Saya yakin, sangat yakin…ketika pertama kali seorang perempuan memutuskan untuk menikah maka yang terbayang adalah ia akan mempunyai seorang suami yang akan membimbing, melindungi dan tentu saja menafkahinya. Semua bayangan indah akan sebuah pernikahan terbayang di pelupuk matanya. Yap, sebentar lagi ia akan menyempurnakan separuh agamanya. Menggenapkan diri menjadi seorang perempuan seutuhnya.
Namun sering kali bayangan itu tak
seindah kenyataan. Antara harapan dan kenyataan laksana bumi dan langit yang
sangat jauh bahkan tak terjangkau. Rumah tangga yang didambakan seumpana istana
di dunia tak lain hanyalah sebuah rumah bertangga biasa bak gubuk derita.
Demikianlah yang terjadi pada Lia, sebut
saja namanya begitu. Lia adalah seorang sarjana yang keseharian bekerja sebagai
PNS. Menikah di usia rawan, 31 tahun. Lia akhirnya dinikahi seorang duda cerai
beranak dua yang sehari-hari berprofesi sebagai seorang wiraswasta.
Perjalanan bahtera rumah tangga mereka
berjalan sebagaimana rumah tangga lain pada umumnya. Namun lama kelamaan
“tercium” juga hal aneh dari keluarga tersebut. Terlebih ketika kemudian Lia
mencurahkan isi hatinya.
Ternyata selama ini Lia yang harus
bekerja keras demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Suaminya? Nah itu dia…. Si
suami selalu punya seribu satu alasan untuk tidak bekerja. Dan….si Lia selalu
saja punya seribu dua kesabaran untuk menerima alasan suaminya untuk tetap
duduk-duduk tampan di rumah tanpa harus direpotkan dengan urusan memberi nafkah
keluarganya. Toh, keluarga kecilnya masih bisa makan dan bertahan hidup tanpa ia harus berjibaku menyingsingkan lengan di luar sana.
“Istri sholihah itu istri yang
memerhatikan suaminya. Termasuk urusan makanan. Lihat saja jam segini meja
makan masih kosong” suatu hari si suami mengadu ah lebih tepatnya menyindir istrinya saat aku berkunjung ke rumah Lia.
Lia yang sedang berada di belakang
buru-buru mengajakku berpindah ruangan. Sempat kudengar Lia membela diri. Ia menyalahkan
suaminya yang tidak membeli masakan jadi saja di warung makan yang tak jauh dari rumah mereka.
“Kayaknya hanya saya di dunia ini yang
tidak pernah merasakan rasa masakan istriku….” Lamat-lamat kudengar keluhan
suami Lia lagi.
Sementara Lia yang berada di hadapanku
terlihat sangat letih. Tubuhnya ringkih dengan kedua tangan yang masih basah.
Katanya ia baru saja menyelesaikan cuciannya yang direndam sebelum berangkat
kerja tadi. Saat itu adalah waktu istirahat sehingga ia menyempatkan pulang
untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tadi tertunda. Begitu memarkirkan
motornya di pekarangan, saat itu juga segudang pekerjaan rumah menyambutnya.
Lia harus menyelesaikan rendaman
cuciannya dan segera menjemurnya (saat itu Lia masih mencuci manual bukan mesin
cuci), memandikan seorang anaknya yang masih balita dengan popok seberat gaban
karena belum diganti sejak tidur semalam (anaknya dua tapi yang besar sudah
bersekolah), berlari ke tetangga sebelah yang jualan makanan masak karena
jualannya yang termurah, serta pekerjaan-pekerjaan ekstra lainnya.
Semua dikerjakan secara rutin dan cepat. Tentu saja karena waktu istirahatnya
tidak lama. Lia harus segera kembali ke kantor jika tidak ingin mendapat
teguran.
“Dengan seabrek pekerjaan itu, bagaimana
saya sempat masak. Apalagi saya memang tidak pandai masak” curhat Lia mengalir
begitu saja.
Lalu suaminya ngapain aja selama di rumah?
“Mungkin tidur. Atau kalau jenuh di rumah
dia akan keluar jalan entah ke mana…” jawab Lia.
Duh…..
Sikap suami Lia mau tidak mau membuat “gerah” keluarga besar Lia (kedua orang tua Lia telah meninggal dunia). Bahkan ada yang
menyarankan Lia agar ‘meninggalkan’ suaminya saja. Toh Lia tidak perlu khawatir
soal nafkah karena selama ini ia yang bekerja memberi nafkah keluarganya.
“Tidak..saya tidak mau menjadi janda.
Biarlah, saya menerima semua takdir ini. “ pekik Lia mendengar usulan tersebut.
Tentu saja, begitu Lia mengikuti saran tersebut maka ia akan menjadi seorang single parent, janda. Sebuah status yang tidak mudah yang disematkan bagi seorang perempuan yang pasangannya meninggal dunia atau karena bahtera rumah tangganya kandas di tengah jalan.
Tentu sudah lazim terdengar bagaimana stigma negatif masih senantiasa dilekatkan pada perempuan dengan status tersebut. Karenanya, banyak yang lebih memilih mempertahankan rumah tangganya, meski dengan berbagai macam resiko, daripada harus berganti status. Dan Lia lebih memilih menanggung resiko tersebut.
Tentu saja, begitu Lia mengikuti saran tersebut maka ia akan menjadi seorang single parent, janda. Sebuah status yang tidak mudah yang disematkan bagi seorang perempuan yang pasangannya meninggal dunia atau karena bahtera rumah tangganya kandas di tengah jalan.
Tentu sudah lazim terdengar bagaimana stigma negatif masih senantiasa dilekatkan pada perempuan dengan status tersebut. Karenanya, banyak yang lebih memilih mempertahankan rumah tangganya, meski dengan berbagai macam resiko, daripada harus berganti status. Dan Lia lebih memilih menanggung resiko tersebut.
![]() |
Hidup Adalah Pilihan |
Maka biarlah Lia menjalani takdirnya.
Sampai hari ini Lia masih terus bekerja keras, menahan lapar demi memenuhi
semua permintaan suaminya. Yap, demi memenuhi semua permintaan tersebut harus
ada yang dikorbankan. Dalam hal ini Lia memilih untuk mengorbankan 'leher'nya.
Ya…suaminya tidak hanya berleha-leha di
rumah. Ia juga mengajukan permintaan-permintaan yang sungguh tidak pantas
diminta oleh seorang suami yang seharusnya memberikan hal tersebut untuk
istrinya.
Menolak? Hm, Lia tidak akan pernah bisa menolak karena suaminya punya senjatanya. "Saya akan meninggalkanmu...."
Keterlaluan? Yah sangat keterlaluan.
Semoga Lia sabar dan ikhlas menjalani takdirnya ini. Bagaimanapun, saya yakin
suami Lia akan dimintai pertanggung jawabannya nanti di akhirat. Ia telah
mengingkari amanah Allah sebagai kepala keluarga yang bertugas memberi nafkah
bagi anak dan istrinya. Ia telah mendzalimi istrinya yang kini sakit-sakitan
dan semakin ringkih sementara ia semakin gendut dan kinclong.
Ah, saya sebagai orang luar hanya bisa prihatin. Berdoa dalam hati semoga Lia dan anak-anaknya baik-baik saja. Dan semoga suaminya segera tersadar dan segera mengambil peranan yang telah disanggupinya di saat akad nikah dulu.
Semoga
Semoga
Tadi ama teman baru ngebahas ini...harus bercerai karena suami udah nggak sayang lagi, setelah 9 tahun menikah...Kasihan banget..
BalasHapusSelalu ada kesedihan setiap kali melihat atau mendengar ada bahtera yang kandas. Semoga rumah tangga kita terjaga dari hal tersebut. Adapun yang telanjur, semoga bisa segera move on dan kembali menata kehidupan dengan lebih baik.
HapusSemoga Lia diberikan kesabaran dan ketabahan. Semoga hati dan pikiran suaminya dibukakan rahmat oleh Allah.
BalasHapusAamiin. Terima kasih doanya mba...
Hapusmencari nafkah itu kewajiban suami loh, ih gregetan deh
BalasHapusitulah mba yang bikin greget, masa' sih gak tahu tugas utamanya sebagai suami....
HapusDuh mba sedih sekali bacanya.. semoga Lia diberikan kekuatan dalam mengambil jalan apapun yang dipilihnya. Kalo soal si suami, haduuuh keterlaluan sekali itu mba...
BalasHapusAamiin. Semoga suaminya segera tersadar ya....
HapusJika ada di posisi bu Lia pasti susah hati sekali ya, dan dilematis juga. Semoga yang mengalami kasus serupa mendapat kekuatan untuk menjalani atau menghadapi sesuai panggilan hidupnya. Amin
BalasHapusAamiin. Apapun itu pilihan ada di tangan bu Lia dan dia tahu dan harus siap dg apapun itu....
BalasHapus