FULL DAY SCHOOL? BOLEH SAJA, TAPI…

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Sabtu, Agustus 20, 2016

Beberapa waktu yang lalu sempat beredar wacana full day school untuk sekolah negeri. Seperti biasa, pro dan kontra segera memenuhi beranda sosmed-ku. Perang wacana pun terjadi. Lumayan seru.

Sebenarnya hal ini bukanlah hal yang baru. Beberapa sekolah telah memberlakukan sistem ini khususnya sekolah swasta. Salah satu sekolah yang juga memberlakukan sistem fds ini adalah sekolah tempatku dulu mengajar. Sebuah SDIT yang memberlakukan jam belajar dimulai dari pukul 7.30 hingga 14.15. 

Alhamdulillah, sekolah kami senantiasa berusaha untuk menyelenggarakan proses belajar mengajar yang sejalan dengan fitrah anak yang di usia SD masih sangat suka bermain. Terlebih mengingat waktu belajar di sekolah kami lebih lama dibanding sekolah-sekolah  lain pada umumnya.

Waktu yang panjang tersebut, tidak bisa kami pungkiri sedikit banyak tentu menimbulkan kejenuhan di hati anak didik. Kami para guru pun diminta untuk tidak terpaku dengan metode belajar mengajar satu arah. Pihak kepala sekolah maupun yayasan senantiasa meminta kami untuk sekreatif mungkin mengajar.

Salah satu cara yang pernah saya dan juga beberapa orang guru lainnya pernah terapkan adalah mengajak anak-anak belajar di luar kelas. Karenanya, bukan hal yang aneh jika terlihat di sekolah kami ada beberapa siswa yang berkeliaran di luar kelas pada jam pelajaran. Tentu saja bukan berkeliaran tanpa tujuan karena guru yang membawa mereka harus bertanggung jawab agar anak-anak mereka tidak menimbulkan kegaduhan yang dapat menyebabkan terganggunya proses belajar mengajar siswa lain yang sedang berlangsung di dalam kelas. 

Salah satu metode yang belajar yang saya terapkan adalah bermain gamePertama-tama saya membagi murid di kelas menjadi beberapa kelompok. Setelah itu masing-masing kelompok akan mendapatkan selembar kertas berisi petunjuk keberadaan potongan kertas lainnya yang berisi tugas yang harus mereka kerjakan.

Potongan kertas yang harus mereka cari sebelumnya telah saya letakkan di beberapa tempat. Ada di lapangan upacara, tempat parkir, area kantin, dan sebagainya. Yang jelas tentunya masih dalam area sekolah.

Setelah menemukan potongan kertas tersebut mereka segera mengerjakan tugas sebagaimana tertera di kertas tersebut. Saya pun menghitung waktu yang mereka gunakan dimulai sejak mereka berhamburan keluar kelas untuk mengerjakan tugas yang saya berikan.

Kelompok yang terlebih dahulu menyelesaikan tugasnya keluar sebagai pemenang. Hadiahnya? Saya telah menyiapkan cemilan yang bervariasi sesuai dengan kememenangan mereka.

Bagaimana tanggapan anak-anak? Alhamdulillah, anak-anak senang. Kata mereka bosan juga berada seharian di dalam kelas. Kalau di luar kelas, mereka dapat berteriak dan  berlarian lebih bebas. Beberapa kelas yang kuterapkan metode ini sangat antusias menerimanya.

Namun, ternyata tidak semua anak menyambut gembira proses belajar yang anti mainstream ini. Ketika saya memprediksi kalau kelas anak laki-laki akan lebih antusias menyambut ideku ini (kelas anak laki-laki dan perempuan dipisah) namun yang terjadi justru sebaliknya. Justru kelas anak perempuan yang sangat senang dan sebaliknya di kelas anak laki-laki justru banyak yang tidak bersemangat dengan ideku.

“Ibu gak usah aneh-aneh deh, belajar di kelas aja napa….” Sempat kutangkap omelan salah seorang anak didikku yang laki-laki. Anak laki-laki yang mengingatkanku pada Ehsan, salah satu tokoh di serial Upin Ipin.

“Iya, capek belajar di luar. Mana panas lagi “ sambung yang lain.

Untuk kelas yang seperti ini, saya terpaksa membagi dua metode pelajaran. Yang setuju, kemudian saya bagi mereka menjadi beberapa kelompok. Sementara beberapa orang anak yang tidak setuju, saya memberikan tugas yang harus mereka kerjakan di dalam kelas. Tak lupa saya mewanti-wanti mereka agar tidak keluar kelas (biasanya ada beberapa anak yang keluar kelas dan mampir di kantin). Saya berpesan seperti ini karena saya harus mengawasi anak-anak yang sedang berada di luar kelas agar tidak mengganggu anak-anak lain yang sedang belajar di dalam kelas.

Demikian juga ketika usai waktu shalat dzuhur dan makan siang. Sudah ladzim diketahui kalau waktu tersebut adalah waktu yang ternyaman buat tidur, hehehe. Di waktu-waktu ini, kami tidak membebani siswa dengan mata pelajaran yang berat. Karena akan percuma saja. Anak-anak tidak akan mampu menyimak dengan baik.

Jadi saya setuju jika setiap sekolah negeri menerapkan FDS? Kalau untuk semua sekolah rasanya mustahil deh. Saya jadi teringat dengan sekolah anakku. Ya, anak keempatku kumasukkan ke sekolah negeri terdekat dari rumah. Di areal sekolah yang tidak terlalu besar itu justru terdapat tiga sekolah dasar negeri. SD A, SD B dan SD C. Yap, areal sekolah itu pun harus dibagi tiga.


Satu areal Tiga Sekolah


Akibatnya tiap sekolah mendapatkan jatah lokasi yang pas-pasan, sangat pas-pasan. Setiap sekolah hanya mempunyai 6 ruang kelas, 1 ruang guru (merangkap ruang kepala sekolah) dan 1 kamar mandi. Dengan kondisi sekolah yang seperti itu, bisakah kita membayangkan bagaimana kondisi anak-anak jika sekolah menerapkan sistem FDS.

Asal tahu saja, untuk masing-masing tingkatan kelas terbagi menjadi dua kelas, A dan B. Setiap tingkatan memakai kelas yang sama secara bergantian. Misalnya kelas 1. Jika pekan ini kelas 1 A masuk pagi  maka kelas 1 B masuk siang. Pekan berikutnya, kelas 1 B masuk pagi dan 1 A masuk siang. Lalu bagaimana jika sekolah tersebut menerapkan sistem FDA? Anak-anak mau digabung? Oh no, saya tidak bisa membayangkan jika dua kelas itu digabung. Sekelas menjadi 60 atau 80 orang murid? Waduh, bisa-bisa pulang sekolah gurunya tinggal nama…..(aish, sadis amat)

Jadi, sebelum menerapkan FDS sepertinya lebih baik pemerintah membenahi bangunan sekolah terlebih dahulu. Bangunan sekolah dibuat senyaman mungkin biar anak-anak betah seharian di sana.

Belum lagi masalah-masalah lainnya.  Kurikulum maupun kemampuan guru lainnya. Kalau semua sudah terjawab maka FDS ya monggo aja. Kalau semua faktor pendukung proses belajar mengajar sesuai dengan standar kelayakan, siapapun akan mendukung program dari pemerintah. Sekolah akan menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak sehingga setiap anak betah berada di sana.  


Tanggapan atas tulisan Mak Yuniari Nukti di http://emak2blogger.com/2016/08/10/ketika-jam-belajar-merenggut-kebebasan-bermain-siswa/



  • Share:

You Might Also Like

9 Comments

  1. Kalau sistem FDSnya kayak gitu saya sih mau-mau aja Mak.. Belajar sambil lari-larian, guru juga fleksibel ngikuti kemauan anak. Dijamin deh seharian sekolah anak-anak gak jenuh. Kalau ngantuk dikasih waktu tidur. Capek belajar dikasih istirahat. Pertanyaannya, ada berapa banyak sekolah yang punya guru pengertian seperti Mak Haeriah? haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insya Allah teman2 guru di sekolahan kami lebih baik dan lebih sabaran dari saya mba. Gampang sih kalau mau seperti itu, sekolah negeri dibuat seperti SDIT, hehehe

      Hapus
  2. Hahaha... pulang sekolah gurunya tinggal nama :D
    Tapi emang bener kok Mbak, masih banyak lho sekolah yg dibagi masuk pagi-masuk siang gitu, karena kelasnya enggak cukup menampung kalo masuk pagi semua.
    Wah, masalahnya masih banyak ya Mbak kalo semua akan disamakan FDS. Gak guru gak ortu, pasti banyak juga yg gak setuju.

    BalasHapus
    Balasan
    1. gak guru gak ortu apalagi murid sebenarnya gak masalah kalau FDS asalkan....... Banyak banget yang harus dibenahi dari sistem pendidikan di negeri ini. Sayangnya, kepedulian para petinggi negeri ini masih sangat kurang, sepertinya rakyat negeri ini memang sengaja dibiarkan terus tertinggal.

      Hapus
  3. Serunya Mbak, sekolah tempat ngajarnya itu. Wohoo, ternyata malah anak2 cowok gak antusias yah dengan metode seseru itu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. seru mba,kapan2 main ke sana yuk, hehehe. Itulah mba, pertama saya pikir anak2 laki-laki pastinya yang paling suka outdoor eh nyatanya kebalik. Tapi mungkin saat itu anak2 lagi gak mood jadi gak pengen seru-seruan di luar kelas.

      Hapus
  4. Gurunya kudu berpikir keras supaya anak2 betah di sekolah ya mbak? :D

    keluargahamsa(dot)com

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mba, para guru dituntut untuk kreatif dan inovatif. Pihak yayasan dan sekolah juga senantiasa menfasilitasi para guru untuk itu.

      Hapus
  5. Kalau anak-anak saya masih di swasta semua, mungkin saya pun akan berpikir konsep FDS ini sangat baik. Alasannya sama dengan artikel ini. Sekolah anak-anak saya termasuk yang bersahabat dengan anak. Tapi, karena sekarang salah satu anak saya sudah di negeri, maka pendapat saya tentang FDS pun berbeda. Yang kurang lebih sama lah dengan artikel ini. PRnya masih banyak yang harus dibenahi :)

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging