Senin, Oktober 31, 2022

Derita Kontraksi Palsu

Sumber gambar: Pixabay

Pada kehamilan keempat, saya sempat mengalami kontraksi yang sangat hebat. Di satu sisi, saya pikir mungkin sudah mau melahirkan. Namun, di sisi lain, saya juga ragu karena usia kandungan belum cukup untuk melahirkan. Baru sekitar 8 bulan. Namun, rasa sakitnya ... Masya Allah, benar-benar sakit meski berbeda dengan rasa sakit saat akan melahirkan.

 

Beda sakitnya gimana? Kalau kontraksi biasa, ada jeda sehingga saya bisa melakukan aktivitas lain. Kalau konstraksi yang ini, gak ada jeda sama sekali. Yang ada hanya sakit dan sakit. Masya Allah.

 

"Coba jalan dulu biar nantinya mudah melahirkan." Saran suami.


Saya pun mencoba berdiri. Namun, baru beberapa langkah menyusuri masjid (saat itu kami masih tinggal di rumah imam masjid yang berdempetan dengan  masjid) saya menyerah. Sakit sekali. Dengan dibantu seorang akhwat (saat itu sudah ada beberapa akhwat yang  berjaga di rumah. Mereka datang ketika mengetahui kalau saya sudah kesakitan), berdua kami kembali duduk di tempat semula.


 Baca Juga: Ibu Bahagia, Kunci Melahirkan Anak-Anak Hebat


Akhirnya, suami memanggil ibu bidan yang cukup akrab dengan kami, Bidan Yayuk. Selama ini, sakit apa pun, kami selalu konsultasi dan memeriksakan diri ke beliau.

 

"Masih jauh. Sepertinya, belum saatnya melahirkan ..." Ucap Bidan Yayuk usai memeriksa kondisiku.

 

Bidan Yayuk kemudian berkomunikasi dengan temannya yang saat itu datang bersamanya.

 

"Tapi, sakit sekali Bu Bidan," keluhku menahan sakit.

 

"Coba nanti saya cek kembali, ya. Kebetulan, saya ada urusan. Jadi, saya tinggal dulu."

Beliau memang super sibuk. Sebagai bidan berdedikasi tinggi, beliau memang pemurah dan ramah sehingga disukai banyak orang.

 

Tinggallah saya ditemani teman-teman akhwat. Masya Allah, mereka benar-benar sangat membantu. Ada yang menemaniku menahan sakit, ada yang membersihkan rumah, ada yang memasak, dan ada yang menjaga tiga anakku yang lain. Alhamdulillah, saya bisa fokus dengan rasa sakit yang datang tiba-tiba sejak pagi.

 

Menjelang malam, rasa sakitnya tak kunjung berhenti. Bidan Yayuk yang datang memeriksa kembali, akhirnya menyerah. Menurutnya, belum saatnya bagiku untuk melahirkan. Lalu, rasa sakit itu dari mana?


 Baca Juga: Jaga Kesehatan Ibu Rumah Tangga dengan Memperhatikan Hal-Hal Ini


Akhirnya, saya dibawa ke dokter spesialis kandungan, satu-satunya dokter SPog yang ada di kota kecil itu saat itu (entah sekarang). Lagi-lagi teman-teman akhwat yang menyiapkan barang-barang keperluan untuk melahirkan. 

 

Setelah diperiksa, dokter tersebut menyatakan kalau saya sudah pembukaan dua. Namun, katanya ada masalah (entah apa, saya tidak bertanya kala itu atau sudah lupa). Kami pun disuruh pulang dan dokter pun menyuruh suami menyiapkan uang sekitar 1 juta rupiah untuk biaya operasi cesar.

 

Sumber Gambar: Pixabay

Kami pun pulang. Bukan pulang ke rumah, melainkan ke rumah tante yang memang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat praktik dokter. 

 

Melihat kondisiku, om dan tante segera menyiapkan kamar dan menyuruhku beristirahat. Suami pun menceritakan kondisiku, sementara saya masih terus kesakitan di kamar.

 

Saat itu kebetulan di rumah tante juga ada Tante Zul, sepupu tante sekaligus sepupu mamaku (tante dan mamaku bersaudara). Usai melihat kondisiku, Tante Zul memberitahukan tante kalau beliau melihat sesuatu yang ganjil.

 

"Kamu percaya gak dengan pengobatan kampung?" Dengan ditemani tanteku, Tante Zul kemudian berkata kepadaku.

 

Saya hanya bisa mengiyakan. Sepanjang itu bisa meredakan sakit ini dan tidak melanggar syariat, saya percaya.

 

"Kalau begitu, kamu mau saya obati?"

 

Lagi-lagi, saya kembali mengiyakan.

 

"Baik, nanti kamu akan saya injak-injak. Insya Allah, ini tidak berbahaya."

 

Saya hanya pasrah. Sakit yang tak terhingga membuatku tidak bisa berpikir lain.

 

Mulailah Tante Zul berdiri, sementara saya diminta terlentang. Pelan-pelan beliau menginjakkan sebelah kakinya ke bagian bawah perutku. Hal ini dilakukan berulang-ulang. Sungguh, meski diinjak-injak, tak sedikit pun saya merasa sakit.

 

Tiba-tiba ....

 

"Tante, sakitnya hilang!" pekikku kegirangan. 

Ya, rasa sakit yang menderaku sejak pagi tiba-tiba hilang. Masya Allah, perutku terasa adem banget, kembali kepada keadaan semula.

 

"Enak kita rasa, Nak?" Tanya tante yang juga sudah menyudahi pengobatannya. "Kita" dalam bahasa di SulSel artinya 'kamu' tapi lebih sopan. 

 

"Iye, Alhamdulillah." Jawabku penuh rasa syukur. 

 

Buru-buru tanteku mengabarkan kepada suami yang tengah bersiap di ruang tamu tante. Suami sedang berembuk dengan teman-teman kami yang kebetulan ikut mengantar malam itu. 

 

Saat itu kami memang hidup pas-pasan. Jangankan menyiapkan 1 juta rupiah sebagaimana yang diminta dokter untuk mengoperasiku, untuk mengumpulkan 100 ribu rupiah saja, kami harus nabung dulu. Suami kala itu bekerja sebagai penjual majalah keliling, jadi tentu bisa dibayangkan bagaimana ekonomi kami saat itu.

 

Seperti dugaanku, suami tengah mencari pinjaman kepada teman-temannya. Kebetulan, ada salah seorang teman yang ekonomi keluarganya lumayan baik. Dia bersedia meminjamkan uang kepada kami. 

 

Tentu saja, suami sangat lega melihat kondisiku sekarang. Suami juga tak henti-hentinya mengucap syukur. Selain karena kondisiku yang kembali pulih, kami pun terhindar dari berutang. Satu hal yang paling kami hindari. 

 

Malam itu teman-teman yang menemani kami akhirnya kembali ke rumah masing-masing. Saya, suami, dan anak-anak masih tinggal beberapa hari lagi di rumah tante. 

 

Setelah keadaan tenang, Tante Zul pun bertanya, apa yang saya lakukan sebelumnya. Saya pun teringat bahwa beberapa hari yang lalu saya minta diurut oleh Mbah Tukang Urut, tetangga kami. Dengar-dengar, beliau bisa membantu melancarkan persalinan dengan urutannya tersebut. 

 

Tante Zul pun menduga kalau itulah penyebabnya. Menurut Tante Zul, kesakitan yang saya alami akibat janin yang ada di perutku berada dalam posisi terjepit. Mungkin, akibat salah urut, posisi janin pun bergeser dari tempatnya semula. 

 

Tante Zul pun bercerita kalau selama ini ia terkadang dimintai membantu orang melahirkan di kampung. Istilahnya, beliau dukun beranak. Malahan, proses kelahiran ketujuh anaknya, semuanya dilakukannya seorang diri. Terkadang, Tante Zul dibantu oleh Nenek Dajeng, mama Tante Zul. Adapun suaminya, hanya bisa ikut membantu sedikit karena takut melihat darah. 

 

Karena keahliannya itulah, Tante Zul mampu menganalisis  kondisi ibu hamil yang dilihatnya. Maka, begitu pulalah dengan kondisiku saat datang. 

 

"Bukan kondisi orang yang mau melahirkan ..."

 

Bidan Yayuk yang datang keesokan paginya juga ikut bersyukur dengan kondisiku yang sudah sembuh dan tidak jadi dioperasi. Saat itu, saya dan suami pun bersyukur karena malam itu tak punya uang sehingga tidak serta merta mengiyakan permintaan dokter untuk mengoperasiku. 

 

"Ada untungnya juga jadi orang miskin ..." ucapku lirih. 

 

Alhamdulillah, sebulan kemudian, saya pun melahirkan di Makassar. Meski suami tak bisa menemani (sama seperti proses kelahiran si nomor 2 dan nomor 3), saya diantar ke rumah sakit yang tak jauh dari rumah oleh ibu mertua dan adik ipar. Sebenarnya, saya sudah menetapkan akan melahirkan di Klinik Wihdatul Ummah, tetapi karena letaknya yang lumayan jauh sementara air ketubanku sudah pecah saat masih di rumah, keluarga memutuskan untuk pergi ke tempat terdekat saja.  

 

Sumber Gambar:
https://www.alodokter.com/cari-rumah-sakit/rumah-sakit-islam-faisal-makassar

Maka, bertempat di Rumah Sakit Islam Faisal, tepat usai mengedan untuk kedua kalinya dan bersamaan dengan azan Subuh, lahirnya si nomor 4. Di subuh hari itu, tepat pada 7 April 2007. Alhamdulillah, kini putriku berumur 15 tahun. 

 

Sebuah nama kami berikan untuknya, Khaulah Qoniah Possumah. Nama yang kami ambil dari nama salah seorang sahabiyah yang mulia. Banyak doa yang kami berikan untuk putri kami tercinta itu. Sesuai namanya, semoga ia menjadi anak yang salehah serta menjadi penyejuk mata dan kebanggaan bagi kedua orang tuanya, keluarga, serta agamanya. Aamiin ya Rabbal Alamin. 


Senin, Oktober 24, 2022

Keseruan Membawa Air Zam-Zam Saat Pulang Umroh

 

Saat umroh Ramadhan 1443 H kemarin, pengalaman unik yang masih ingin saya bagi adalah perjuangan membawa pulang air zam-zam. Mungkin akan ada yang bertanya. “Memang harus diperjuangkan, ya?” Hehehe.

Jadi begini, sejak Virus Covid-19 menyerang seluruh penjuru dunia hingga kemudian dinyatakan sebagai pandemic, banyak sekali aturan-aturan di dunia ini yang kemudian harus disesuaikan. 

Nah, salah satunya urusan haji dan umroh. Sebagaimana kita ketahui, pada 2020-2021, pelaksanaan  kedua ibadah itu sangat dibatasi. Nanti menjelang Ramadhan 2022, barulah kebijakan pembatasan itu lebih diperlonggar. 

Meski demikian, entah mengapa untuk urusan air zam-zam, sangat dibatasi bahkan dilarang untuk dibawa pulang. Padahal, air zam-zam merupakan oleh-oleh utama yang sangat dinantikan bagi keluarga maupun kerabat yang ada di tanah air. Memang, ada juga air zam-zam yang dijual di tanah air. Namun, tentu saja beda dengan yang langsung dibawa oleh jemaah haji/umroh.


Paket buka puasa saat di pelataran Masjidil Haram


Menu berbuka puasa di dalam Masjidil Haram

Inilah salah satu rumor yang menggelisahkan kami, para jemaah umroh, saat itu. Persediaan air zam-zam yang melimpah di Tanah Haram membuat kami ingin membawanya sebagian ke tanah air. Sebelumnya, kami sempat diberitahu oleh salah seorang jemaah cara menyiasati agar bisa membawa air zam zam ke tanah air. Biar gak ketahuan, botol air mineral yang telah diisi air zam zam itu kami bungkus dengan lakban. Selain bisa mengelabui, cara ini juga untuk mencegah air tersebut tumpah di dala koper.

Saya yang termasuk mengikuti kiat tersebut. Botol-botol air mineral yang telah diisi air zam-zam saya bungkus dengan lakban coklat. Botol-botol itu kemudian saya selipkan ke dalam pakaian berwarna hitam. Lumayan, ada beberapa botol yang siap untuk dibawa  pulang. 

Baca Juga: 9 Tips Wisata Luar Negeri Hemat 

"Mohon kepada jemaah untuk tidak membawa pulang air zam-zam, termasuk menyembunyikannya di dalam koper. Hal ini sudah dilarang oleh pemerintah Saudi. Jangan sampai karena ulah 1 orang yang ketahuan membawa air zam-zam, 1 jemaah yang kena imbasnya. Jangan sampai kita terhambat pulang karena urusan ini."

Demikian penyampaian dari pihak travel. Heboh dong kami semua. Apalagi pihak travel juga tidak bisa menjamin apakah setiap jemaah akan diberikan 1 galon air zam-zam isi 5 liter, sebagaimana yang selama ini berlaku, atau tidak. 

"Bagaimana, nih?"

Saya dan enam orang teman sekamar saling melemparkan pertanyaan. Duh, ragu banget. Di satu pihak, ini kesempatan emas bisa membawa pulang air zam-zam. Namun, di sisi lain, kami juga diwajibkan untuk taat aturan, termasuk taat dengan penyampaian dari ketua rombongan.

"Ya, udah, kita sami'na wa atho'na saja. Kita patuh dengan arahan ketua rombongan." 

Keputusan ini akhirnya kami ambil. Botol-botol yang sudah disegel, kami keluarkan dari koper. Kami saling menguatkan dan saling mengikhlaskan. Tak lupa, kami saling tertawa usai membuka botol yang sudah kami segel dengan sangat ketat dan kuat.

Alhamdulillah, pihak travel kemudian mengabarkan kalau kami nantinya akan mendapatkan air zam-zam 1 galon per orang. Berita baik ini tentu saja kami sambut dengan sangat gembira. Alhamdulillah, tidak sia-sia kami membuka segel botol, hehehe.

Kebijakan ini diperoleh usai kami mendapat kabar kalau jadwal kepulangan kami akan diundur sehari dan juga adanya pergantian bandara. Jadi, kami awalnya direncanakan pulang pada 5 Mei 2022 dan lewat Bandara Jeddah. 

Baca Juga : Pengalaman Mencari Raudhah saat Umroh Ramadhan 1443/2022

Qadarallah, situasi bandara Jeddah yang sangat kacau balau kala itu akibat banyaknya jemaah umroh yang harus pulang, membuat masa tinggal kami di sana pun diperpanjang. Kami juga nantinya akan pulang lewat Bandara Madinah, sebagaimana tempat kami saat datang. Pihak travel tidak berani membawa kami ke Jeddah diakibatkan kekacauan yang terjadi di sana. Alhamdulillah, kami pun kembali ke Madinah dan sempat menginap satu hari di hotel yang berbeda saat kami datang.



Mengambil air zam zam sebelum pulang

Saat subuh terakhir di Mekkah, saya dan suami kembali ke Masjidil Haram. Niatnya, kami akan mengerjakan thawaf wada'. Qadarallah, usai shalat Subuh dan bersiap thawaf, saya merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Benar saja, saya haid. Akhirnya, suami mengerjakan thawaf wada seorang diri. Saya pun menunggu suami sembari berjalan-jalan menyusuri pelataran Masjidil Haram. Saya juga menyempatkan diri masuk ke mal. Hanya saja, saya tidak berani terlalu jauh pergi dari titik yang telah ditentukan suami menjadi tempatku menunggu. 

Sekitar satu jam kemudian, suami pun muncul. Setelah berganti pakaian, kami pun berjalan-jalan sebentar, sekadar cuci mata. Kami tak bisa berlama-lama karena siang ini rombongan akan ke Madinah.

Sebelum pulang ke hotel, kami menyempatkan untuk mengisi kantung plastik isi 5 liter yang kemarin saya beli dengan air zam-zam. Tak hanya itu, beberapa botol plastik mineral juga kami isi dengan air zam-zam. Rencananya, kami  air tersebut akan menjadi persediaan minum kami  selama dalam perjalanan ke Madinah dan saat menuju bandara di keesokan harinya. Seperti kata ustaz, selama kami di Tanah Haram, usahakan untuk hanya meminum air zam-zam. Bahkan, saya pernah membawa pulang air zam-zam ke hotel untuk dipakai mandi. Ngalap berkah, ceritanya, hehehe.


Bandara Madinah

Alhamdulillah, singkat cerita, rombongan kami tiba di bandara Madinah sekitar pukul 11 menjelang siang. Namun, saat sampai di bandara, kami tidak bisa langsung turun. Entah apa yang terjadi. Beberapa kali juga petugas bandara naik ke bus entah untuk apa. Yang jelas, mereka sepertinya menghitung jumlah atau melihat kondisi kami. Cukup lama kami menunggu di dalam bus. Namun, kata ustaz itu lebih baik daripada kami menunggu di luar yang saat itu cuacanya cukup panas. Cuaca Arab dilawan, hehehe.


Petugas yang sibuk memeriksa

Saat itu terasa betapa hetric-nya pihak travel yang harus menyesuaikan berbagai hal dengan pihak imigrasi. Semuanya tak lepas dari imbas kekacauan yang terjadi di Bandara Jeddah. Alhamdulillah, kami tidak perlu mengalaminya. Seram sih, soalnya dengar-dengar banyak jemaah yang terlantar karena tidak bisa masuk bandara karena di dalam bandara sangat banyak calon penumpang. 

Akibatnya, banyak yang harus menunggu di luar bandara karena bandara terpaksa dikunci sementara. Mana di luar gak ada fasilitas sebagaimana di dalam bandara. Kebayang kan gimana kalau ada yang ingin buang air sementara di sekitarnya gak ada toilet. Baca di berita, kepala bandara sampai dipecat gara-gara urusan ini. 

Karenanya, kami pun diminta berdoa agar urusan kami dapat diselesaikan dengan baik.  Kami bisa segera terbang dan pulang kembali ke tanah air. Tentu saja, kami ikut deg-degan mendengar semua yang diberitakan tentang bandara Jeddah. Kami khawatir, bandara Madinah juga ikut kena imbasnya. 






Alhamdulillah, akhirnya kami turun juga dari bus

Alhamdulillah, setelah sekian lama tanpa kepastian, akhirnya kami pun diizinkan turun dari bus. Lega rasanya. Satu per satu, kami turun dengan memperhatikan barang bawaan masing-masing. Meski koper-koper sudah dibagasikan, ternyata barang tentengan jemaah juga masih banyak. Termasuk saya dan suami yang menenteng 4 tas jinjing dan 2 tas selempang.

Bergegas kami kemudian masuk ke tempat yang telah disediakan. Di sini, kami masih harus menunggu selama beberapa jam hingga boarding pass seluruh jemaah keluar. Kondisinya lumayan panas karena kami hanya dinaungi tenda meski ber-AC. Lebih nyaman rasanya menunggu di dalam musala daripada di luar. Alhamdulillah, saya pun sempat memejamkan mata dan beristirahat beberapa saat. Sekadar merebahkan badan sekalian menyimpan tenaga buat perjalanan panjang nanti. 


Menunggu boarding pass


Setelah masing-masing jemaah mendapatkan boarding pass-nya, kami pun bergegas masuk ke bandara. Kami sempat gelisah karena di boarding pass tercatat kalau penerbangan kami akan dilakukan pukul 14.00, sementara saat itu sudah pukul 15 lebih. Namun, kata travel, tidak usah khawatir ketinggalan pesawat. Baiklah. 


Memasuki Bandara Madinah


Mulai panik karena ternyata banyak yang over bagasi

Di ruang tunggu bersama jemaah umroh dari negara lain


Jadwal penerbangan kami


Tiket pulangku



Teman-teman jemaah yang baru berdatangan

Akhirnya, tibalah di saat yang paling menentukan dan mendebarkan, di bagian imigrasi. Saat antre di bagian imigrasi, saya masih memiliki sedikit sisa air zam-zam dalam kantong air dan 4 atau 5 botol plastik. Air tersebut ada yang saya simpan di tas jinjing dan ada juga yang di tas ransel. Saat itu saya sudah pasrah. Kalau memang akan disita, silakan saja.

"Boleh bawa ini?" Salah seorang jemaah asal Indonesia yang ada di dekatku bertanya kepada salah seorang petugas imigrasi yang sejak tadi berseru untuk menertibkan kami.

 "Sabur ... sabur!" tak henti-hentinya petugas berpakaian hitam-hitam itu berusaha menertibkan kami. 

Iseng, saya jawab, "La sabur ... sabar!"

Hihihi, saya dan beberapa jemaah yang ada di sana pun tersenyum melihat kesalahan bahasa mereka.

Nah, kembali pada si ibu tadi ... tanpa ba bi bu, galon berisi air zam zam itupun disita. Si ibu tidak diizinkan membawa galon air tersebut.

Panik dong saya. Lha, saya juga membawa galon plastik meski isinya tidak sebanyak isi galon ibu tersebut. Namun, saya juga sudah pasrah. Kalau memang harus disita, ya silakan ambil aja.

Alhamdulillah, usai melewati pemeriksaan, saya lolos. Tas ransel berisi air zam-zam yang saya bawa tidak diambil. Lega banget. Tak berapa lama, ssalah seorang teman sekamarku juga berseru riang karena 3 botol air zam-zam-nya juga tidak disita. 

Segera saya mencari suami yang masih berada di barisan antrean. Namun, ternyata suami yang juga membawa tas jinjing dan berada di antrian yang berbeda ternyata ditahan petugas. Tas jinjing akan diperiksa. Suami pun memanggilku mendekat.

"Airnya ditahan, ya?" tanyaku begitu berada di dekat suami. 

"Bukan. Katanya ada benda tajam di dalam tas!" jawab suamiku. Seorang petugas berdiri di hadapan kami dengan posisi memegang tas jinjing tersebut. 

"Gak ada benda tajam. Periksa saja kalau tidak percaya!" jawabku dengan yakin yang langsung disampaikan ke petugas tersebut. Soalnya, saya yang memasukkan barang-barang ke tas tersebut.

Petugas itu kemudian konfirmasi kembali ke rekannya. Tas kami pun kembali di-scan. Saat itulah kami melihat kalau ternyata ada gunting di dalamnya. Ya Allah, ini gunting yang kucari-cari sejak kemarin. Saya malah berpikir kalau guntingnya ketinggalan di hotel. Masya Allah, ternyata ada di tas ini.

Petugas itu kemudian membuka tas di hadapan kami. Dengan cekatan ia  mengeluarkan isi tas, termasuk pakaian dalamku yang ada di dalamnya. Buru-buru saya mengambil dan menyembunyikan pakaian dalam tersebut. Mana warnanya lumayan ngejreng. Hikz. Gak masalah guntingnya diambil, tapi tolong itu pakaian dalamku ...


Alhamdulillah, kami sudah naik di pesawat



Suasana dalam pesawat.
Masih banyak yang kosong karena ternyata saya dan suami masuk antrian awal

Alhamdulillah, kami naik ke pesawat sekitar pukul 19.30-an. Setelah menempuh sekitar 10 jam perjalanan, kami pun tiba di Jakarta sekitar pukul 16 WIB. Setelahnya, kami harus mengantri bagasi sekitar 2 jam. Selesai urusan bagasi, kami kembali harus pindah ke terminal domestik yang akan membawa kami ke Makassar.

Kami tiba di Makassar sekitar pukul 9 atau 10 malam. Pihak travel kemudian menyampaikan kalau ternyata air zam-zam kami belum tiba. Rupanya jatah kami dibawa dengan 2 pesawat yang berbeda. Dari kedatangan pertama, jatah air zam-zam sudah diberikan kepada jemaah yang tidak ikut ke Makassar (jemaah Jakarta dan sekitarnya).

Sebagian jemaah memilih untuk menunggu kedatangan air zam-zam yang katanya akan tiba pukul 01 atau 03 dini hari. Pihak travel kemudian mempersilahkan jemaah yang ingin pulang untuk kembali ke rumah masing-masing. Adapun jatah air zam-zamnya akan disimpan di kantor travel.

Maka, pulanglah saya dan suami usai berpamitan. Qadarallah, stok air zam-zam yang masih tersisa tinggal 1 botol. Memang, selama dalam perjalanan sejak tiba di Jakarta, saya terus meminumnya karena memang kami tidak punya air minum yang lain dan saya pikir kami bakal dapat jatah 2 galon air zam-zam. Alhamdulillah, kondisi saya masih fit, bahkan tidak lapar sama sekali meski saat itu sudah lewat tengah malam.

Qadarallah, beberapa hari kemudian kami diberitahukan di WAG kalau ternyata air zam-zam yang dijanjikan akan diberikan untuk 1 orang per galon tidak bisa ditepati. Rupanya, paket galon jemaah yang dari Saudi berkurang jumlahnya yang sampai ke tangan pihak travel. 

Sumber Gamba: Lazada.co.id

"Sepertinya, ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang mengambilnya tanpa izin saat paket tersebut tiba di bandara." demikian yang disampaikan pihak travel.

Saat itu suami baru teringat kalau ada dari jemaah kami yang juga melakukan hal tidak terpuji seperti itu. Saat tiba di bandara tanah air dan ada paket air zam-zam teronggok dalam troli tanpa pengawasan (bukan milik jemaah kami), mereka mengambil galon air tersebut. Suami sudah memperingatkan, tetapi mereka tidak peduli. Mungkin, seperti itu jugalah yang terjadi dengan paket galon kami.  

Yah, begitulah manusia. Padahal, kita baru saja mengerjakan ibadah yang sangat agung di Tanah Haram. Namun, begitu menginjakkan kaki di tanah air, kita langsung mengerjakan perbuatan haram. 

Alhamdulillah, beberapa waktu kemudian, kami pun mendapatkan satu galon air zam-zam. Galon berisi 5 liter air zam zam itu pun segera kami bagikan kepada keluarga dekat. Gak apa-apa, masing-masing dapat sedikit. Semoga berkah.

***