Inspirasi Kebaikan Sang Dokter

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Minggu, April 21, 2013

Namanya dr Munirah Said, seorang dokter spesialis penyakit dalam yang kukenal ketika pertama kali membawa anak sulungku yang saat itu masih bayi berobat di tempatnya. Meski saat itu beliau masih berstatus dokter umum tapi pasiennya kebanyakan adalah ibu hamil serta anak-anak. Tak heran kalau awalnya aku sempat mengira beliau dokter kandungan ataupun dokter anak.

Pribadinya yang supel dan sederhana membuat siapa saja bisa langsung akrab dan suka padanya. Termasuk aku. Saat itu dengan sabar ia menjawab setiap pertanyaanku seputar  penyakit anak. Tak ada kesan berat maupun enggan di wajahnya. Padahal saat itu pasien yang lain juga tengah antri di belakangku. Sungguh, sebuah sikap yang sangat berbeda jauh dengan para dokter yang selama ini kukenal. Biasanya dokter yang kudatangi hanya mau menjawab pertanyaanku dengan kalimat-kalimat pendek bahkan terkadang aku harus mengejarnya hanya untuk mendapatkan sepatah dua patah pernyataan. Hal itulah yang membuatku terkadang malas berobat  ke dokter.

Satu lagi yang berkesan dikunjungan pertamaku ialah ketika hendak pulang dan menanyakan berapa biaya yang harus kukeluarkan dengan berat hati dokter Munirah menyebutkan nominalnya. Berulang kali ia meminta maaf dan menjelaskan bahwa harga yang tak seberapa itu adalah harga obat yang ia juga beli di luar sana. Untuk jasa yang ia berikan, ia malah tak minta apa-apa. 

Sejak itu aku seakan menemukan pencerahan. Sosok dokter yang selama ini berada dalam stigma negatif di benakku pelan-pelan mulai susut. "Ternyata masih ada juga dokter yang baik...." batinku.

Aku pun mulai mempromosikan "penemuanku" itu. Termasuk di keluarga dan kenalanku. Setiap ada yang sakit maka aku menganjurkan untuk berobat ke dokter Munirah. Mulanya mereka pun tak percaya.
"Hari gini ada dokter praktik murah, mimpi kale......"
"Memangnya dia beneran dokter? Jangan-jangan dokter-dokteran"
Begitu komentar yang dilontarkan kepadaku. Aku memahami ketidakpercayaan itu. Bukankah aku dulunya juga berpendapat seperti itu,  

Tapi setelah bertemu dan berobat langsung di tempat praktik beliau, maka sama seperti diriku. Mereka pun takjub dan  mengakui kebenaran promosiku. Mereka mau mengakui bahwa masih ada "manusia langka" seperti itu.

"Lalu dokter itu makan apa kalau pasiennya diberi tarif murah. Sekolah dokter kan mahal apa dia tidak merasa rugi sudah kuliah mahal-mahal tapi penghasilannya sedikit?"
Pertanyaan di atas dititipkan salah seorang kerabatku untuk dokter Munirah. Ketika hal itu kutanyakan ke beliau, maka jawabnya : "Alhamdulillah, saya dapat gaji dari rumah sakit lagipula gaji suamiku juga lebih dari cukup" Masya Allah.

Pernah suatu ketika aku kembali membawa salah seorang anakku yang sedang sakit ke tempat praktiknya. Untuk yang kesekian kalinya ia menolak menerima pembayaran dariku. Begitulah, hanya di pertemuan pertama ia memberi harga atas obat yang diberikannya. Di pengobatan berikutnya, ia tak lagi mau dibayar. Alasannya ia masih punya uang. "Nantilah kalau butuh, saya pasti minta pembayaran kok" ucapnya lembut. 
Ketika hendak pulang, ia seperti teringat sesuatu. Kemudian ia memintaku menunggu dan bergegas masuk ke dalam rumahnya.

"Ini ada sedikit sembako dari seorang donatur yang dibagikan kepada para pembina TPA. Ummu kan membina TPA di rumah, jadi sembako ini untuk ummu"
Aku hampir menangis saat itu. Allah memang Maha Tahu, saat itu kehidupan kami belum seperti sekarang. Masih susah. Berobat secara gratis saja sudah merupakan berkah. Ditambah lagi dengan bantuan sembako yang memang sangat kami butuhkan maka berkah itu terasa semakin dan semakin besar. Tak cukup dengan itu, dokter Munirah hampir saja memberiku ongkos pulang tapi dengan cepat aku menolaknya. 
"Sudah cukup, dokter. Anda sangat baik. Terlalu baik...."ucapku sambil menyeka butiran yang sempat keluar dari ujung mataku. 
Aku terharu. Sangat terharu dengan semua kebaikannya.Bayangkan, mana ada di zaman ini orang yang pergi berobat bukannya dimintai pembayaran tapi malah dibagikan sembako?

Kebaikan demi kebaikan yang dilakukannya ternyata berlaku untuk semua orang. Tak heran kalau semua orang memujinya. Menyanjung kebaikan hatinya.

Qadarallah,beliau tak berumur panjang. Penyakit kanker yang bersarang di tubuhnya akhirnya merenggut nyawanya. Semua berduka. Merasa sangat kehilangan akan sosok dokter dermawan dan ramah itu. Entah dimana lagi aku bisa menemukan sosok dokter seperti dirinya.

Padamu dokter Munirah. Terima kasih karena telah mengajarkan kebaikan kepadaku lewat sikap dan lakumu. Semoga aku bisa mengikuti langkahmu. Menebar kebaikan kepada siapa saja.

Ya Allah, ampunkanlah dosa-dosa dokter Munirah. Terimalah semua amal kebaikannya selama di dunia ini dan berilah ia tempat yang layak. Aamiin.



Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog "Wanita Terinspiratif" Zalora Indonesia Dan Blog Zalora 


  • Share:

You Might Also Like

0 Comments

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging