Padamu Anakku….

By HAERIAH SYAMSUDDIN - Selasa, November 06, 2012



        Alhamdulillah  aku dinyatakan  positif hamil hanya berselang sebulan sejak pernikahanku di bulan desember 1998. Tentu saja berita itu kuterima dengan suka cita. Aku dan juga suami sangat gembira karena tidak perlu menunggu waktu lama untuk mendapatkan buah hati.
Tapi ternyata aku harus menjalani masa kehamilan yang terbilang cukup sulit. Hampir setiap saat aku mengalami muntah yang cukup hebat. Apa saja yang kumakan akan keluar kembali tak lama berselang. Akibatnya tubuhku menjadi lemas dan rasanya aku tak mampu berbuat apa-apa selain hanya berbaring di tempat tidur. Oleh dokter aku kemudian diberi obat anti muntah yang membuat frekuensi muntahku mulai berkurang meski tak juga hilang sama sekali.
Tak hanya itu, aku juga kemudian diharuskan  menjalani bedrest penuh selama masa kehamilan. Vonis itu diberikan karena setiap kali beraktivitas seperti biasa maka pakaian dalamku akan dipenuhi oleh  bercak darah seperti sedang haid. Kata dokter, kandunganku lemah dan gejala seperti itu termasuk  aborsi dini yang setiap saat bisa mengakibatkan keguguran. Karenanya aku harus tetap berada di kamar malah kalau perlu menggunakan pispot agar tidak perlu bolak-balik kamar kecil bila ingin buang air.
Terus terang keterangan dokter itu terasa sangat berat untuk kujalani. Menghabiskan waktu sekian lama di dalam kamar bukanlah hal yang menyenangkan bagi orang sepertiku. Dengan terpaksa aku menghentikan semua aktivitas luar rumah yang selama ini rutin kuikuti. Sebagai gantinya suamiku menyediakan beragam bacaan dan menghadirkan sebuah televisi kecil untuk menemaniku mengusir kebosanan.  
Alhamdulillah, setelah berlalu masa sembilan bulan di suatu siang aku merasakan sakit yang tak tertahankan. Aku merasa kalau saat melahirkan akan segera tiba.  Setelah beberapa saat menahan rasa sakit, suami pun memutuskan untuk membawaku ke puskesmas. Pusat kesehatan masyarakat itu adalah  tempatku selama ini memeriksa kehamilan yang juga telah dilengkapi dengan fasilitas  untuk tempat  bersalin.
Sesampainya di puskesmas, usai melapor, aku langsung dibawa ke kamar bersalin. Rasa sakit yang kurasakan semakin menjadi-jadi.  Setelah berbaring sebentar aku segera meminta suami  memanggil bidan jaga yang belum juga muncul sejak kedatangan kami.
“Kata Bu Bidan, kamu jalan-jalan dulu biar proses melahirkannya gampang. Bidannya lagi asyik baca majalah” lapor suamiku usai dari kamar bidan.
“Aku sudah tidak bisa berjalan. Rasanya bayinya sudah mau keluar!” aku setengah berteriak diantara  rasa sakit dan panik.
Atas inisiatif sendiri kakak iparku kemudian melongok melihat jalan lahirku. Saat itulah ia berteriak panik karena melihat kepala bayiku mulai kelihatan. Suamiku yang ikutan panik segera  berlari kembali ke ruang bidan untuk memberitahukan apa yang terjadi.
Tak lama berselang Bu Bidan yang ditunggu-tunggu  muncul. Alhamdulillah, beberapa saat usai adzan maghrib putra pertamaku lahir ke dunia dengan normal. Segala kepayahan yang selama ini kurasakan menjadi tak ada artinya seiring dengan tangisan nyaring yang menghadirkan kebahagiaan yang amat sangat di hatiku. 
Kupeluk dan kuciumi bayi mungil yang disodorkan Bu Bidan padaku. Bayi lelaki dengan berat 3,5 kg dan panjang 42 cm itu lahir dengan kepala yang memanjang akibat terlalu lama berada di “pintu”. Tapi kata Bu Bidan, kepalanya akan berangsur-angsur kembali normal nantinya.
Ada satu hal yang membuat anak pertamaku ini begitu istimewa. Bayi Abdullah Az Zahid, demikian nama yang telah kami persiapkan untuknya, terlahir dalam keadaan telah bersunat. Iya, kemaluan kecilnya telah terpotong ujungnya seperti kemaluan seorang anak lelaki yang telah disunat.
Keesokan paginya aku dikejutkan dengan kedatangan salah seorang petugas puskesmas. Petugas itu membawa sekotak susu formula dan mengatakan kalau dokter menyuruh aku untuk membeli susu tersebut.
Dengan halus aku menolaknya. Bagaimanapun aku sudah memutuskan sejak awal untuk memberikan ASI pada anakku. ASI adalah hak anak yang harus diberikan hingga anak berumur dua tahun.
Akhirnya petugas itu pergi sambil mengomel. Ia pun sempat mengancam dan mengatakan kalau dokter akan marah dengan penolakanku itu. Suami yang saat itu bersamaku hampir saja terbujuk untuk membeli susu formula tersebut. Tapi karena melihat ketegasanku, suami akhirnya memilih untuk mengikuti pendirianku.
Untungnya tak ada seorang dokter pun yang datang setelahnya. Padahal aku sudah menyiapkan segudang jurus bila nantinya ada pihak puskesmas yang komplain dengan keputusanku. Aku pun semakin yakin dengan keputusanku dan aku tahu kalau sebenarnya petugas puskesmas itu juga sebenarnya tahu kalau yang paling dibutuhkan bayi adalah ASI ibunya bukan susu formula yang berasal dari sapi.
Alhamdulillah, keinginanku untuk hanya memberikan ASI pada bayiku terwujud. Selama enam bulan ia mengkonsumsi ASI ekslusif dan setelahnya mulai kuperkenalkan dengan beragam makanan pendamping. Aku pun tetap memberikan ASI hingga ia berusia dua tahun, sesuai tekadku.
Kini, bayi mungilku itu telah menjelma menjadi sosok remaja yang tampan. Pada putra pertamaku aku menaruh sejuta harapan padanya, harapan yang sama yang kuberikan pada adik-adiknya. Di setiap do’a, selalu kuselipkan permohanan pada Sang Khalik agar mereka nantinya menjadi anak yang sholih dan sholihah,  anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya serta menjadi anak yang berguna bagi agamanya. Aamiin.
Kajang, Selangor 6 Oktober 2012
(Abdullah Az Zahid kini)
Bersama ketiga adiknya : Tholhah As Sajjad, Nusaibah Atsariyah dan Khaulah Qani'ah



Catatan:
Tulisan ini diikutkan dalam lomba #FFF Cincin Emas - Jalinan Persaudaraan Blogger se-Nusantara. Info lengkap bisa dibaca di : http://mubarika-darmayanti.com/1460/baby-fatimah-fff-cincin-emas-dan-persaudaraan-blogger-nusantara/

  • Share:

You Might Also Like

0 Comments

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak yang baik. Happy Blogging