SUAMI YANG MENDZALIMI

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Selasa, Oktober 25, 2016


Saya yakin, sangat yakin…ketika pertama kali seorang perempuan memutuskan untuk menikah maka yang terbayang adalah ia akan mempunyai seorang suami yang akan membimbing, melindungi dan tentu saja menafkahinya. Semua bayangan indah akan sebuah pernikahan terbayang di pelupuk matanya. Yap, sebentar lagi ia akan menyempurnakan separuh agamanya. Menggenapkan diri menjadi seorang perempuan seutuhnya.

Namun sering kali bayangan itu tak seindah kenyataan. Antara harapan dan kenyataan laksana bumi dan langit yang sangat jauh bahkan tak terjangkau. Rumah tangga yang didambakan seumpana istana di dunia tak lain hanyalah sebuah rumah bertangga biasa bak gubuk derita.

Demikianlah yang terjadi pada Lia, sebut saja namanya begitu. Lia adalah seorang sarjana yang keseharian bekerja sebagai PNS. Menikah di usia rawan, 31 tahun. Lia akhirnya dinikahi seorang duda cerai beranak dua yang sehari-hari berprofesi sebagai seorang wiraswasta.

Perjalanan bahtera rumah tangga mereka berjalan sebagaimana rumah tangga lain pada umumnya. Namun lama kelamaan “tercium” juga hal aneh dari keluarga tersebut. Terlebih ketika kemudian Lia mencurahkan isi hatinya.

Ternyata selama ini Lia yang harus bekerja keras demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Suaminya? Nah itu dia…. Si suami selalu punya seribu satu alasan untuk tidak bekerja. Dan….si Lia selalu saja punya seribu dua kesabaran untuk menerima alasan suaminya untuk  tetap duduk-duduk tampan di rumah tanpa harus direpotkan dengan urusan memberi nafkah keluarganya. Toh, keluarga kecilnya masih bisa makan dan bertahan hidup tanpa ia harus berjibaku menyingsingkan lengan di luar sana. 

“Istri sholihah itu istri yang memerhatikan suaminya. Termasuk urusan makanan. Lihat saja jam segini meja makan masih kosong” suatu hari si suami mengadu ah lebih tepatnya menyindir istrinya saat aku berkunjung ke rumah Lia. 

Lia yang sedang berada di belakang buru-buru mengajakku berpindah ruangan. Sempat kudengar Lia membela diri. Ia menyalahkan suaminya yang tidak membeli masakan jadi saja di warung makan yang tak jauh dari rumah mereka.

Kayaknya hanya saya di dunia ini yang tidak pernah merasakan rasa masakan istriku….” Lamat-lamat kudengar keluhan suami Lia lagi.

Sementara Lia yang berada di hadapanku terlihat sangat letih. Tubuhnya ringkih dengan kedua tangan yang masih basah. Katanya ia baru saja menyelesaikan  cuciannya yang direndam sebelum berangkat kerja tadi. Saat itu adalah waktu istirahat sehingga ia menyempatkan pulang untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tadi tertunda. Begitu memarkirkan motornya di pekarangan, saat itu juga segudang pekerjaan rumah menyambutnya.

Lia harus menyelesaikan rendaman cuciannya dan segera menjemurnya (saat itu Lia masih mencuci manual bukan mesin cuci), memandikan seorang anaknya yang masih balita dengan popok seberat gaban karena belum diganti sejak tidur semalam (anaknya dua tapi yang besar sudah bersekolah), berlari ke tetangga sebelah yang jualan makanan masak karena jualannya yang termurah, serta pekerjaan-pekerjaan ekstra lainnya.

Semua dikerjakan secara rutin dan  cepat. Tentu saja karena waktu istirahatnya tidak lama. Lia harus segera kembali ke kantor jika tidak ingin mendapat teguran.

“Dengan seabrek pekerjaan itu, bagaimana saya sempat masak. Apalagi saya memang tidak pandai masak” curhat Lia mengalir begitu saja.

Lalu suaminya ngapain aja selama di rumah?

“Mungkin tidur. Atau kalau jenuh di rumah dia akan keluar jalan entah ke mana…” jawab Lia.

Duh…..
Sikap suami Lia mau tidak mau membuat “gerah” keluarga besar Lia (kedua orang tua Lia telah meninggal dunia). Bahkan ada yang menyarankan Lia agar ‘meninggalkan’  suaminya saja. Toh Lia tidak perlu khawatir soal nafkah karena selama ini ia yang bekerja memberi nafkah keluarganya.

“Tidak..saya tidak mau menjadi janda. Biarlah, saya menerima semua takdir ini. “ pekik Lia mendengar usulan tersebut.

Tentu saja, begitu Lia mengikuti saran tersebut maka ia akan menjadi seorang single parent, janda. Sebuah status yang tidak mudah yang disematkan bagi seorang perempuan yang pasangannya meninggal dunia atau karena bahtera rumah tangganya kandas di tengah jalan. 

Tentu sudah lazim terdengar bagaimana stigma negatif masih senantiasa dilekatkan pada perempuan dengan status tersebut. Karenanya, banyak yang lebih memilih mempertahankan rumah tangganya, meski dengan berbagai macam resiko, daripada harus berganti status.   Dan Lia lebih memilih menanggung resiko tersebut.


Hidup Adalah Pilihan

Maka biarlah Lia menjalani takdirnya. Sampai hari ini Lia masih terus bekerja keras, menahan lapar demi memenuhi semua permintaan suaminya. Yap, demi memenuhi semua permintaan tersebut harus ada yang dikorbankan. Dalam hal ini Lia memilih untuk mengorbankan 'leher'nya.

Ya…suaminya tidak hanya berleha-leha di rumah. Ia juga mengajukan permintaan-permintaan yang sungguh tidak pantas diminta oleh seorang suami yang seharusnya memberikan hal tersebut untuk istrinya. 

Menolak? Hm, Lia tidak akan pernah bisa menolak karena suaminya punya senjatanya. "Saya akan meninggalkanmu...."

Keterlaluan? Yah sangat keterlaluan. Semoga Lia sabar dan ikhlas menjalani takdirnya ini. Bagaimanapun, saya yakin suami Lia akan dimintai pertanggung jawabannya nanti di akhirat. Ia telah mengingkari amanah Allah sebagai kepala keluarga yang bertugas memberi nafkah bagi anak dan istrinya. Ia telah mendzalimi istrinya yang kini sakit-sakitan dan semakin ringkih sementara ia semakin gendut dan kinclong.

Ah, saya sebagai orang luar hanya bisa prihatin. Berdoa dalam hati semoga Lia dan anak-anaknya baik-baik saja. Dan semoga suaminya segera tersadar dan segera mengambil peranan yang telah disanggupinya di saat akad nikah dulu. 

Semoga

  • Share:

You Might Also Like

10 Comments

  1. Tadi ama teman baru ngebahas ini...harus bercerai karena suami udah nggak sayang lagi, setelah 9 tahun menikah...Kasihan banget..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selalu ada kesedihan setiap kali melihat atau mendengar ada bahtera yang kandas. Semoga rumah tangga kita terjaga dari hal tersebut. Adapun yang telanjur, semoga bisa segera move on dan kembali menata kehidupan dengan lebih baik.

      Hapus
  2. Semoga Lia diberikan kesabaran dan ketabahan. Semoga hati dan pikiran suaminya dibukakan rahmat oleh Allah.

    BalasHapus
  3. mencari nafkah itu kewajiban suami loh, ih gregetan deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. itulah mba yang bikin greget, masa' sih gak tahu tugas utamanya sebagai suami....

      Hapus
  4. Duh mba sedih sekali bacanya.. semoga Lia diberikan kekuatan dalam mengambil jalan apapun yang dipilihnya. Kalo soal si suami, haduuuh keterlaluan sekali itu mba...

    BalasHapus
  5. Jika ada di posisi bu Lia pasti susah hati sekali ya, dan dilematis juga. Semoga yang mengalami kasus serupa mendapat kekuatan untuk menjalani atau menghadapi sesuai panggilan hidupnya. Amin

    BalasHapus
  6. Aamiin. Apapun itu pilihan ada di tangan bu Lia dan dia tahu dan harus siap dg apapun itu....

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging