Alhamdulillah aku dinyatakan positif hamil hanya berselang sebulan sejak
pernikahanku di bulan desember 1998. Tentu saja berita itu kuterima dengan suka
cita. Aku dan juga suami sangat gembira karena tidak perlu menunggu waktu lama
untuk mendapatkan buah hati.
Tapi
ternyata aku harus menjalani masa kehamilan yang terbilang cukup sulit. Hampir
setiap saat aku mengalami muntah yang cukup hebat. Apa saja yang kumakan akan
keluar kembali tak lama berselang. Akibatnya tubuhku menjadi lemas dan rasanya
aku tak mampu berbuat apa-apa selain hanya berbaring di tempat tidur. Oleh
dokter aku kemudian diberi obat anti muntah yang membuat frekuensi muntahku
mulai berkurang meski tak juga hilang sama sekali.
Tak hanya
itu, aku juga kemudian diharuskan menjalani bedrest penuh selama masa kehamilan.
Vonis itu diberikan karena setiap kali beraktivitas seperti biasa maka pakaian
dalamku akan dipenuhi oleh bercak darah
seperti sedang haid. Kata dokter, kandunganku lemah dan gejala seperti itu termasuk
aborsi dini yang setiap saat bisa
mengakibatkan keguguran. Karenanya aku harus tetap berada di kamar malah kalau
perlu menggunakan pispot agar tidak perlu bolak-balik kamar kecil bila ingin
buang air.
Terus terang
keterangan dokter itu terasa sangat berat untuk kujalani. Menghabiskan waktu
sekian lama di dalam kamar bukanlah hal yang menyenangkan bagi orang sepertiku.
Dengan terpaksa aku menghentikan semua aktivitas luar rumah yang selama ini
rutin kuikuti. Sebagai gantinya suamiku menyediakan beragam bacaan dan
menghadirkan sebuah televisi kecil untuk menemaniku mengusir kebosanan.
Alhamdulillah,
setelah berlalu masa sembilan bulan di suatu siang aku merasakan sakit yang tak
tertahankan. Aku merasa kalau saat melahirkan akan segera tiba. Setelah beberapa saat menahan rasa sakit,
suami pun memutuskan untuk membawaku ke puskesmas. Pusat kesehatan masyarakat
itu adalah tempatku selama ini memeriksa
kehamilan yang juga telah dilengkapi dengan fasilitas untuk tempat
bersalin.
Sesampainya
di puskesmas, usai melapor, aku langsung dibawa ke kamar bersalin. Rasa sakit
yang kurasakan semakin menjadi-jadi.
Setelah berbaring sebentar aku segera meminta suami memanggil bidan jaga yang belum juga muncul
sejak kedatangan kami.
“Kata Bu
Bidan, kamu jalan-jalan dulu biar proses melahirkannya gampang. Bidannya lagi
asyik baca majalah” lapor suamiku usai dari kamar bidan.
“Aku sudah
tidak bisa berjalan. Rasanya bayinya sudah mau keluar!” aku setengah berteriak
diantara rasa sakit dan panik.
Atas
inisiatif sendiri kakak iparku kemudian melongok melihat jalan lahirku. Saat
itulah ia berteriak panik karena melihat kepala bayiku mulai kelihatan. Suamiku
yang ikutan panik segera berlari kembali
ke ruang bidan untuk memberitahukan apa yang terjadi.
Tak lama
berselang Bu Bidan yang ditunggu-tunggu
muncul. Alhamdulillah, beberapa saat usai adzan maghrib putra pertamaku
lahir ke dunia dengan normal. Segala kepayahan yang selama ini kurasakan
menjadi tak ada artinya seiring dengan tangisan nyaring yang menghadirkan kebahagiaan
yang amat sangat di hatiku.
Kupeluk dan
kuciumi bayi mungil yang disodorkan Bu Bidan padaku. Bayi lelaki dengan berat
3,5 kg dan panjang 42 cm itu lahir dengan kepala yang memanjang akibat terlalu
lama berada di “pintu”. Tapi kata Bu Bidan, kepalanya akan berangsur-angsur
kembali normal nantinya.
Ada satu hal
yang membuat anak pertamaku ini begitu istimewa. Bayi Abdullah Az Zahid, demikian nama
yang telah kami persiapkan untuknya, terlahir dalam keadaan telah bersunat.
Iya, kemaluan kecilnya telah terpotong ujungnya seperti kemaluan seorang anak
lelaki yang telah disunat.
Keesokan
paginya aku dikejutkan dengan kedatangan salah seorang petugas puskesmas.
Petugas itu membawa sekotak susu formula dan mengatakan kalau dokter menyuruh
aku untuk membeli susu tersebut.
Dengan halus
aku menolaknya. Bagaimanapun aku sudah memutuskan sejak awal untuk memberikan
ASI pada anakku. ASI adalah hak anak yang harus diberikan hingga anak berumur
dua tahun.
Akhirnya
petugas itu pergi sambil mengomel. Ia pun sempat mengancam dan mengatakan kalau
dokter akan marah dengan penolakanku itu. Suami yang saat itu bersamaku hampir
saja terbujuk untuk membeli susu formula tersebut. Tapi karena melihat
ketegasanku, suami akhirnya memilih untuk mengikuti pendirianku.
Untungnya
tak ada seorang dokter pun yang datang setelahnya. Padahal aku sudah menyiapkan
segudang jurus bila nantinya ada pihak puskesmas yang komplain dengan
keputusanku. Aku pun semakin yakin dengan keputusanku dan aku tahu kalau
sebenarnya petugas puskesmas itu juga sebenarnya tahu kalau yang paling
dibutuhkan bayi adalah ASI ibunya bukan susu formula yang berasal dari sapi.
Alhamdulillah,
keinginanku untuk hanya memberikan ASI pada bayiku terwujud. Selama enam bulan
ia mengkonsumsi ASI ekslusif dan setelahnya mulai kuperkenalkan dengan beragam
makanan pendamping. Aku pun tetap memberikan ASI hingga ia berusia dua tahun,
sesuai tekadku.
Kini, bayi
mungilku itu telah menjelma menjadi sosok remaja yang tampan. Pada putra
pertamaku aku menaruh sejuta harapan padanya, harapan yang sama yang kuberikan
pada adik-adiknya. Di setiap do’a, selalu kuselipkan permohanan pada Sang
Khalik agar mereka nantinya menjadi anak yang sholih dan sholihah, anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya
serta menjadi anak yang berguna bagi agamanya. Aamiin.
Kajang, Selangor 6 Oktober 2012
(Abdullah Az Zahid kini)
Bersama ketiga adiknya : Tholhah As Sajjad, Nusaibah Atsariyah dan Khaulah Qani'ah
Catatan:
Tulisan ini diikutkan dalam lomba #FFF Cincin Emas - Jalinan Persaudaraan Blogger se-Nusantara. Info lengkap bisa dibaca di : http:// mubarika-darmayanti.com/1460/ baby-fatimah-fff-cincin-emas-da n-persaudaraan-blogger-nusanta ra/
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging