Aku
tersenyum memandang sejumlah uang yang
kini berada dalam genggamanku. Hari ini, tepat sebulan sejak tulisanku dimuat
di koran harian di kotaku. Itu artinya, aku sudah bisa mengambil honor tulisan
tersebut. Kebijakan redaksi koran tersebut memang memberikan waktu sebulan bagi
setiap tulisan yang dimuat untuk mengambil honor pemuatan.
Sebelum pulang, aku menyempatkan diri
membeli sesuatu. Langkahku menuju sebuah toko yang berada tak jauh dari kantor
redaksi koran tersebut
“Berapa,
Mba?” tanyaku sembari meletakkan barang belanjaanku di samping kasir.
Mba
kasir menyebutkan sejumlah harga. Aku pun mengeluarkan selembar uang dari saku celana panjangku. Untung saja siang itu pengunjung toko tidak sedang ramai
sehingga aku tidak perlu berada terlalu lama di toko tersebut.
Usai
urusan bela-beli, dengan riang aku keluar
dari toko. Buru-buru tanganku melambai mencegat angkot yang lewat di depanku. Aku
ingin segera tiba di rumah. Menyerahkan apa yang baru saja kubeli pada mama.
Aku tahu pasti, mama akan senang menerimanya.
*
Kenangan
di atas adalah kenangan dua puluh tahun yang lalu. Saat itu aku masih duduk di
bangku kuliah. Aku yang aktif menulis
sesekali membelikan sesuatu untuk mama saat honor tulisanku cair. Kali ini aku
membelikan makanan kesukaan mama.
Saat
itu aku membeli sekotak keju dan sebungkus roti tawar. Mama memang suka sekali
keju. Saat itu merk keju belum sebanyak saat ini. Bentuknya pun masih kotak
persegi. Saat itu ketika menyebut keju maka yang ada hanyalah keju kraft. Keju
ya kraft. Itu saja yang kami tahu.
Biasanya
mama menikmati keju dengan cara dipotong tipis-tipis sebagai cemilan. Terkadang
juga mama menjadikannya teman makan roti
tawar. Saat itu belum ada kemasan keju
dalam bentuk lembaran sehingga keju berbentuk kotak itu harus dipotong atau
diiris sebelum dikonsumsi.
Sewaktu
bapak masih ada, aku sering melihat bapak membawakan keju kraft khusus untuk
mama sepulang berbelanja kebutuhan toko di pasar. Bapak yang lidah ndeso, tidak
terlalu cocok dengan makanan tersebut. Bapak tidak suka keju.
Dari
sana lah aku tahu kalau mama suka sekali keju. Sesekali Bapak juga membawakan sekotak keju
untuk kami anak-anaknya. Kalau sudah begitu, kami akan berebut untuk bisa menikmati
kenikmatan keju kraft. Rasanya yang asin-asin gurih bikin kami ketagihan.
Saat
itu keju adalah makanan yang mewah bagi kami. Aku terlahir bukan dari keluarga
kaya. Keluarga yang cukup sederhana. Bahkan semakin sederhana ketika Bapak,
sang kepala keluarga menghadap ilahi di saat kami masih sangat membutuhkannya.
Karenanya, mama pun terpaksa tampil sebagai kepala keluarga, the single parent dengan sembilan orang
anak.
Susah
payah, mama membesarkan kami. Alhamdulillah, kini semua berhasil dilewati
dengan baik. Satu persatu anak mama telah menikah sehingga beban mama semakin berkurang. Kini tersisa tiga orang lagi yang masih
bersama mama, itu pun ketiganya berhasil meniti karier dengan cemerlang.
Meski kini mama tidak lagi kesulitan
menikmati makanan kesukaannya yang serba keju namun aku tahu pasti, keju kraft
tetap menyimpan kenangan manis di hati mama. Mama tetap setia pada rasa keju
kraft yang sulit untuk disamai merk keju lainnya.
Dan, kesetiaan mama pada keju kraft
ternyata menurun ke anak-anakku. Kelima anakku suka sekali keju kraft. Berulang
kali aku mencoba menyajikan keju dengan merk lain namun selera anak-anakku sama
persis dengan mama. Susah berpindah ke lain hati kalua menyangkut urusan keju.
“Ummi, kita maunya keju kraft. Lebih
enak….” protes anak-anakku jika aku kembali menyajikan keju merk lain. Maklum,
namanya emak-emak kadang harga murah menjadi prioritas. Hehehehe.
Aku pun kapok coba-coba menyajikan
keju merk lain. Kapok ditolak, hehehe. Biarlah mahal dikit yang penting
anak-anak senang. Toh, sebenarnya aku pun sependapat dengan anak-anak. Tak ada
yang menyamai rasa keju kraft.
Keju Kraft yang paling sering kami konsumsi |
*
“Jadi, nenek juga suka keju kraft
kayak kita?” celutuk Nusaibah, anak ketigaku usai aku bercerita tentang kesamaan mereka dan neneknya.
Aku mengiyakan.
“Bukan nenek yang kayak kita, kita
yang kayak nenek. Nenek kan lebih tua jadi nenek lebih dulu doyan keju kraft
dong…” protes si sulung.
Protes si sulung disambut cekikikan adik-adiknya. Termasuk si bungsu yang baru berumur 2.5 tahun. Meski aku tahu, si bungsu ikutan cekikikan bukan karena ngerti namun ikut-ikutan melihat tingkah keempat kakaknya.
Si bungsu sedang menikmati selembar keju |
Dua anakku berebut lembaran keju kraft |
Terima kasih Mama yang sudah mengenalkan dan
membuatku jatuh cinta pada keju kraft. Kesetiaan mama pada keju kraft ternyata
juga diikuti anak-anakku. Keju kraft yang senantiasa di hati kami, dari
generasi ke generasi.
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging