Perkenalkan, kami keluarga nomaden. Sejak pertama kali
menikah, hanya setahun kami menumpang di rumah orang tua (mertua, kalau saya,
mah). Sebenarnya, kami ingin ngontrak sejak pertama menikah tetapi orang tua
melarang. Alasannya, rumah mereka msih cukup untuk menampung saya dan suami.
Setelah setahun usia putra pertama kami (tahun 2000), mau
tidak mau kami harus keluar dari rumah tersebut. Bukan karena rumah mertua
sudah tidak cukup lagi. Ini disebabkan
suami ditugaskan di sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 400 km dari kota
kami. Otomatis, kami harus pindah dan tinggal terpisah. Jauh dari keluarga
besar di Makassar.
Di kota kecil itu kami tinggal selama delapan tahun.
Banyak suka dan suka selama menetap di sana. Apalagi, keempat anakku tumbuh di
kota indah tersebut. Namun, sebagaimana pertemuan, pasti akan ada perpisahan.
Kami pun pindah dari kota tersebut di tahun 2008.
Setelah itu, kami
kembali ke kota kelahiran kami dan kembali menetap untuk sementara di rumah
orang tua kembali. Alhamdulillah, kami kemudian menemukan rumah kontrakan yang
cocok. Letaknya tidak terlalu jauh dari rumah orang tua. Kami pun pindah ke
sana selama setahun.
Setahun kemudian, suami mendapat kesempatan melanjutkan
study di luar negeri. Sayangnya, saat itu situasi dan kondisi belum memungkinkan
saya dan anak-anak untuk ikut maka untuk sementara kami kembali ke rumah orang
tua (lagi dan lagi).
Kisah Seru di Negeri Jiran
Salah satu landmark Putrajaya. Masjid Merah Muda |
Alhamdulillah, setahun kemudian saya dan anak-anak berkesempatan menyusul suami di negeri jiran (2011). Anak-anak pun bisa ikut merasakan bagaimana keseruan bersekolah di negeri orang. Si sulung masuk sekolah menengah, si nomor dua dan nomor tiga masuk sekolah rendah, dan si bungsu (kala itu) belum bersekolah.
Banyak cerita yang terangkum dari kisah anak-anak. Si
sulung, misalnya. Entah berapa kali pulang membawa kisah perseteruannya dengan
teman-teman di sekolah. Rupanya “darah preman” emaknya mengalir di tubuhnya
bercampur dengan darah Bugis Makassar yang senantiasa berprinsip, “Paentengi
siri’nu” yang kira-kira terjemahan bebasnya adalah pertahankan harga dirimu.
Kisahnya seperti ini, suatu hari saat istirahat sekolah, si sulung beli nasi lemak di kantin. Saat
nyari-nyari tempat duduk, tiba-tiba seorang anak menodongnya. Anak itu meminta
nasi lemak si sulung.
Si sulung menolak. Maklum, porsi nasi lemak itu sama dengan nasi kucing, hanya cukup untuk satu orang sementara si sulung juga sudah lapar berat. Lagian, uang jajannya
pas-pasan. Hanya tersisa untuk ongkos angkot pulang sekolah.
Marah karena ditolak, anak itu kemudian menjegal kaki si sulung saat akan melangkah. Akibatnya, si sulung terjatuh dan nasi lemaknya berhamburan di lantai.
Marah karena ditolak, anak itu kemudian menjegal kaki si sulung saat akan melangkah. Akibatnya, si sulung terjatuh dan nasi lemaknya berhamburan di lantai.
Perpaduan rasa marah, geram, dan lapar membuat si sulung
kalap. Diraihnya kerah baju anak itu lalu ditantangnya berkelahi. Belum sempat
terjadi apa-apa, gerombolan teman anak itu datang dan bersiap membantu
kawannya. Tapi si sulung tidak gentar, meski sempat ciut sedikit saat melihat
ada sekitar lima anak yang datang mendekat.
Hampir saja terjadi perkelahian tidak seimbang itu, seandainya tidak ada
sepasang tangan yang kemudian meraih si sulung dan menariknya keluar dari
tempat itu.
“Korang gila, ke? Nak begadu dengan budak India, tuh.
Kawan dia, ramai tau. Korang bisa mati dibelasah.” Rupanya salah seorang kawan
si sulung berhasil menariknya keluar dari kantin dan bersembunyi di suatu
tempat.
Mulanya si sulung tersinggung. “Saya tidak takut ...”
katanya. Tapi demi mendengar penjelasan kawannya, akhirnya si sulung mau
mengalah juga. Bayangkan, si anak yang ia tarik kerah bajunya itu lebih besar
dari si sulung. Si sulung bahkan harus melompat agar bisa meraih kerah bajunya.
Belum lagi kawan-kawannya yang rata-rata sama besar. Maklum,
mereka berasal dari ras India yang memang body-nya lebih besar dari ras melayu.
Alhamdulillah, pertolongan kawan si sulung tak hanya
sampai di situ. Saat pulang sekolah, mereka beramai-ramai mengantar si sulung
pulang. Untung saja, karena ternyata di ujung sekolah, si anak yang ditarik
kerah bajunya bersama kawan-kawannya telah menanti si sulung. Rupanya mereka
tahu kalau sehari-hari, si sulung naik bus pekerja (semacam angkot) ke sekolah.
Untungnya lagi, kawan si sulung itu termasuk anak yang
disegani di sekolah dan kebetulan juga tinggal di dekat sekolah. Kawan si sulung juga sudah mengancam kalau ia tidak mau terjadi apa-apa pada kawannya, si sulung, maksudnya.
Alhamdulillah,
si sulung aman dan case closed. Huffh
Kisah yang seru juga dialami si nomor tiga. Ia yang baru
masuk sekolah rendah (SD) takut dengan Cikgu Santi, guru kelasnya (wali kelas). Beberapa kali ia menangis dan menolak masuk kelas. Maklum, Cikgu Santi merupakan perempuan keturunan India. Kebayang kan,
badannya tinggi, besar, dan hitam.
Tapi, lama kelamaan, si nomor tiga malah
sayang banget dengan Cikgu Santi. Meski terlihat garang, ternyata orangnya
lembut banget. Hehehe.
Bagaimana dengan si nomor dua? Kebetulan si nomor dua, anaknya tipe damai-damai saja. Kalau ada konflik, dia lebih memilih menghindar sehingga semua aman terkendali.
Namun, ada satu hal yang paling berkesan. Alhamdulillah, di tahun 2013 kami dianugerahi seorang putri kecil yang comel. Si kecil ini lahir di klinik Az Zahra Bandar Baru Bangi pada 22 Januari 2013. Alhamdulillah.
Sayangnya, di tahun
2013, saya dan anak-anak kembali ke Makassar, tetapi suami tetap di Malaysia
untuk menyelesaikan studynya.
Episode Kedua di Negeri Jiran
![]() |
Salah satu Landmark Negeri Terengganu, Masji Kristal |
Di awal tahun 2016, saya dan anak-anak kembali diboyong ke negeri
jiran. Suami yang telah menyelesaikan study-nya kemudian mendapat pekerjaan di
negeri tersebut. Namun, kali ini kami harus pindah ke negeri lain, Negeri
Terengganu. Negeri ini berjarak sekitar 475 km sebelah timur ibu kota Malaysia,
Kuala Lumpur.
Dan, di sinilah episode kedua kehidupan kami di negeri
jiran. Alhamdulillah, kami betah di sini. Berada di wilayah pantai timur negeri Jiran, bersama dengan Negeri Pahang dan Negeri Kelantan.
Ah, kapan-kapan, saya akan bercerita tentang negeri yang indah ini. Meski sebenarnya, telah beberapa kali saya menyempatkan bercerita tentang sepotong kisah dari tanah ini.
Ditunggu aja, kisahnya ya...
Biasanya keluarga nomaden punya banyak cerita. Terbukti pada setiap postingan Mbak Hae :) Yang kali ini seru, berasa lagi menonton upin dan ipin saat berada di Tadika-nya, hehe... Seronok!
BalasHapusTravelling yg biasa saja bisa melahirkan tulisan, apalagi kisah perjalanan keluarga selama bertahun-tahun, ya. Bisa dijadikan buku, nih.
Benar banget sih bisa dijadiin buku. Terima kasih idenya
HapusUntung si sulung dapet pertolongan, ya. Kalo enggak bisa babak belur dibully. Wow, ditunggu kisah selanjutnya mbak, pasti enggak kalah seru nih.
BalasHapusIya, nih, si sulung berani tanpa berpikir lebih jauh
HapusSalah satu hal positif dari hidup nomaden adalah punya banyak pengalaman untuk diceritakan. Tinggal di Malaysia sepertinya enak, ya. Luar negerinya masih dekat dari Indonesia. Menemukan makanan khas Indonesia pasti nggak sesulit kalau tinggal di Eropa atau Amerika. Kapan-kapan cerita dong Mbak, tentang daerah seputar tempat tinggalmu. Pasti seru, yaaa.
BalasHapusSiip, Insya Allah dijadikan cerita di blog
HapusMauuuu, aku mah senang jadi keluarga nomaden, wkwk. Tapi ya suami emang menetap di bekasi sih, jadi ya yaudah nikmati ae, heheh ~
BalasHapusNomaden atau non-nomaden, dinikmati ajalah.
HapusDududuuuh ikutan tegang saya saat baca kisah si sulung. Beruntung punya teman yang baik. Menjadi keluarga nomaden enak ga enak ya Mbak? Banyak pengalaman terutama berinteraksi dengan bermacam lingkungan, tapi kadang bagi anak2 kerap berpindah juga jadi hal yang berat apalagi jika anak dengan karakter yamg lebih tertutup, karena kerap harus mulai beradaptasi dari nol dengan lingkungan baru.
BalasHapusAlhamdulillah, anak-anak seperti anak kebanyakan yang gampang beradaptasi. Lagipula Malaysia tidak beda jauh dengan Indonesia jadi anak2 asyik-asyik aja.
HapusUhuui mantab euy, kisahnya. Jadi makin kaya pengalaman ya mba
BalasHapusPengalaman di kampung orang, Mba. hehehe
HapusSelalu suka baca kisah Mbak Haeriah di negeri jiran..ditunggu kelanjutannya yaa..
BalasHapusOh ya ada salah ketik tahun di kalimat:
"...Apalagi, keempat anakku tumbuh di kota indah tersebut. Namun, sebagaimana pertemuan, pasti akan ada perpisahan. Kami pun pindah dari kota tersebut di tahun 2018."
Sepertinya tahun 2008 ya?
eh iya...terima kasih sudah mengingatkan
HapusKeluarga nomaden biasanya lebih tangguh, survive dalam kondisi apaoun karena terbiasa terpapar dengan hal baru. Aku malah pengin Mbak. Sementara masih belum diberi kesempatan sama Allah. Tapi suka membaca kisah keluarga -keluarga nomaden
BalasHapusSaya juga suka membaca kisah-kisah di negeri lain. Seru...
HapusHidup nomaden mengingatkan perjalanan hidup kluargaku. Tp enak ys mb klu pindag-pindah teman jd bnyk dan suasananya berbeda. Tp hrs adaptasi lgi hehe. Btw skrg mb msh di Mlysia yaa...hmm msh merantau dan mg sll betah..
BalasHapusIya, Mba, masih di Malaysia. Masih jadi perantau mah kita.
HapusMasha Allah, deg-degan mba, saya baca kisah si sulung dan si nomer 3.
BalasHapusAlhamdulillah mereka gak kenapa-kenapa ya.
Seru juga mba hidup berpindah-pindah, meski saya bisa membayangkan betapa rempongnya itu, terlebih dengan kondisi anak udah sekolah.
Tapi jauh di lubuk hati, sebenarnya saya juga pengen kayak gitu, bisa lebih kaya pengalaman, dan bisa dampingi suami terus.
Sayang sejak anak SD saya ga bisa lagi ikut suami ke mana-mana.
Harus standby di rumah buat nemanin anak sekolah huhuhu
Semoga di manapun berada, kenyamanan dan kebahagiaan serta keberkahan selalu menyertai ya mbaaa..
Ditunggu kisah selanjutnya :)
Aamiin, doa yang sama untukmu, Mba. Semoga bisa segera kumpul bersama kembali.
HapusBanyak tantangan hidup nomaden, tp ga.sedikit anak2 yg ngambek krn harus bolak balik pindah sek9lah. Tapi kereeen jadi banyak pengalaman seruuu
BalasHapusSebenarnya, semua ada tantangannya masing-masing. Ada enak gak enaknya. Kalau saya mah, dijalani aja apa adanya.
HapusIya, ya mbak. Berpindah ke negara lain, berarti beradaptasi dengan habit suku lain di negara lain.
BalasHapusSaya pikir di Malaysia lebih banyak warga Melayu dan muslimnya, jadi nggak terlalu bermasalah dengan adaptasi anak-anak.
Ternyata lumayan banyak juga ya warga India di sana.
Bismillah selalu diberi kemudahan di negeri rantau ya mbak.
Baca tulisan Mb Haera, serasa saya juga menikmati suasana di sana.
Makasih sudah berbagi cerita mbak.
Alhamdulillah. Saya tunggu ceritanya ya Bunda. Semoga diberi kemudahan di manapun berada. Amiin
BalasHapusAamiin
HapusJadi ingat masa kecil saya. Saya yg pindah² ikut ortu tugas. Raport SD punya banyak...hehe...
BalasHapusSeru aja sih. Harus selalu adaptasi.
Pas udah menikah...malah engga pernah pindah...
Sama dengan anakku yang nomor dua, SD-nya di 5 tempat. Saya aja kaget kok bisa sebanyak itu. Huhuhu
Hapus