Beliau adalah salah
seorang ulama Nadlatul Ulama Sulawesi Selatan yang cukup dikenal. Sepak
terjangnya di medan dakwah sejak muda usia membuatku senantiasa terkagum dan
tak pernah bosan untuk terus mendengarkan kisah yang sama yang dilantunkan oleh
nenek kepadaku.
Sejak kecil aku memang sangat dekat dengan nenek. Bahkan, aku
pernah berpikir kalau aku anak paling beruntung sedunia karena mempunyai dua
ibu. Setelah agak besar barulah aku menyadari kalau yang selama ini kupanggil
dengan sebutan ”Mama Aji” sebetulnya adalah nenekku, ibu dari ibuku.
Aku tak pernah lupa,
usai mendengarkan cerita Mama Aji maka di
kepala mungilku akan terbayang bagaimana Puang di waktu muda membawa keluarga
kecilnya berhijrah dari tanah kelahiran Mama Aji, tempat tinggal mereka selama
ini. Kubayangkan bagaimana kakek, nenek serta keempat anak mereka yang masih kecil-kecil
itu kemudian bersembunyi dan mencari cara agar lolos bisa dari kejaran.
Keselamatan Puang sedang terancam. Puang yang dipanggil “Tuan Guru” dengan semangat mudanya memang
seorang aktivis dakwah yang senantiasa menyiarkan agama Islam di tanah yang
mayoritas dihuni oleh nonmuslim. Tak heran bila kemudian para kuffar itu menginginkan nyawanya untuk menghentikan penyebaran
agama mulia ini.
Alhamdulillah, berkat
pertolongan Allah Azza wa Jalla dengan dibantu oleh sesama jama’ah. Puang berhasil menyelamatkan diri. Keluarga kecil itu tak membawa apa-apa selain
hanya pakaian yang melekat di badan. Seluruh harta warisan Mama Aji yang melimpah
tak satu pun dibawa. Seluruh harta itu ditinggal, salah satunya dengan tujuan
agar perhatian kaum kuffar itu sedikit teralihkan sehingga Puang sekeluarga
dapat sedikit lebih leluasa meneruskan pelariannya.
Dalam pelarian itu, salah
seorang anak mereka masih sangat mungil. Anak keempat itu masih bayi. Tak salah
bila kemudian bayi mungil itu diberi
nama Hajrah, yang berasal dari kata hijrah, yang berarti perpindahan.
Mulailah Puang sekeluarga memulai hidup baru dari nol. Mama Aji yang terbiasa hidup dalam
gelimangan harta harus merasakan pahitnya hidup. Alhamdulillah, semua kesusahan
itu berhasil dilewati. Tahun-tahun suram itu telah pergi. Kini, keluarga Puang dapat menjalani hidup
lebih tenang dan kakek juga tetap bergelut di dunia dakwah.
Selama ini aku memang
sering berada di rumah Puang. Jarak rumah kami yang tidak terlalu jauh
memudahkanku untuk bolak-balik. Aku tahu kakek paling suka membaca. Beliau
sanggup membaca hingga larut malam. Terkadang beliau sampai tertidur di kursi
dan ketika tersadar kembali melanjutkan aktivitas membacanya. Selain itu beliau
juga rutin shalat malam. Usai shalat malam, kembali lanjut membaca.
Selain itu Puang juga sangat
disiplin. Beliau mempunyai buku agenda tempatnya mencatat semua kegiatannya.
Buku itu sangat dijaganya dan kami dilarang untuk menyentuhnya. Meski terkadang
karena penasaran aku suka mengintip apa saja yang menjadi agenda Puang.
“Aku ingin mati di atas
kendaraan yang membawaku berdakwah” kata-kata itu senantiasa terngiang di
telingaku.
Kata-kata itu diucapkan ketika kami protes dengan kekerasan hatinya.
Bayangkan di usia yang menginjak delapan puluhan, beliau masih berkeliling dari
satu majelis ke majelis, dari satu masjid ke masjid. Beliau seorang diri
membawa vespa maupun mobil tuanya.
Dari cerita yang
dituturkan adikku, sebelum beliau sakit dan hanya bisa terbaring di tempat tidur,
beliau masih suka bepergian seorang diri. Meski saat kembali, beliau selalu
diantar oleh orang yang tidak dikenal.
“Pak Kiai gak tahu
jalan pulang” demikian jawaban orang-orang yang mengantar Puang pulang. Mereka
mengenal Puang berkat seringnya kakek mengisi taklim di mana-mana.
Untungnya Puang masih
mengingat alamat rumah sehingga orang-orang dapat menghantarkan beliau kembali.
Kini, Puang telah tiada. Pada hari Rabu, tanggal 24 Oktober 2012, Puang mengembuskan napasnya yang terakhir
di Rumah Sakit Islam Faishal Makassar.
Selamat jalan Puang-ku tercinta, Puang-ku
tersayang, KH Abdullah Salim. Semoga amal ibadah selama di dunia ini diterima di
sisi-Nya. Semoga Allah mengampunkan dosa-dosa Puang dan memberi tempat yang
layak untuk Puang.
Di sini, di tempat yang
jauh aku hanya bisa berdo’a dan mengenang semua kenangan indah bersamamu. Satu
harapanku, semoga kami bisa mewarisi semangat Puang yang tak pernah lelah
berjuang di jalan Allah.
Aamiin Ya Rabbal A'lamin.
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging