Pagi itu, sesuai kesepakatanku dengan mama, aku menuju Kantor Imigrasi Kelas 1 Makassar yang berada di Jalan Perintis Kemerdekaan. Mulanya, Mama berniat mengajakku ke Kantor Imigrasi yang berada di Jalan Sultan Alauddin karena lebih dekat dari rumah kami.
Namun ketika kuutarakan pengalamanku yang
kehabisan nomor pada saat ke tempat tersebut padahal jarum jam baru menunjuk
pukul 8 pagi maka mama pun mengurungkan niatnya. Soalnya gak ada jaminan mama
bisa ke tempat itu lebih pagi lagi. Dengan kondisi tersebut aku pun mengajak
mama ke kantor imigrasi yang di Perintis aja. Meski jauh namun di sana
pengambilan nomor antrian lebih fleksibel, dimulai pukul 7.30-10.00 pagi.
Sekitar pukul 6.30 pagi aku pun meninggalkan rumah. Menurut perkiraanku,
lama perjalanan sekitar satu jam sehingga aku tiba perlu menunggu lama sebelum pintu terbuka. Atau pun sekiranya pintu telah terbuka aku tidak tertinggal terlalu lama.
Alhamdulillah, ternyata aku tiba lebih cepat dari perkiraanku. Jalanan yang cukup lengang dan belum terkontaminasi macet membuatku tiba sekitar setengah jam kemudian. Ya, tepat pukul 7 lebih satu menit aku telah tiba di tempat tujuan.
Alhamdulillah, ternyata aku tiba lebih cepat dari perkiraanku. Jalanan yang cukup lengang dan belum terkontaminasi macet membuatku tiba sekitar setengah jam kemudian. Ya, tepat pukul 7 lebih satu menit aku telah tiba di tempat tujuan.
"Ibu-ibu dan Bapak-bapak, tolong untuk tetap tenang di
tempatnya, semuanya akan dilayani karena loket pengambilan nomor akan tetap
dibuka hingga pukul 10.00 nanti...." salah seorang petugas imigrasi
keluar dan memberi arahan kepada kami yang telah menunggu sedari tadi dan mulai
terlihat tidak sabaran.
Setelah memberikan arahan, salah seorang satpam kemudian membagikan
formulir yang harus diisi dengan biodata
para pemohon. Di formulir tersebut juga sekaligus terdapat nomor antrian yang diurut berdasarkan tempat
duduk. Karena duduk paling belakang, aku pun mendapat nomor antrian ke 61.
Huah, kalau tahu begini tadi aku mengambil tempat duduk paling depan.
Satu persatu nomor antrian kemudian dipanggil petugas untuk menyerahkan
dan memperlihatkan berkas para pemohon. Aku sempat khawatir dengan nomor
bengkak seperti ini tentunya aku dan mama akan dilayani belakangan.
"Untuk lansia, tidak usah ikut antrian. Langsung saja mendatangi
loket dan memperlihatkan berkas-berkasnya" Pak Satpam yang tadi
bertugas membagi formulir kemudian mengumumkan sebuah pernyataan.
"Yang kelahiran tahun 50-an langsung saja ke loket lansia"
salah seorang bapak (sepertinya calo) berseru diantara para pemohon.
Tentu saja aku langsung bersorak. Meski tidak tahu pasti kapan tahun
lahir mamaku tapi aku yakin mamaku lahir di tahun 1950-an. Itu berarti kami
tidak perlu mengular mengantri.
Qadarallah, mama baru datang hampir pukul sembilan.
"Macet"
Aku tidak terlalu memedulikan penjelasan mama. Langsung saja aku
bertanya apa betul mama lahir tahun 50-an. Dan ketika mama mengiyakan, aku
langsung menyuruh beliau duduk dan aku pun bergegas maju menuju loket tanpa
antrian.
"Untuk lansia di mana?" tanyaku pada petugas yang
bertugas memanggil nomor antrian.
"Langsung naik aja di atas untuk foto" jawabnya
Sejenak aku bingung, kok ke atas sih. Pengalaman beberapa bulan yang
lalu saat aku mengurus pasportku dan passport anak-anak, para lansia dilayani
di loket ini. Karena ragu (soalnya dari tampilannya, kayaknya si petugas itu
anak magang takutnya dia salah) aku bergegas menemui pak satpam yang tadi
mengeluarkan pengumuman. Dan ternyata memang benar, untuk lansia langsung ke
lantai dua.
Aku pun bergegas mengajak mama ke lantai dua. Sampai di atas hanya ada
tiga orang yang sedang duduk di jejeran kursi. Dua diantaranya adalah lansia.
Aku meminta mama menunggu sementara aku akan mengurus semuanya.
"Pak, saya mau mendaftar untuk lansia..." ucapku pada
salah seorang petugas yang tengah duduk di balik meja.
"Oh, langsung saja ke dalam untuk foto" petugas
tersebut menunjuk ke ruangan berkaca yang ada di sampingnya.
Aku pun bergegas menuju tempat yang ditunjuk. Meski terus terang agak
bingung juga. “Kok langsung difoto, sih?”
"Map kuningnya mana?" tanya salah seorang petugas yang
berada di ruangan tersebut. Ada dua
orang petugas yang berada di ruangan kecil tersebut.
"Mapnya ambil dimana?" aku balik bertanya. Bingung.
"Ambil di luar..."
Aku pun bergegas keluar. Bertanya kepada petugas yang tadi.
"Map kuning ambil di bawah, Bu. Sekalian perlihatkan dokumennya"
jawab si bapak Petugas. Duh Pak, kok gak bilang dari tadi.
Aku pun kembali turun. Tentu saja mama tetap kuminta menunggu di
tempatnya.
"Mbak, kalau mau ambil map kuning di mana, ya?" aku
kembali bertanya kepada petugas (yang kuduga magang) tersebut.
Untuk sesaat dia bingung.
"Untuk lansia, Mba..." jelasku berusaha menjawab
kebingungan di wajahnya.
"Coba tanya ke petugas di sana...." si mba itu kemudian mengarahkanku ke petugas
yang berada di loket di sebelahnya. Namun karena sibuk melayani pemohon lain,
aku pun berpindah ke loket sebelahnya yang sedang kosong, loket 3.
"Bu, perpanjangan passport untuk lansia benar di sini?"
tanya basa basi aku langsung bertanya ke ibu petugas tersebut.
Ibu itu mengangguk. "Boleh saya lihat dokumen-dokumen asli dan
fotokopinya?"
Aku pun bergegas menyerahkan semua dokumen yang diminta. Tanpa banyak
bicara, si ibu tersebut memasukkan semua dokumen foto kopi ke dalam map kuning
dan menyerahkan dokumen asli kepadaku. Beliau pun mengarahkanku kembali ke
lantai dua.
Sampai di lantai dua, aku langsung menuju ruangan pemotretan dan
meletakkan map kuning di atas meja. Setelah itu aku menunggu di luar
sebagaimana yang diperintahkan.
"Ibu Fulanah..." tak lama berselang nama mamaku
dipanggil.
Aku dan mama bergegas masuk. Untuk sesaat kami disuruh menunggu karena
kedua petugas tersebut tengah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Beberapa
menit kemudian nama mamaku dipanggil dan beliau pun duduk berhadap-hadapan
dengan salah seorang petugas di ruangan tersebut.
"Ibu, siapa yang suruh kemari?" petugas tersebut membuka pembicaraan setelah
memeriksa dokumen mama.
"Petugas yang di bawah bilang, katanya lansia langsung saja ke
lantai dua" aku buru-buru menjawab.
"Memang benar di sini untuk lansia, tapi Ibu Fulanah belum
termasuk lansia. Yang lansia itu kelahiran tahun 1953 ke atas, jadi 53, 52, 51
dan seterusnya sementara Ibu kelahiran 1956...." jelas petugas
tersebut.
Tentu saja aku dan mama sangat terkejut.
Kami saling berpandangan. Sayup-sayup terdengar dari bawah suara petugas
memanggil nomor antrian 25. Masih sangat lama menuju nomor antrian 61 yang ada
di tanganku.
"Tadi dokumennya diperiksa di loket berapa?" tanya
petugas itu kembali
"Loket tiga" jawabku cepat.
"Kok dia gak periksa ya...." gumam petugas tersebut.
Dalam hati aku berdoa. Semoga bapak Petugas ini memberikan keringanan.
Kasihan mama kalau harus antri di bawah.
"Ya sudah, biar di urus di sini saja. Ibu mengurus passport
untuk apa? Mau umroh?"
"Haji, Pak " jawab mama
"Oh, Ibu akan berhaji tahun ini. Selamat ya."
"Insya Allah tahun depan, Pak. Tapi siapa tahu ada rezeki mau
umroh dulu. " jawab mama lagi
"Oh ya bukti pembayaran hajinya ada?" tanya petugas tersebut kembali
Kali ini mama berbisik padaku. Katanya bukti pembayaran ada pada adik
kakek yang tinggal di Jakarta. Selama ini beliau yang mengurus keberangkatan mama di travel
miliknya. Yang ada di rumah cuma fotokopinya.
Aku pun menjelaskan sebagaimana yang dibisikkan mama. Petugas tersebut
kemudian menulis catatan di map kuning bahwa saat pengambilan passport nantinya
mama harus menyertakan fotokopi bukti pembayaran tersebut.
Mama kemudian diminta pindah ke kursi yang tepat terdapat kamera di depannya. Rupanya langsung masuk sesi pemotretan.
“Oya, tolong anaknya diminta membeli surat pernyataan perbedaan data yang dijual di koperasi. Soalnya nama ibu di dokumen berbeda"
Aku tahu pasal ini. Soalnya saat mengurus passport anak-anakku aku juga harus mengisi surat pernyataan serupa karena data anak-anakku berbeda antara akta kelahiran dan kartu keluarga.
Kisah Selengkapnya di sini...... http://www.haeriahsyam.com/2016/01/perpanjang-passport-sendiri-yuk.html
Aku pun bergegas menuju koperasi dan membeli surat yang diminta seharga Rp 10.000. Saat kembali, rupanya mama juga telah selesai difoto sehingga aku tinggal menyerahkan surat pernyataan yang dimaksud dan kami pun bisa pulang. Insya Allah, passport baru mama akan selesai setelah 5 hari kerja terhitung sejak mama melakukan pembayaran di BNI. Oh ya, pembayarannya RP 355.000 plus biaya bank Rp 5.000.
Akhirnya selesai juga pengurusan perpanjangan passport mama. Alhamdulillah, semuanya selesai tak sampai satu jam sejak kedatangan mama. Untung saja tadi kami nyasar. Kalau tidak, tentunya kami masih harus antri pada nomor yang setelah semua pengurusan selesai belum juga dipanggil.
Alhamdulillah ala kulli hal.
DOKUMEN PENGURUSAN PERPANJANGAN PASPORT UNTUK LANSIA
• Kartu Tanda Penduduk (KTP) Asli + Fotokopi
• Kartu Keluarga (KK) Asli + Fotokopi
• Akte Kelahiran Asli + Fotokopi
• Surat Nikah (Bagi Yang Sudah Menikah) Asli + Fotokopi
• Ijazah Terakhir Asli + Fotokopi
• Passport Lama Asli + Fotokopi
• Keterangan Umroh/Haji (Sekiranya akan berhaji atau umroh)
Wahhh.. aku baru tau mba ada loket khusus lansia. Berarti bpk ku yg kelahiran 58 jg hrs antri biasa ya. Belum lansia. Byk bgt di tulisan ini yg mau sy ceritakan ke bpk ibu. Makasih byk ya mba..
BalasHapusAlhamdulillah ada kebijakan khusus buat lansia, kasihan juga kan kalau mereka harus antri lama. Iya mba, yang lansia itu hitungan tahun 53 ke atas..... Terima kasih kembali mba udah mampir
Hapuspernah ngurusin passport uti ku yang mau umroh
BalasHapusdan susah bgt soalnya surat2 uti ku ga lengkap
akta lahir dlsb udah hilang semua
akhirnya di bantu dengan bayar sekitar 1.5jt hemm
alhamdulillah udah jadi tp emang butuh waktu