layanan shuttle bus dari pihak hotel usai membayar RM10/orang, kami menuju bandara KLIA dengan diantar supir keturunan India yang lumayan pendiam. 

Saat tiba di KLIA, kami langsung disambut petugas yang mencegat di pintu masuk. Kami pun diminta mengunduh dan memperlihatkan aplikasi My Sejahtera di ponsel masing-masing. Qadarallah, saya lupa menginstalnya, padahal sudah diwanti-wanti suami semalam. Saat ingin menginstalnya di bandara, internet ponselku dan ponsel suami ternyata tidak memadai dan entah mengapa wi-fi bandara yang biasanya kencang kini lelet, tak boleh terbuka. 

Saya sempat panik. Untung aja, petugas tersebut sangat ramah. Saya pun diminta menuliskan nama dan nomor ponsel saja di buku besar yang memang disediakan untuk keperluan itu. Meski demikian, suami tetap meminta saya mencoba mengunduh aplikasi tersebut di ponselku. Takutnya, nanti dimintai kalau naik pesawat atau apalah.

Setelah itu, kami kemudian diminta berjalan satu-satu melewati petugas yang mengawasi suhu tubuh para pengunjung bandara. Usai itu, kami segera berjalan menuju counter Malindo Air, pesawat yang akan membawa kami dari ibu kota negeri jiran ini menuju ibu kota negeri kelahiran.  

Usai check-in sekaligus memasukkan tiga koper ke bagasi pesawat, kami pun menuju surau untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Insya Allah, waktu sholat Zhuhur akan tiba beberapa saat lagi. 

Suasana bandara terasa cukup lengang. Di sepanjang jalan, hanya terlihat beberapa orang yang melintas. Tak ada kesesakan dan keramaian yang biasanya mewarnai bandara ini.

Wabah pandemi ini memang membawa dampak yang luar biasa. Maskapai penerbangan yang belum buka sepenuhnya dan  hanya melayani rute terbatas, penumpang yang hanya berangkat dengan keperluan yang benar-benar penting, serta banyaknya toko di dalam bandara KLIA yang tutup. Sedih juga melihat kondisi ini. Mudah-mudahan pandemi ini segera berlalu sehingga kita bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Aamiin.

Usai mengerjakan shalat Zuhur dan Asar yang dijamak, kami menyempatkan diri makan siang di kedai mart yang berada tepat di samping surau. Suami memilih mie instan sementara saya memilih nasi kandar instan. Lumayan bikin lapar jadi raib.


Setelah kenyang, kami pun langsung menuju bagian imigrasi. Suasana bandara yang lengang membuat kami tidak membutuhkan waktu lama untuk antri. Bahkan, terasa suasana imigrasi lebih santai dan terlihat petugas  lebih rileks. Mungkin, karena kami akan keluar negeri ini jadi pemeriksaannya tidak seketat bagi mereka yang akan masuk. 

Saat menuju pesawat, terlihat dari antrian, para awak pesawat yang mengenakan APD bolak-balik mengarahkan para penumpang. Di setiap jejeran,  bangku tengah sengaja dikosongkan untuk menerapkan social distancing. Saat semua sudah duduk di tempat, salah seorang pramugari menghampiri kami dan bertanya apakah ada di antara kami yang ingin pindah tempat duduk karena kami kan bertiga jadi semua jejeran kursi tersebut terpenuhi. Kami pun menolak tawaran tersebut karena tidak perlu menerapkan social distancing. Wong, kita satu keluarga yang sudah bersama sejak dari kampung, hehehe.



Qadarallah, perjalanan kami tidak terlalu mulus. Beberapa kali pesawat mengalami turbulensi, bahkan salah seorang pramugari yang sedang membawa troli sempat jatuh terduduk di bangku penumpang yang kosong saat pesawat lumayan bergoyang. Di satu kesempatan, bahkan pilot meminta para penumpang untuk berdoa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar kami bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat. Bikin deg-degan banget, kan…

Dua jam kemudian, pesawat dapat mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno Hatta. Alhamdulillah.

Jakarta


Setiba di Bandara Soetta, kami harus baik bus terlebih dahulu untuk keluar dari areal landasan pesawat. Kami langsung ilfill ketika di dalam bus harus berdesak-desakan. Ambyar deh social distancing yang telah kami terapkan sepanjang perjalanan. Kami pun hanya mampu berdoa semoga si virus itu tidak berkenan hadir. 

Turun dari bus, usai berjalan keluar sebentar, kami pun diarahkan oleh beberapa petugas gugus depan menuju tempat pemeriksaan yang harus kami lalui. Di sana, kami diminta mengisi formulir sembari menunggu antrian. Penumpang pun dibagi dua, yang memiliki hasil tes CPR COVID-19 dan yang tidak memiliki hasil tes tersebut. 



Antrian pun lumayan lama, sekitar dua jam. Sebelumnya, saya sempat membaca info di medsos sehingga bisa mengantisipasinya dengan mengambil jadwal penerbangan berikutnya dengan jeda waktu yang lumayan panjang. 

Khusus penumpang yang membawa anak kecil, mereka diberi antrian tersendiri sehingga tidak ikut berdesak-desakan (tapi tetap jaga jarak, ya). Alhamdulillah, petugas sangat ramah sehingga sangat membantu proses kami melewati antrian. 

Setelah tiba giliran kami, salah seorang petugas mulai memeriksa kelengkapan berkas kami, terutama hasil tes PCR yang masa berlakunya maksimal 7 hari sejak hasilnya dikeluarkan. Kebetulan, hasil testku tepat 7 hari karena hasil tesku keluar di tanggal 5 Juli dan kami melakukan perjalanan di 12 Juli. Masya Allah, telah sehari saja, alamat saya harus ikut antrian penumpang yang tidak memiliki hasil tes dan mungkin diangkut ke Wisma Atlet. Huhuhu.

Setelah selesai dari meja pemerikasaan pertama, kami harus melewati gerbang pemeriksaan kedua. Kami pun diwajibkan memperlihatkan hasil test PCR. Di sini, saya salah mengira. Saya pikir gate tersebut adalah imigrasi. Hihihi. Ternyata, imigrasi ada setelah gate ini.

Setelah keluar imigrasi, di pintu keluar kami diminta memperlihatkan hasil test ke beberapa petugas gugus depan. Oalah, saya pun terpaksa agak ribet mengeluarkannya dari tas karena kupikir sudah tidak ada pemeriksaan lagi, jadi lembaran tersebut saya masukkan ke tas. 

"Oalah, ada pemeriksaan lagi..." keluhku, ketika lagi-lagi kami diminta memperlihatkan hasil tes saat akan menuju pintu keluar bandara.  

"Ini yang terakhir, Bu..." jawab salah seorang petugas berpakaian tentara yang rupanya mendengar keluhanku.

Beberapa petugas dan suamiku kemudian basa-basi sebentar saat suami menanyakan arah menuju shuttle bus yang akan membawa kami ke terminal 2, tempat pesawat kami berikutnya yang akan membawa kami dari Jakarta ke Makassar.

Jakarta-Makassar



Pesawat berikutnya yang akan kami tumpangi adalah Sriwijaya Air. Pesawat akan berangkat pukul 00.45 sementara kami sudah wara wiri di terminal 2 F sejak pukul 21.00. Lumayan banyak waktu menunggu. Bandara yang saat kedatangan kami terlihat lumayan sepi, pelan-pelan mulai diramaikan dengan kehadiran para calon penumpang beberapa maskapai yang masih beroperasi di masa pandemi ini. 






Saat itu saya sempat mendengar kalau beberapa orang penumpang tersebut ada yang akan ke Surabaya dengan jam keberangkatan pukul 06.00 pagi besok. Oalah, kiraian kami yang keberangkatannya paling lama. Tak heran, bila beberapa penumpang mulai menggelar tikar sebagai persiapan bermalam di bandara. Jadi ingat pengalaman ngemper di KLIA2. Seru abis   



Saat gate keberangkatan mulai dibuka, kami pun segera antri. Saat itulah, kami terpaksa mundur kembali karena ternyata setiap penumpang diwajibkan mengunduh aplikasi eHAC Indonesia di ponsel. Kami gak tahu soalnya, hehehe (kudet mode on).



Qadarallah, perjalanan lewat udara tersebut kembali beberapa kali dihajar turbulensi akibat cuaca yang kurang baik. Alhamdulillah, dua jam kemudian kami tiba dengan selamat kembali ke tanah kelahiran. Di bandara Hasanuddin, kami kembali harus memperlihatkan surat keterangan bebas COVID-19 sebelum bisa melenggang keluar bandara. 



Masya Allah, senangnya bisa melihat kembali kota Makassar yang terakhir kali kudatangi di awal Februari lalu. Baru ditinggal 5 bulan, tetapi berasa udah 5 tahun, hehehe. Kota Daeng, we are back.

                                                                                   *

  • Share:

You Might Also Like

8 Comments

  1. masya allah mbak, nano nano banget perjalannya ya. huhu
    aku pun bakal ambyar kl tiba2 harus berdesakan naik busnya, sayang banget social distancing yg udah diterapkan kan ya, hhh. tp alhamdulillah sehat dan sampai tujuan ya, semoga alm. khusnul khatimah. aammiin

    BalasHapus
  2. MasyaAllah. Alhamdulillah bisa pulang ya mbak. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan kesabaran. Kemudian suami plg lagi ga ke malaysia mbak?

    BalasHapus
  3. saya kayak terharu gimana ya baca part mba sudah sampai ke Makassar, saya juga masih belum bertemu dengan ibu saya, sudah beberapa bulan, semoga sehat semua dna bisa segera ketemu. alhamdulillah perjalanan mba lancar ya sampai rumah, baca dari atas aku yang degdegan, kondisi begini terus masuk ke publik area gitu, rasanya gimana, ngeri-ngeri sedep kali ya

    BalasHapus
  4. Perjalanan untuk sampai ke kota tujuan di masa seperti sekarang memang harus sabar, dan kuat fisik serta ikuti protokol kesehatan juga ya. Alhamdulillah, mudah juga untuk menjalaninya ya kak.

    BalasHapus
  5. Yaa Allah.. Ga kebayang waktu kejadian di pesawat tersebut. Saat pilot meminta para penumpang utk berdoa sesuai keyakinan masing-masing. Dag dig dug pastii yaa mbak..
    Alhamdulillah diberikan keselamatan sampai tujuan :)

    BalasHapus
  6. Sepi banget ya mbak bandaranya. Dalam pesawat juga. Alhamdulillah bisa sampau tujuan dengan selamat ya mbak.

    BalasHapus
  7. Biasanya kalo bepergian jauh tuh menyenangkan. Tapi gegara ada pandemi gini jadi was was ya mbak. Bener deh kalo memang ngga ada kepentingan urgent mending dirumah aja deh dariapda nyari penyakit hihi

    BalasHapus
  8. Alhamdulillah sampai kota Makasar dengan selamat mbak, semoga sehat selalu ya, dan karantina mandiri dulu. Hehehe. Semoga baik-baik saja. Aamiin.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging