Alhamdulillah, sampai di titik ini saya masih tetap bergelut di
dunia tulis-menulis. Meski kini lebih banyak bermain di dunia
sunting-menyunting, menulis tetap kulakukan. Bagaimanapun, saya telanjur bucin
banget dengan aktivitas tersebut.
Berbicara tentang dunia kepenulisan, saya tak pernah bisa melupakan
sosok yang telah mengenalkanku dengan dunia ini. Dialah Verni Sindara, satu
nama dan rupa ini takkan pernah bisa saya lupakan seumur hidupku. Gadis kecil
berwajah cantik, berkulit putih, berambut lurus sebahu dengan karakter yang
senantiasa hangat dan memotivasi.
Kami dahulu sekelas selama bersekolah di SD Mattoanging 1,
sekolahku dulu. Sayangnya, sejak menyelesaikan sekolah di SD yang jaraknya
cukup dekat dari rumahku itu, saya tak pernah lagi mendengar atau mengetahui
kabar Verni.
Oh ya, kata adikku, beberapa tahun yang lalu ada seseorang yang
mengaku bernama Verni dan mengaku sebagai teman SD-ku yang datang ke rumah dan
mencariku. Sayangnya, saat itu saya tidak menetap di Makassar dan adikku tidak
meminta nomor ponsel Verni sehingga saya bisa menghubunginya nanti.
Zaman sjekolah dahulu, Verni suka dan pandai membuat puisi. Sudah beberapa kali puisinya dimuat di Harian
Pedoman Rakyat (PR), koran lokal kotaku yang sayangnya saat ini sudah tidak
lagi terbit.
Kecintaan Verni pada puisi kemudian coba ditularkannya kepada kami,
kawan sekelasnya. Banyak yang antusias, terlebih ketika mengetahui kalau satu
puisi yang dimuat dihargai lima ratus rupiah.
*Duit segitu cukup banyak loh untuk anak SD dengan rata-rata uang
jajan seratus rupiah per hari.
Maka jadilah kami mempunyai kesibukan sendiri. Setiap hari kami
berusaha membuat puisi dengan bimbingan seadanya dari Verni. Bukan hanya itu,
Verni juga selalu mengajak kami mendatangi kantor redaksi koran PR untuk
membawa langsung hasil tulisan kami.
Pekan pertama, jumlah kami cukup banyak. Dengan berjalan kaki
sepulang sekolah, saya, Verni serta beberapa orang teman menapaki sepanjang
jalan Cendrawasih (sekarang diganti Namanya menjadi Jalan Opu Dg Risaju). Jarak
antara sekolah kami dengan kantor redaksi koran tersebut sekitar 1,5 km.
Jauh?
Capek?
Semuanya itu tertutupi dengan keriangan kami. Sepanjang jalan kami
bercanda sehingga tak terasa langkah-langkah mungil kami akhirnya sampai juga
di kantor bercat putih tersebut.
Selepas menitipkan hasil karya kami lewat Pak Satpam yang berjaga,
biasanya kami tidak langsung pulang. Kami mampir terlebih dahulu di toko buku
yang berada di lantai bawah dan masih satu areal dengan kantor redaksi.
Sayangnya, kami jarang membeli buku (gak ada duit, he-he-he). Kami hanya melihat-lihat koleksi buku sembari
mencuri-curi baca sebelum ditegur pegawai toko buku.
Kegiatan tersebut rutin kami jalani. Setiap hari Kamis, saya dan teman-teman
menyiapkan puisi-puisi terbaik kami. Suasana kelas mendadak bak ruangan workshop
pelatihan puisi. Setiap puisi yang selesai kami buat, diseleksi oleh Verni
sebelum dimasukkan ke amplop. Verni senantiasa memeriksa apakah di karya
tersebut sudah tercantum nama, sekolah, serta kelas penulisnya.
Setelah semua beres, amplop-amplop tersebut disatukan untuk dibawa
langsung ke kantor redaksi PR. Biasanya Verni membawa amplop-amplop tersebut
sepulang sekolah atau paling lambat hari Jumat, keesokan harinya.
Dan, kerja keras tersebut terbayar di hari Senin. Setiap hari
Senin, Verni akan membawa koran hari Ahad (rubrik puisi anak hanya terbit di
hari Ahad) dan membagikan kabar gembira tentang puisi siapa saja yang berhasil
dimuat.
Tentu saja, puisi Verni yang paling sering dimuat. Puisi
teman-teman yang lain hanya sesekali dimuat. Lalu, bagaimana denganku? Meski
saya paling sering membuat puisi dan
paling sering menemani Verni ke kantor redaksi koran tersebut (terkadang
malah kami hanya berdua karena teman-teman yang lain lebih sering menitipkan
karyanya karena tidak mau ke kantor tersebut dengan berbagai alasan), tetapi
tak satu pun puisiku dimuat.
"Sabar, kita bikin yang lebih bagus lagi ya. Suatu hari nanti
pasti dimuat kok ...." Verni terus menyemangati di tengah-tengah
kegembiraannya maupun kegembiraan teman yang puisinya berhasil dimuat di koran.
Namun, semangat itu akhirnya pupus juga. Setelah setahun lebih
berjuang demi menghasilkan puisi-puisi terbaik, saya pun menyerah. Saya tak mau
membuat puisi lagi. Sudahlah, saya tidak berbakat membuat puisi.
Verni pun kehilangan satu-satunya teman yang selama ini masih setia
menemaninya menapaki sepanjang Jalan Cendrawasih.
Namun, saya tidak peduli. Sama tidak pedulinya dengan semua bujukan
Verni agar saya mau membuat puisi lagi. Saya pun mencoba melupakan semuanya.
Melupakan keinginanku melihat karyaku dimuat di koran, melupakan keinginan
merasakan nikmatnya honor pemuatan, dan melupakan diberi ucapan selamat dari
teman-teman.
Namun, apakah benar saya melupakan semuanya? Ternyata tidak. Dan
saya harus mengucapkan beribu-ribu terima kasih pada Verni setelah beberapa
tahun kemudian.
Saat saya kembali mulai menulis, merapikan karyaku, melipatnya ke
dalam amplop, memberi sebaris kata di depan amplop serta mengantarkan amplop
tersebut. Semuanya, saya pelajari dari Verni.
Dan, ketika karya pertamaku dimuat maka orang pertama yang kuingat
adalah Verni. Lihatlah teman, akhirnya mimpi-mimpiku saat SD dahulu kini dapat
kuwujudkan. Benar katamu, suatu hari nanti karyaku juga akan dimuat. Dan hari
itu telah tiba.
Hari itu adalah hari ini. Hari ketika saya telah berstatus sebagai
mahasiswi. Masya Allah, lumayan jauh juga jaraknya sejak kamu mengajariku
banyak hal tentang dunia kepenulisan. Teringat saat kita masih bocah dan
membawa amplop berisi karya kita. Kini, saya seorang diri yang mampir ke kantor
redaksi koran untuk mengantarkan karyaku. Tidak hanya di Koran Pedoman Rakyat,
saya juga mengirim ke Harian Fajar, bahkan tembus hingga ke penerbitan nasional,
seperti Anita Cemerlang dan Annida.
Terima kasih teman, terima kasih sahabatku Verni Sindara di mana pun
engkau berada. Ah, rindunya hati ini ingin bertemu denganmu, Pahlawan Literasiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging